Menuju konten utama

Marak Anggota TNI & Polri Salahgunakan Senjata, Apa Penyebabnya?

Bambang Rukminto menilai kasus ini menunjukan arogansi aparat dan kegagapan dalam bertugas.

Marak Anggota TNI & Polri Salahgunakan Senjata, Apa Penyebabnya?
Ilustrasi orang bersenjata api. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Anggota Polri Bripka HE (47) menembak istrinya dan seorang anggota TNI Serda HA di Binamu, Jeneponto, Sulawesi Selatan pekan lalu, Kamis (14/5/2020).

Akibat kejadian itu, Serda HA menderita luka tembak di dada dan paha. Ia kini dirawat di Rumah Sakit Pelamonia, Makassar.

Kasus yang melibatkan dua institusi keamanan tersebut kini ditangani Divisi Propam Polda Sulsel.

Menurut Kepala Penerangan Kodam XIV Hasanuddin, Kolonel Infantri Maskun Nafik, kasus ini dipicu dugaan perselingkuhan antara istri pelaku dan korban.

"Kami (TNI) serahkan penuh ke kepolisian untuk melakukan pemeriksaan kepada pelaku yang menyalahgunakan senjata api," kata Maskun kepada wartawan di Makkassar, Sabtu (16/5/2020) seperti dilansir Antara.

Peristiwa penembakan tersebut menambah catatan kasus asal tembak yang dilakukan aparat. Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bidang Kepolisian Bambang Rukminto menilai kasus ini menunjukkan arogansi aparat dan kegagapan dalam bertugas.

"Mereka tidak bisa memilah antara kewenangan penggunaan senjata sebagai polisi dengan kepentingan dia sebagai pribadi," ujar Bambang kepada reporter Tirto, Sabtu (16/5/2020).

Tak hanya penyalahgunaan, Bambang juga menyoroti kelalaian aparat dalam menggunakan senjata api. Awal mei lalu, misalnya, seorang warga Kelurahan Pagar Dewa, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu tewas terkena peluru nyasar saat polisi kejar-kejaran dengan pengedar narkoba.

Perlu Sanksi Tegas

Bambang menilai Polri perlu memperhatikan kasus penyalahgunaan senjata oleh anggotanya secara serius. Hal itu dilakukan agar kasus asal tembak oleh aparat tidak terulang.

Selain itu, menurut Bambang, perlu ada sanksi tegas dalam kasus penyalahgunaan senjata oleh aparat. Sanksi diberikan terhadap pelaku hingga pimpinan yang membawahinya.

"Lembaga harus memastikan bahwa senjata api itu diberikan pada orang yang tepat," ujarnya.

Penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 tahun 2009, kata Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Dede Farhan Aulawi.

Dede mengatakan penggunaan senjata api hanya untuk keadaan luar biasa, membela diri/orang lain dari ancaman kematian dan luka berat, mencegah kejahatan berat, hingga menangani situasi bahaya.

Menurut Dede, apabila anggota kepolisian yang menyalahi wewenang menggunakan senjata api dan merugikan orang lain, yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) huruf a Perkapolri 8/2009," ujar Dede kepada reporter Tirto, Sabtu (16/5/2020).

Sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum, seluruh anggota kepolisian wajib melaporkan setiap penggunaan senjata api.

"Pada prinsipnya setiap anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian sesuai Pasal 13 ayat (1) Perkapolri 1/2009," ujarnya.

Minimnya Evaluasi Internal

Kasus penyalahgunaan senjata api oleh aparat bukan kali itu saja terjadi. Di Papua, peristiwa baku tembak bahkan melibatkan TNI dan Polri sekaligus.

Pada 12 April 2020, Briptu Marselino Manserba Rumaikewy tewas setelah baku tembak dengan personel TNI dari Satgas Pamrahwan Yonif 755/Yalet di pertigaan Jalan Pemda I Kampung Kasonaweja, Distrik Mamberamo Tengah, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Marselino bertugas di Satuan Reskrim Polres Maberamo Raya.

Dalam baku tembak itu, dua polisi lain meregang nyawa. Mereka adalah Briptu Alexander Ndun (anggota Satuan Reskrim) yang terluka tembak pada paha kiri dan satu luka di leher kiri, serta Bripda Yosias Dibangga (anggota Satuan Sabhara).

Bripka Alva Titaley (anggota Satuan Reskrim) juga terluka tembak pada paha kiri, sementara Brigpol Robert Marien (anggota SPKT) kena tiga luka tembak di punggung.

Dari pihak TNI, Kopda Gerson (anggota satgas 432 BKO 755/Kostrad) mengalami luka sobek pada pelipis kiri akibat pukulan senjata.

Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis menilai insiden saling tembak yang melibatkan personel TNI disebabkan minimnya evaluasi internal. Menurut dia, setiap atasan dalam kesatuan semestinya menghukum tindakan anggotanya.

"Tapi kembali soal leadership lagi. Kalau atasan tidak serius untuk membawa ini ke ranah hukum internal. Pasti berulang lagi," ujar Beni kepada reporter Tirto.

Apalagi, kata Beni, saat penggunaan senjata oleh aparat menewaskan orang lain. Menurutnya, pelaku bisa dikenakan hukum disipliner, ditahan secara internal, hingga dicopot jabatan. Namun ada juga hukuman pidana yang diproses melalui Mahkamah Militer.

Namun Beni meragukan internal TNI yang tegas menindak personelnya hingga ke tahap Mahkamah Militer.

"Mahmil (Mahkamah Militer belum serius untuk meneggakan hukuman sesuai yang ada dalam KUHP. Biasanya hukumannya lebih ringan dari yang semestinya dijatuhkan," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN POLISI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan