Menuju konten utama
MotoGP 2019

Marc Marquez Memang Dilahirkan untuk Menjadi Pembalap

Bertahun-tahun lalu Marquez adalah sosok tempramental yang hobi jatuh dari motornya. Kini, dia menjelma sebagai pembalap paling konsisten di MotoGP 2019.

Marc Marquez Memang Dilahirkan untuk Menjadi Pembalap
Pembalap Spanyol Marc Marquez dari Tim Repsol Honda merayakan setelah memenangkan MotoGP Thailand dan Kejuaraan Moto GP ke-8 di Sirkuit Internasional Chang di Buriram, Thailand, Minggu, 6 Oktober 2019. Sakchai Lalit/AP

tirto.id - Pembalap Repsol Honda Team Marc Marquez sukses mengunci gelar juara dunia MotoGP 2019 usai finis terdepan dalam balapan di Sirkuit Buriram, Thailand, Ahad (6/10/2019). Dengan musim yang cuma menyisakan empat balapan, torehan 325 poinnya mustahil dikejar, bahkan oleh pembalap peringkat dua, Andrea Dovizioso yang baru mendulang 215 poin.

Gelar tahun ini bikin nama Marquez tertulis dengan tinta emas dalam buku sejarah.

Ini adalah gelar keenamnya di kelas MotoGP, yang membawa The Bionic Man menyalip rekor Mick Doohan. Marquez, yang kini meraih delapan gelar juara dunia di semua kelas, juga kian mendekati rekor sembilan gelar yang masih dipegang bersamaan oleh Valentino Rossi, Mike Hailwood, dan Carlo Ubbiali.

“Aku tahu orang di luar sana pasti bilang ini musim yang mudah untuk Marc, tapi percayalah: itu salah,” kata Direktur Teknik Repsol Honda Team, Takeo Yokoyama, dalam wawancara dengan Crash setelah balapan.

Kesulitan yang dimaksud Yokoyama bisa dilihat sepanjang balapan terakhir di Buriram. Marquez yang memulai balapan dari posisi kedua memang bersaing ketat dengan penghuni pole position, Fabio Quartararo, tapi hingga hampir setengah balapan lewat, situasi tidak memihak pada si pembalap asal Spanyol itu.

Motor yang ditunggangi Marquez, Honda RC213V, kalah gesit di beberapa titik sirkuit, terutama sektor tiga dan empat.

“Ada satu momen dalam balapan ketika aku tertinggal 0,7 sampai 0,8 detik dari Quartararo. Dan aku membatin, seandainya dia tidak melambat, memenangkan balapan adalah hal yang benar-benar mustahil,” ujar Marquez.

Titik balik Marquez lantas terjadi pada putaran 11, ketika dia mencatatkan rekor waktu tercepat sepanjang satu putaran, yakni 1 menit 30,904 detik, mengungguli rekor yang dicatat Quartararo satu putaran sebelumnya.

“Setelah putaran itu, aku berpikir lagi, aku cuma punya dua pilihan: mencoba atau menyerah. Jadi tentu saja aku berjuang semaksimal mungkin,” imbuhnya.

Usaha Marquez tidak sia-sia. Hingga balapan berakhir, rekor putaran tercepatnya tidak bisa disamai pembalap lain.

Dan puncak dari segala pergelutan di atas lintasan terjadi pada tikungan terakhir putaran terakhir, ketika dia menyalip Quartararo. Marquez mengakhiri balapan dengan total durasi 39 menit lebih 36,223 detik. Angka ini 0,171 detik lebih cepat dibanding Quartararo.

“Jujur saja, di tikungan terakhir itu otakku seperti mati rasa,” kata Quartararo setelah balapan. “Bersaing dengan delapan kali juara dunia sampai tikungan terakhir bukan sesuatu yang bisa dirasakan semua orang.”

Persaingan Marquez dengan pembalap lain di lintasan memang kerap tersaji dan itu sangat memanjakan mata. Namun pada akhirnya rivalitas tersebut tak terlihat di papan klasemen.

Situasi ini terjadi karena satu alasan tegas: dia lebih konsisten ketimbang pembalap mana pun.

Dari balapan di 15 sirkuit yang telah lewat, Marquez cuma sekali terlempar keluar dari podium. Tepatnya pada seri MotoGP Amerika. Saat itu dia gagal finis lantaran jatuh dari motornya.

Sisanya, rapor pembalap yang sempat dapat julukan The Baby Alien ini mencengangkan: sembilan kali juara dan empat kali finis sebagai runner-up.

Sumber-Sumber Konsistensi Marquez

Konsistensi Marquez sepanjang musim ini tidak jatuh dari langit. Marquez sendiri mengakui bahwa hal itu perlu dipelajarinya dalam waktu yang begitu panjang.

