tirto.id - Mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto menyebut Bank Indonesia (BI) meminta pemerintah bertanggung jawab untuk pemberian bantuan likuiditas (BLBI) ke sejumlah bank bermasalah. Hal itu dilakukan setelah pemerintah merekomendasikan pemberian bantuan likuiditas kepada bank saat krisis moneter.
"BI ajukan pada pemerintah permintaan agar kewajiban bank pada BI dibayar oleh pemerintah. Bukan diselesaikan secara satu persatu, tapi secara keseluruhan," ungkap Bambang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Bambang pun mengaku menyanggupi permohonan BI. Akan tetapi, Bambang selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pertama meminta angka Rp144 triliun dari pencairan dana BLBI diklarifikasi. Ia pun meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan pemeriksaan terhadap dana bantuan Rp144 triliun itu.
Setelah pemeriksaan dilaporkan, Bambang menyebut situasi pengembalian cukup berat karena ada beberapa puluh triliun yang data pendukungnya tidak ditemukan oleh BPKP. Ia mengaku terpaksa karena BI terancam bangkrut bila tidak selesai.
"Kalau saya enggak keluarkan surat utang pemerintah untuk ganti BLBI, maka BI bangkrut. Tagihan akan dicatat dalam neraca yang banknya negatif. Berarti harus dibuat pencadangan," ungkapnya.
Ia juga menyatakan, dirinya bisa saja menjadi pesakitan seperti Syafruddin jika salah langkah saat itu.
"Karena itu saya tanda tangan surat, tapi dengan membuat surat pengantar yang mengatakan angka ini hanya sementara, harus verifikasi pihak independen. Itu makanya saya selamat, kalau enggak pasti duduk di sini saya yakin," kata Bambang.
Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak.
Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.
Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.
Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yandri Daniel Damaledo