tirto.id - Tak ada anak-anak yang tak ingin jadi Ash Ketchum di era 90-an.
Sosok remaja bertopi itu menawarkan mimpi masa remaja yang begitu menggiurkan.Keluar dari rumah untuk berpetualang di usia hijau, tak terbebani pekerjaan rumah, juga tak pusing memikirkan ujian Matematika atau Fisika yang bikin kerontokan rambut di usia muda. Namun apa yang paling membuat anak-anak itu ingin jadi Ash adalah pekerjaan yang, sialnya, nyaris mustahil dilakukan di dunia nyata: menangkap pokemon.
Dunia pokemon memang fiksi, sesuatu yang membuat patah hati banyak anak yang bercita-cita jadi pelatih pokemon. Dalam dunia buatan itu, manusia hidup berdampingan dengan spesies pokemon, singkatan dari pocket monster. Pokemon tidak hanya berupa hewan. Ada pula yang berupa tumbuhan, batu, telur, hingga pedang.
Pokemon menawarkan imajinasi pada anak-anak, bahwa kita, manusia, bisa melatih seekor, sekuntum, sebongkah, sebatang mahluk untuk jadi kuat dan bertarung. Bersyukurlah kita hidup di era teknologi yang memungkinkan hal yang dulu tampak mustahil, jadi bisa diwujudkan. Pokemon Go adalah jawaban cita-cita yang dulu tampak mustahil itu. Kini, dengan bermodal sebatang ponsel pintar, semua orang bisa menjadi pelatih pokemon.
Game berbasis realitas tertambah (augmented reality) ini dirilis pada awal Juli 2016. Pengembangnya adalah Niantic, perusahaan dari San Francisco yang pernah menjadi bagian dari Google, sebelum akhirnya menjadi perusahaan mandiri.
Pengalaman Bermain
Sewaktu game ini dirilis, saya sedang ada di Jambi untuk mudik. Sebelumnya, sudah ada banyak tagar PokemonGo berseliweran di Twitter. Ternyata game ini belum resmi dirilis di Indonesia, tetapi sudah bisa diunduh dengan berbagai trik.
Sewaktu pertama masuk, ada dua pilihan untuk mendaftar. Dengan akun Google, atau membuat akun Pokemon Trainer. Saya pilih yang pertama. Begitu masuk, kita akan diberi pilihan avatar. Antara lain jenis kelamin, warna kulit, hingga warna seragam. Setelahnya, ada tiga pokemon yang bisa kita pilih sebagai pokemon awal: Bulbasaur, Charizard, dan Squirtle. Setelah menangkap salah satu dari mereka, barulah petualangan akan dimulai.
Setiap pokemon trainer dibekali pokeball, alias bola untuk menangkap pokemon. Bola itu akan dilempar ke arah pokemon yang ingin kita tangkap. Tentu tidak otomatis tertangkap. Ada beberapa trik yang digunakan, antara lain menunggu lingkaran hijau mengecil. Untuk mencari pokemon, seorang pokemon trainer harus bergerak. Jika melihat ada gerakan rumput, di sana biasanya ada pokemon bersembunyi.
Hal penting lain yang harus diketahui adalah poke stop dan gym. Di poke stop, kita bisa mendapatkan barang-barang gratis yang berguna untuk memburu pokemon. Yang paling umum adalah poke ball. Selain itu juga ada potion untuk menyembuhkan luka pokemon yang baru bertarung, revive yang bisa mengembalikan pokemon yang baru kalah, hingga razz berry yang bisa menjinakkan pokemon. Poke stop selalu berada di tetenger kota yang mencolok. Entah itu menara, masjid, gereja, alun-alun, papan nama tertentu, hingga mural.
Sedangkan gym adalah tempat untuk bertarung. Para pokemon trainer baru bisa memakai gym saat sudah menginjak level 5. Pada saat itu pemain akan disuruh memilih satu dari tiga tim: Instinct (kuning), Mystic (biru), atau Valor (merah). Setiap gym selalu dihuni oleh satu tim. Gym bisa diambil alih dengan cara mengalahkan penjaga sebelumnya. Tentu untuk bertarung kamu harus mempunyai pokemon yang punya CP (combat power) tinggi.
Biasanya, semakin besar kotanya, semakin banyak pula poke stop dan gym. Di kota Jambi, tak banyak poke stop maupun gym. Tapi pemainnya cukup banyak. Saya sempat bertemu dengan dua orang anak SMP yang ngendon di depan patung Rajawali markas Komando Resor Militer Jambi yang merupakan poke stop.
Terlepas dari segala angka statistik, Pokemon Go menghadirkan banyak narasi kemanusiaan yang menarik. Mengharukan, menyeramkan, hingga menggelikan.
Yang mengharukan adalah sebuah kisah yang banyak tersebar di media sosial. Seorang pria kulit hitam usia 40-an bisa bercakap santai dan hangat dengan dua orang remaja kulit putih. Tempatnya ada di Amerika Serikat yang kini sedang memanas karena kasus penembakan polisi terhadap dua orang kulit hitam, dan diperkirakan berlatar rasial.
Yang menyeramkan adalah kecelakaan fisik. Dari kisah-kisah yang dimuat Associated Press, ada kesaksian para pemain game ini yang mengalami kecelakaan berbagai bentuk. Keseleo, jatuh dari sepeda, masuk kubangan, hingga kaki yang kram karena terlalu banyak berjalan.
Yang menggelikan terjadi di Solo, Indonesia. Seorang remaja digelandang ke kantor polisi karena dianggap memotret kantor polisi dan bertindak mencurigakan. Padahal yang dilakukan remaja itu hanya berusaha menangkap pokemon yang ada di kantor polisi. Setelah dijelaskan pun, polisi tampak tak percaya. Maklum, baru saja terjadi kasus bom bunuh diri di Mapolresta Solo.
Saya sendiri sempat kena batunya. Untuk membuktikan bahwa pokemon bisa disukai oleh semua orang, termasuk anak 7 tahun yang kini lebih akrab dengan Clash of Clan dan sama sekali tak punya petunjuk apa itu pokemon, saya mengunduhkan game itu untuk keponakan saya. Hipotesa saya benar. Imajinasi kita bisa menangkap mahluk ilusi, dipadukan dengan teknologi AR, serta mengharuskan anak bergerak, begitu membuat keponakan saya ketagihan.
Selang beberapa jam setelah berburu pokemon dengan saya, sang keponakan pergi bersama ibu bapaknya. Pulang-pulang, mata si keponakan sembab. Muka ibunya agak masam. Akhirnya si ibu berkisah kalau dia baru saja menghapus game itu dari ponsel Daryl, nama keponakan saya itu.
"Dia jalan sambil liat hape terus. Sampai jatuh dua kali. Bahaya banget. Dia nangis keras waktu aku hapus gamenya," kata si Ibu.
Saya cuma bisa meringis.
Pokemon, Nintendo, dan Masa Depan AR
Pokemon diciptakan oleh Satoshi Tajiri, terinspirasi dari budaya menangkap kumbang yang dilakukan oleh anak-anak Jepang. Awalnya dibuat sebagai video games untuk Game Boy milik Nintendo. Dari sana pokemon berkembang lebih jauh. Merambah ranah permainan kartu, film, film animasi serial, komik, hingga mainan. Pokemon juga menjelma jadi perusahaan media tersendiri. Hingga Mei 2016, perusahaan ini sudah menjual 280 juta game pokemon, 21,5 miliar kartu, juga mendapat box office dari film sebesar 76 miliar yen. Total pendapatan perusahaan ini mencapai 46,2 miliar dolar.
Pokemon Go juga dianggap sebagai pengangkat Nintendo setelah kegagalan konsol baru mereka yang banyak dikritik, WiiU. Sejak 24 jam dirilis, game Pokemon Go sudah memuncaki peringkat Top Grossing dan Aplikasi Gratis di App Store. Hingga 11 Juli 2016, Pokemon Go sudah diunduh 7,5 juta kali hanya di Amerika Serikat saja.
Keberhasilan Pokemon Go ini juga membuktikan benarnya keputusan Nintendo. Perusahaan game yang sudah didirikan sejak 1889 ini dulu sempat bersikeras tak akan terjun ke game ponsel pintar. Toh akhirnya kekeraskepalaan mereka berakhir juga. Pokemon Go menjadi salah satu game ponsel pintar pertama Nintendo.
Karena keberhasilan Pokemon Go ini, harga saham Nintendo melonjak hingga 25 persen. Meski hanya punya sekitar 33 persen saham di Pokemon dan hanya akan menerima sekitar 30 persen pendapatan dari Pokemon Go, diperkirakan saham Nintendo jadi bernilai sekitar 7 miliar dolar. Kini, total valuasi Nintendo adalah 28 miliar dolar, melonjak sekitar 63,7 persen dari sebelumnya 17,1 miliar dolar.
Keuntungan besar tentu masih akan terus datang. Mengingat game ini baru diedarkan di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Hingga 12 Juli 2016, di Jepang, negara kelahiran Pokemon dan salah satu pasar game ponsel pintar terbesar di dunia, game ini belum juga dirilis. Indonesia, negara dengan 65 juta pengguna ponsel pintar, juga masih menanti tanggal resmi rilis (walau tentu saja mereka tak peduli dan tetap bermain versi ilegal).
Kehadiran Pokemon Go juga dianggap bisa mempopulerkan AR ke khalayak umum di Indonesia. "Mengenalkan AR ke masyarakat umum melalui game menurutku ide yang bagus, lebih mudah diterima," ujar Aditya Rizky.
Pada 2015, Adit lulus dari S2 Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada dengan tesis game berbasis AR. Dia sadar kalau pendekatan AR ini adalah masa depan game, tapi masih belum banyak yang memakai istilah ini karena kerancuan dengan VR, alias virtual reality.
Pokemon Go bukan game AR pertama. Sebelumnya ada Ingress, game multiplayer yang juga dikembangkan oleh Niantic. Namun, Pokemon Go menjadi lebih populer karena sudah punya basis penggemar fanatik.
Dengan kesuksesan Pokemon Go, banyak orang kini memperkirakan game berbasis AR akan jadi tren di masa depan. "AR adalah pendekatan menarik dalam dunia game. Dan jelas sudah kalau pengguna ponsel pintar generasi berikutnya akan mulai mengenakan piranti game AR. Dalam hal ini, Pokemon Go ada di barisan depan," kata Ollie Barder, penulis game di Forbes.
Hal senada juga disampaikan oleh Adit. Menurut Adit, setidaknya dari tahun ini hingga 5 tahun ke depan, teknologi AR sedang dalam proses dikenal masyarakat hingga akan memuncak.
"Selain game, AR juga sudah mulai banyak diterapkan di dunia periklanan," kata Adit.
Di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan rintisan yang bergerak di bidang AR. Seperti Octagon hingga We Indonesian Role. Namun, tentu saja masih banyak kendalanya. Antara lain soal biaya pembuatan AR yang masih mahal. Beberapa perusahaan AR luar negeri seperti Marxent, Inde, atau Gravity Jack mematok pembuatan satu aplikasi AR senilai 25-30 ribu dolar. Tentu jumlah itu bisa berubah, tergantung seberapa rumit aplikasi atau game yang akan dibuat.
Hal mendasar lain tentu adalah akses internet. Hingga kini, akses internet cepat hanya ada di kota-kota besar Indonesia. Itupun kadang mengalami gangguan. Di Jambi saya juga beberapa kali kehilangan pokemon gara-gara sinyal internet hilang. Salah satunya adalah Pikachu, pokemon paling popular dan susah didapatkan di Pokemon Go. Hal itu sangat menyakitkan.
Jadi, mari berburu Pokemon lagi!
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti