tirto.id - Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) oleh peserta didik di konteks pendidikan telah menjadi hal yang umum dan wajar dewasa ini.
Di lingkungan sekolah atau kampus, penggunaan AI (khususnya perangkat Generative AI/GenAI, seperti ChatGPT) sebagai alat bantu mengerjakan tugas sudah menjadi hal yang lumrah.
“Sekarang rata-rata gitu sih mahasiswa (mengerjakan tugas dibantu AI), sudah ada ChatGPT jadi gampang,” cerita Isco (20), mahasiswa semester enam di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung, kepada Tirto, Senin (27/5/2024).
Senada, Matius (20), mahasiswa semester enam di wilayah Jabodetabek, juga mengatakan kalau pengerjaan tugas memanfaatkan perangkat AI adalah hal yang lumrah.
“Umum praktiknya (di antara mahasiswa), bahkan yang 100 persen pakai AI buat kerjain tugasnya itu ada juga,” terangnya, ditemui terpisah, Senin (27/5/2024).
Tak terkecuali, pelajar dari luar kota besar juga kerap menggunakan perangkat AI untuk membantu mengerjakan tugas. Adriani (21), mahasiswa semester delapan di salah satu universitas di Ruteng, NTT, mengaku AI menjadi salah satu alat bantu dia dalam mengerjakan tugas-tugas dari dosennya.
Tak hanya anak-anak mahasiswa, Reyhan (16) dan Yesenia (16), pelajar di SMA Negeri 2 Lamongan yang memanfaatkan AI dalam mengerjakan tugas-tugas yang bersifat teoritis, salah satunya untuk mata pelajaran Sejarah.
Maraknya penggunaan AI di kalangan pelajar juga tergambar dari survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat, pada 21-27 Mei 2024, terkait penggunaan AI untuk pengerjaan tugas sekolah dan kuliah.
Hasil survei menunjukkan, dari 1.501 responden pelajar berusia 15-21 tahun, di tingkat SMA dan mahasiswa, sebanyak 86,21 persen mengaku menggunakan bantuan AI, setidaknya sekali dalam sebulan, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Hanya ada sekitar 13,79 persen yang mengaku tidak pernah menggunakan AI sama sekali untuk mengerjakan tugas sekolah ataupun kuliah.
Dari total responden, 44,04 persen adalah pelajar SMA dan hampir 56 persen adalah mahasiswa. Proporsi antara laki-laki dan perempuan juga cukup seimbang, yakni 46,77 persen berbanding 53,23 persen.
Sebaran responden merentang dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Meski demikian, mayoritas masih berasal dari Pulau Jawa (68,09 persen).
Sebagai konteks, masyarakat Indonesia memang menjadi salah satu pengguna teknologi AI yang paling banyak di dunia. Hal ini tergambar dari hasil studi dari WriterBuddy, penyedia layanan konten berbasis AI, dalam laporannya, yang menunjukkan bahwa ada 1,4 miliar kunjungan ke situs AI yang berasal dari Indonesia, antara September 2022-Agustus 2023.
Berdasar studi tersebut, Indonesia menjadi penyumbang ketiga terbanyak kunjungan ke perangkat AI yang tersedia di dunia saat ini.
Tren penggunaan teknologi GenAI di lingkungan pendidikan juga bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebuah riset yang dilakukan Tyton Partners terhadap mahasiswa di Amerika Serikat pada musim gugur tahun 2023 menunjukkan, 49 persen mahasiswa dari 600 perguruan tinggi di sana (dari 1.600 responden) mengadopsi teknologi GenAI dalam proses belajar mereka.
Temuan serupa juga didapatkan dari survei penyedia konsultasi pendidikan, BestColleges, pada tahun 2023. Dari sekitar 1.000 orang responden mahasiswa di Amerika Serikat, sekitar 56 persen mengaku pernah menggunakan bantuan AI untuk menyelesaikan tugas mereka.
Sebagian Besar Gunakan AI untuk Tugas Merangkum dan Menulis Esai
Kembali ke survei, mayoritas responden, sebanyak 30,65 persen, mengaku sering, atau beberapa kali sebulan, menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Hanya 14,72 persen yang mengaku hanya "sesekali" memakai bantuan AI dalam mengerjakan tugas.
Lebih lanjut, berdasarkan survei pula, kebanyakan responden menggunakan AI untuk merangkum artikel atau jurnal pada tugas mereka. Penggunaan lain yang banyak disebut adalah penulisan esai atau makalah, pengumpulan informasi, sampai penerjemahan teks.
Hasil survei juga menunjukkan, ada 24,11 persen responden yang menggunakan bantuan AI untuk mengerjakan tugas matematika ataupun statistik. Namun, berdasar pengalaman Reyhan dan Yesenia, siswa SMA, hal ini malah dapat merugikan.
Sebab, berdasarkan pengalaman Yesenia, ia pernah mencoba menggunakan AI untuk mengulas soal-soal try-out Matematika, tetapi hasilnya justru tidak akurat.
“Aku gak bisa percayain (soal Matematika) ke AI. Soalnya (pernah) waktu habis selesai try-out biasanya aku review soal, lalu habis itu kan ada yang gak bisa kan, nah kalau gak bisa itu saya bingung mau tanya ke siapa. Soalnya (sesama) teman itu pelajarannya itu masih kelas 11. Sedangkan try-out itu kan udah (level) kuliah UTBK gitu. Jadi pernah tanya ke AI, itu jawabannya itu gak akurat gitu,” katanya, ketika berbincang dengan Tirto lewat komunikasi video, Rabu (29/5/2024).
