tirto.id - Dua pekan setelah Stan Lee meninggal, Departemen Kesehatan Los Angeles akhirnya mengeluarkan sertifikat kematian. Dokumen tersebut memuat waktu kematian Stan pada pukul 9:17 pagi, 12 November 2018 di Cedars-Sinai Medical Center, Los Angeles. Penulis komik Marvel Universe tersebut tutup usia 95 tahun lantaran kegagalan pernapasan dan jantung.
Selain kegagalan pernapasan dan jantung, isi sertifikat juga menyatakan Stan terkena pneumonia aspirasi, kondisi saat makanan, asam lambung, atau air liur masuk ke paru-paru sehingga memicu infeksi. Upacara kematiannya, sebut sertifikat itu, dilakukan dengan cara kremasi dan abunya diserahkan kepada sang putri.
Pada kasus Stan, sertifikat kematian menjadi dokumen yang sangat berharga karena ia masih meninggalkan kekayaan sebanyak US$50 juta sampai US$70 juta atau sekitar Rp743 miliar hingga Rp1 triliun.
Sertifikat atau akta kematian adalah dokumen yang dikeluarkan oleh instansi terkait berdasarkan visum petugas kesehatan yang memuat keterangan kematian seseorang. Di Indonesia, perkara mengurus sertifikat ini bagi sebagian orang belum menjadi prioritas. Ada saja yang menyangka dokumen ini cuma dibutuhkan mereka yang berstatus sosial tinggi. Stan Lee, misalnya.
Anggapan itu tak sepenuhnya salah, tapi perlu ditekankan bahwa dokumen kematian punya cakupan yang lebih luas. Ia tak sekadar menjadi prasyarat tetek bengek pewarisan. Laman lapor.go.id menyebut beberapa alasan pentingnya mengurus akta kematian. Di antaranya adalah penetapan status janda atau duda terutama bagi pegawai negeri. Penetapan tersebut diperlukan guna persyaratan menikah kembali, pajak, atau (pencoretan) tunjangan tertentu.
Kedua, ia berguna dalam pembagian waris, misalnya peralihan hak atas tanah, baik bagi istri, suami,
maupun anak. Jika yang meninggal adalah pegawai negeri, ia berguna dalam pengurusan uang pensiun bagi ahli waris. Juga dipakai buat uang duka, tunjangan kecelakaan, tabungan pensiun, asuransi, perbankan, dan mendukung validasi serta akurasi data kependudukan.
Muhammad Ryan Firmansyah adalah salah satu orang yang memiliki pengalaman mengurus akta kematian. Tahun lalu, ia berniat menghentikan tagihan BPJS Kesehatan milik ayahnya. Awalnya, mahasiswa di Universitas Sebelas Maret ini mengira dibutuhkan akta kematian sebagai prasyarat.
Namun, ternyata urusan administrasi tersebut hanya membutuhkan surat keterangan kematian dari kelurahan. Akhirnya sembari menunggu akta kematian ayahnya keluar dalam jangka waktu 10-14 hari, ia menggunakan surat keterangan kematian dari kelurahan.
“Tetap dibikin sewaktu-waktu [diperlukan untuk] mengurus aset keluarga yang pakai nama ayah, buat balik nama agar bisa diserahkan ke ahli warisnya,” kata pemuda berusia 22 tahun ini.
Menurut laman Dispendukcapil.patikab, akta kematian baru bisa dikeluarkan dinas kependudukan dan pencatatan sipil ketika syarat telah lengkap. Ahli waris harus menyertakan dokumen utama berupa surat keterangan kematian dari rumah sakit atau puskesmas, serta surat keterangan kematian dari kelurahan. Idealnya, akta kematian keluar cetak enam hari kerja sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
“Data kependudukan juga harus tercatat karena takut disalahgunakan, misal untuk pemilu/pilkada,” ujarnya.
Pemalsuan Kematian
Ada saja yang memalsukan akta kematian demi polis asuransi jiwa atau melarikan diri dari tindakan kriminal. Di Indonesia, Detik pernah menceritakan kisah seorang pegawai bank bernama Dahendra Tridana (29) yang dihukum lima tahun karena memalsukan akta kematian debitur pada 2012.
Dahendra memakai uang pencairan pinjaman debitur tempat banknya bekerja, Zulfa Hendri, tanpa sepengetahuan Zulfa. Pinjaman Zulfa pada Bank Danamon dijamin asuransi ketika debitur meninggal dunia. Agar Zulfa menerima jaminan asuransi, Dahendra membuat akta palsu kematian Zulfa.
Akal bulusnya terungkap ketika pihak asuransi melakukan pengecekan langsung. Ujungnya, uang di rekening Zulfa ditarik dan Dahendra dilaporkan ke aparat.
Laman berita The Guardian pernah juga menulis cerita serupa di Inggris pada tahun 2009. Pernah ada juga seorang pria yang juga memalsukan akta kematian untuk mengklaim asuransi sebesar £520 ribu. Anthony McErlean mengarang cerita kematian akibat tertabrak truk saat mengganti ban mobil.
Atas fenomena-fenomena memalsukan kematian ini, Elizabeth Greenwood membuat buku berjudul Playing Dead: A Journey Through the World of Death Fraud. Dalam buku itu, ia secara khusus mengupas ragam trik dan motif orang memalsukan kematian.
Greenwood sengaja pergi ke pasar gelap di Filipina, menyelidiki cara-cara orang memalsukan akta kematian. Ia menemukan konsultan menawarkan jasa-jasa ilegal tersebut dengan tarif $30 ribu. Namun, meski mudah menemui jasa pemalsuan akta kematian, Greenwood menyimpulkan bahwa kejahatan tersebut sangat mudah terbongkar.
“Perusahaan asuransi akan menyewa detektif swasta untuk menggali peti mati, hanya untuk membuktikan itu diisi dengan batu,” tulis Greenwood dalam buku tersebut.
Orang yang ingin memalsukan kematian juga harus menyusun rencana jangka panjang dengan rapi. Mereka harus melakukannya karena mereka akan hidup tanpa identitas, sehingga kemungkinan tak bisa melamar pekerjaan di tempat mana pun yang mensyaratkan pelampiran identitas.
Perlu banyak waktu untuk perencanaan hidup jangka panjang. Mereka harus hidup dengan sederhana dan tidak mencolok. Sangat rumit. Inilah alasan sebagian besar pemalsuan akta kematian gagal, karena orang tersebut akan mudah dikenali.
“Kebanyakan orang yang memalsukan kematian tidak benar-benar memikirkan seluruh rencana," kata Greenwood.
Editor: Maulida Sri Handayani