Namun, jika harus menyebut momen terbesar, menurut Marquez, pengalamannya pada musim kompetisi 2015 adalah yang paling menggerakkannya untuk menjadi pembalap yang lebih konsisten.

“Tahun 2015, usiaku saat itu baru 22 atau 23. Aku sangat muda, tidak punya banyak pengalaman dan emosional,” kata Marquez.

Kombinasi berbagai faktor ini kemudian bikin Marquez jadi salah satu pembalap yang paling sering jatuh dari kuda besinya. Total enam kali dia gagal finis sepanjang tahun.

Dia akhirnya cuma mengakhiri musim di peringkat tiga dengan 242 poin, kalah jauh dari Jorge Lorenzo (330) dan Valentino Rossi (325).

“Saat itu konsistensi adalah kelemahanku. Setiap tahun aku selalu berusaha tapi tentu saja itu sulit untuk terus melakukannya.”

Marquez terus berbenah. Statistiknya lantas meningkat. Dia meraih 298 poin pada musim 2016 dan 2017, kemudian 321 poin pada 2018. Tahun ini, dengan empat balapan tersisa, Marquez bahkan sudah mendulang 335 poin.

Konsistensi Marquez juga dipengaruhi oleh kerja sama yang makin kompak antara dirinya dengan tim pengembang mesin Honda. Direktur Teknik Repsol Honda Team Takeo Yokoyama mengatakan kerja sama yang semakin baik ini tidak terlepas dari sikap Marquez yang kian dewasa.

Jika pada 2015 Marquez cenderung melempar setiap kesalahan pada tim teknisnya, semakin hari kecenderungan itu makin luntur. Marquez yang sekarang, menurut Yokoyama, adalah sosok yang berani mengakui kesalahan dan mau beradaptasi dengan hal baru.

“Marc selalu mau menyesuaikan dengan karakter baru motornya setiap tahun. Berulang kali dia bilang, dia punya mesin yang bagus karena tidak perlu terlalu mengerem untuk berada di ujung, sehingga dia bisa menyimpan itu untuk momen yang lebih genting. Menurut kami, itu adalah keputusan cerdas. Dia tahu filosofi motor kami tahun ini,” tandas Yokoyama.

Terlahir untuk Membalap

Pemahaman terhadap karakter motor—yang dimaksud Yokoyama—bukan cuma didapat Marquez dari pengalamannya menjadi seorang pembalap. Faktanya Marquez terlahir dari keluarga yang gandrung betul dengan utak-atik motor dan dekat dengan dunia itu.

Ayahnya, Julia Marquez, adalah staf teknis Moto Club Serge, sebuah klub balap kecil di daerah Cervera, Spanyol. Sementara ibunya, Roser Alenta, bekerja sebagai juru masak di tempat Julia bekerja.

Seperti dilansir Cycleworlds, Alenta menyebut Marquez sudah tertarik menjadi pembalap sejak berusia lima tahun. Setahun sebelumnya, saat usianya masih empat tahun, Marquez bahkan sudah meronta minta dibelikan motor balap mini.

“Dia adalah anak cerdas yang sejak kecil bisa berpikir cepat. Ketika dia menginginkan sesuatu, dia pasti tahu kalau dia bisa melakukannya,” kata Alenta.

Marquez juga kerap dibiasakan menghadapi kompetisi. “Dia sering menantang ayahnya untuk balapan dengan motor kecilnya,” imbuh Alenta.

Adik kandung Marc Marquez, Alex Marquez, pun ikut menjadi pemicu semangat The Bionic Man. Alex saat ini menjadi pembalap kelas Moto2. Alenta menyebut di hadapan Alex, Marquez selalu punya kecenderungan ingin membuktikan dirinya pantas dijadikan teladan.

Musim 2014 lalu, saat Alex masih di kelas 125cc, kakak beradik ini sama-sama menjuarai seri Valencia di dua kelas berbeda. Mereka mencatatkan rekor sebagai kakak beradik pertama yang berhasil menjuarai dua kelas MotoGP di satu seri yang sama.

Tak seperti orangtua pada umumnya, Alenta mengaku sama sekali tidak khawatir setiap melihat kedua anaknya memacu kuda besi sekencang-kencangnya.

“Karena aku tahu, balapan adalah sesuatu yang menyenangkan ketika Anda menikmatinya. Saat mereka jatuh, aku akan mengingatkan Marc dan Alex untuk bangkit dan tetap berjuang. Aku memahami mereka, karena mereka memang terlahir untuk menjadi pembalap,” tandas Alenta.

Baca juga artikel terkait MOTOGP atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz