tirto.id - Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menilai ekspor jasa belum memberi pengaruh signifikan terhadap pengurangan defisit transaksi berjalan di Indonesia. Padahal, menurut dia, sektor-sektor jasa seperti pariwisata, pendidikan, kesehatan dan layanan profesional lain masih berpotensi digenjot.
"Indonesia masih mempunyai banyak peluang untuk mendorong ekspor jasa," ujar Mari dalam diskusi di kantor Center for Strategic and Indonesian Studies (CSIS), Jakarta Pusat pada Rabu (15/1/2019).
Dia menjelaskan produktivitas sektor jasa di Indonesia selama ini masih kalah jauh dari negara-negara lain, terutama anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Rendahnya kinerja sektor jasa Indonesia terlihat dari data Services Trade Restrictiveness Index OECD 2017. Data tersebut menunjukkan sektor jasa di Indonesia relatif lebih tertutup dan kurang produktif.
Mari mencontohkan perdagangan jasa di bidang hukum Indonesia memiliki indeks restriksi 0,9, atau jauh di bawah rata-rata 30 negara anggota OECD, yakni 0,4.
Data tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa sektor jasa hukum di Indonesia masih terbatas (restriktif) bagi investasi asing.
Selain itu, sektor jasa distribusi Indonesia juga memiliki indeks restriksi 0,6. Sedangkan sektor jasa asuransi, perbankan komersial, serta transportasi maritim dan udara, masing-masing memiliki indeks restriksi 0,5. Ini kalah jauh dari rata-rata negara-negara anggota OECD yang memiliki indeks 0,2.
Menurut Mari, Indonesia perlu memperbanyak kerja sama di level regional dan Asia untuk mendorong ekspor jasa.
Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri membenarkan peningkatan ekspor dalam bentuk jasa penting untuk menekan defisit neraca perdagangan. Menurut dia, ekspor jasa tenaga kerja dan transportasi bisa menjadi prioritas Indonesia.
Rizal menyarankan pemerintah mengeluarkan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk ekspor jasa yang saat ini besarnya mencapai 10 persen.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom