Menuju konten utama

Malam 1 Suro Jatuh Tanggal 20 Agustus 2020

Malam satu suro 2020 jatuh pada tanggal 21 Agustus, berikut penjelasan mengenai sejarah dan tradisinya.

Malam 1 Suro Jatuh Tanggal 20 Agustus 2020
Pedagang pasar Triwindu mengikuti Kirab Jenang Suro di Pasar Triwindu, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (31/8/2019). Kirab dalam rangka menyambut bulan Suro atau 1 Muharram 1441 Hijriyah (dalam penanggalan jawa) tersebut sebagai ungkapan syukur pedagang Pasar Triwindu kepada Tuhan YME atas limpahan rezeki. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.

tirto.id - Tanggal satu Muharram atau oleh masyarakat Jawa sering dikenal sebagai satu Suro jatuh pada tanggal 20 Agustus 2020 dan ditetapkan sebagai cuti bersama oleh pemerintah. Hal tersebut tercantum pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) tentang Hari Libur dan Cuti Bersama tahun 2020.

Muharram sendiri merupakan bulan pertama dalam kalender Islam sehingga cuti bersama tersebut ditetapkan untuk memperingati Tahun Baru Islam 1442 Hijriah. Sementara itu, bulan tersebut juga dikenal dengan nama Suro dalam kalender Jawa-Islam yang dicetuskan oleh Sultan Agung selaku pemimpin Kerajaan Mataram Islam.

Sejarah Malam Satu Suro

“Kata ‘Suro’ merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari kata ‘Asyura’ dalam bahasa Arab,” tulis Muhammad Sholikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010).

Saat Islam mulai menyebar di Jawa dan berbagai istilah waktu dari bahasa Arab telah dikenal, penanggalan baru mulai banyak dipakai. Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2008) menerangkan, beberapa istilah waktu dari bahasa Arab yang mulai dikenal waktu itu adalah “zaman”, “abad”, “jam”, dan “saat”.

“Di mana saja agama Islam berakar, di setiap pantai dan kesultanan, asas tarikh Islam diambil alih. Tahun untuk selanjutnya dihitung mulai dengan saat Hijrah, suatu hal yang mengandaikan bahwa pandangan baru mengenai sejarah diterima secara implisit,” tulisnya.

Akan tetapi, Sultan Agung yang saat ini menjadi pemimpin Kerajaan Mataram Islam tidak serta merta menggunakan penanggalan Hijriah. Ia memadukannya dengan sistem kalender tarikh Saka yang saat itu masih digunakan.

Seperti dilansir laman Kemendikbud, sistem kalender Jawa tersebut dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi), dan Hindu (Saka). Atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).

Tak hanya itu, penanggalan Jawa juga memiliki siklus windu (8 tahun). Akibatnya, urutan tahun Jawa kedelapan (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro, selisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharram dalam kalender Islam.

Pada umumnya, satu Suro diperingati pada malam hari usai maghrib, atau pada hari sebelum tanggal satu yang disebut dengan malam satu Suro. Hal ini disebabkan pergantian hari Jawa dimulai saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada saat tengah malam sebagaimana sistem kalender matahari. Oleh karenanya, malam satu Suro jatuh pada 20 Agustus 2020 mendatang.

Tradisi Malam Satu Suro

Malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Salah satu tradisi pergantian tahun ini berupa kirab gunungan, tumpeng, serta benda pusaka yang dilakukan oleh para abdi dalem keraton Yogyakarta. Sementara itu, perayaan malam satu Suro di Solo biasanya dilakukan dengan mendatangkan hewan khas, yaitu kebo bule atau kerbau bule.

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, kebo bule merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II sejak istananya masih di Kartasura. Pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, mengatakan bahwa kerbau bule tersebut memiliki warna kulit yang khas (putih agak kemerah-merahan).

Di samping itu, ia juga menyampaikan bahwa kerbau tersebut merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet.

Meski demikian, perayaan tradisi malam satu Suro selalu menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, Sultan Agung menyatakan permulaan tahun baru Suro tersebut untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati, dan tidak boleh berpesta. Masyarakat harus menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan.

Yuwono melanjutkan, pencucian pusaka-pusaka pada malam tersebut dilakukan untuk menghormati leluhur dan sebagai bentuk evaluasi. Tak hanya itu, kegiatan itu juga dihelat seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.

“Maka, bagi orang Jawa malam satu Suro itu menjadi malam yang sangat sakral. Dan di situlah pertemuan antara dunia manusia dengan dunia gaib. Karena pusaka-pusaka dicuci, didoakan, diselamatkan kembali,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait MALAM SATU SURO atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Alexander Haryanto