Kembali ke survei Tirto bersama Jakpat, porsi penggunaan AI untuk mengerjakan tugas juga menjadi salah satu pertanyaan. Dari 1.294 orang responden yang mengaku menggunakan AI untuk mengerjakan tugas, 51 persen mengatakan hampir setengah tugasnya dikerjakan dengan bantuan AI.
Perlu dicatat, ada 9,43 persen responden yang mengaku sekitar 90 persen tugasnya dikerjakan AI, dan bahkan satu persen yang mengaku keseluruhan tugasnya diselesaikan dengan alat kecerdasan buatan.
Minim Regulasi Penggunaan AI
Pada beberapa kasus, tidak adanya aturan dari kampus mengenai penggunaan AI, dirasa mendorong siswa untuk menggunakan AI dalam mengerjakan tugas, yang bahkan bisa mencakup keseluruhan tugasnya.
Isco, mahasiswa Bandung, misalnya, bercerita bahwa di kampusnya sejauh ini tidak ada larangan untuk menggunakan teknologi AI untuk mengerjakan tugas. Namun, di beberapa kasus, dosennya ada yang mengimbau agar tidak menjiplak total jawaban yang diberi aplikasi.
"Kalau kita jiplak gitu, dosen biasa tahu sih, jadi minimal harus parafrase lagi," terangnya.
Dia juga bilang, sejauh ini, jika kedapatan menjiplak jawaban dari perangkat AI, dosen akan mengembalikan tugas ke mahasiswa dan meminta diperbaiki isinya. Tidak ada konsekuensi berat yang diberikan.
Bahkan menurut Isco, di kampusnya, ada dosen yang justru mendorong penggunaan AI dalam proses belajar mengajar.
“Kita juga pernah bahkan disuruh dosen presentasi, cari bahannya pakai AI. Pernah kayak begitu,” ceritanya.
Sementara Adriani dari NTT berpendapat, asalkan bukan untuk menyalin jawaban, penggunaan kecerdasan buatan untuk mendukung proses belajar sah-sah saja.
“Saya memanfaatkan AI untuk membantu mengoreksi korelasi kalimat, menemukan ide-ide kreatif, dan mencari referensi. Bukan untuk menyalin sepenuhnya hasil kerjanya,” ujarnya kepada Tirto.
Memang, terkait alasan penggunaan perangkat AI, survei Tirto bersama Jakpat menemukan, kebanyakan responden menggunakan AI untuk mendapatkan ide atau inspirasi (56,8 persen). Ada pula yang ingin meningkatkan kualitas hasil pengerjaan dan memastikan tata bahasa dan ejaan.
Menurut Matius, penggunaan teknologi AI untuk mengerjakan tugas pun tidak menjadi soal. "Karena ini perkembangan teknologi yang harus dimanfaatkan. Tapi memang harus dipakai sewajarnya. Kalau misalkan copas (copy-paste) semua dari AI, ya buat apa juga kuliah kan, jadi tetap harus ada proses pembelajarannya," ujarnya berpendapat.
Sependapat, Reyhan juga menganggap, selama pengaplikasiannya hanya untuk tugas, yang konteksnya untuk latihan dan belajar, hal ini tidak menjadi masalah. Kecuali, jika dalam konteks mengerjakan ujian, Reyhan berpendapat AI tak seharusnya dimanfaatkan.
“Tapi kalau ujian, ujian terus udah copy-paste langsung tempel di Chat GPT atau sebagainya, itu yang mungkin apa ya, nyakitin hati yang bikin soal sama yang jujur. Tapi kalau tugas sih menurut saya pribadi sih masih normal, karena kan tugas juga buat kita belajar juga sih. kalau kalau ujian baru ngetes kita,” tuturnya kepada Tirto.
Riset Tyton Partners –yang dikutip di atas– juga menunjukkan, lebih banyak mahasiswa di Amerika Serikat yang beranggapan penggunaan GenAI memberi dampak positif terhadap proses belajarnya. Sebanyak 49 persen (dari 1.290 responden) yang berpendapat ini berbanding terbalik dengan 26 persen yang beranggapan penggunaan AI memberi dampak negatif terhadap proses belajar mereka.
Tenaga Pengajar Bukan Abai
Terkait dengan maraknya penggunaan teknologi AI oleh pelajar, guru ataupun dosen punya cara pandangnya masing-masing. Beberapa yang sempat berbicara dengan Tirto, cenderung mendukung pemanfaatannya.
Tri (30), dosen di salah satu akademi teknik di wilayah Bekasi, menganggap penggunaan perangkat AI membantu mahasiswanya untuk bisa mencari contoh aplikasi dari teori yang diajarkannya di kelas. Selain itu, ia juga merasa, untuk bahan ajar bidang pemrograman, perangkat AI mempermudah pekerjaannya dan memfasilitasi pembelajaran mahasiswanya.
“Coding itu kan jadi momok dulu, ya, tapi sekarang ada AI, jadi enak banget, membantu mahasiswanya,” tutur Tri saat berbicara kepada Tirto, Selasa (28/5/2024) .
Dia menambahkan, pemanfaatan AI, setidaknya di sektor industri, akan bermanfaat saat murid-muridnya lulus nanti.
“Beberapa mahasiswa yang magang di perusahaan untuk tugas akhir, itu sudah menerapkan penggunaan AI. Kadang malah jadi kita yang nge-rem, karena belum terbiasa menggunakannya,” tambah dia lagi.
Sejauh ini, Tri pun tidak terlalu khawatir dengan muridnya yang menyalahgunakan AI untuk mengerjakan tugas. Karena sejumlah ujian yang dia berikan tidak hanya teori semata. Sehingga dia bisa menilai kemampuan analisis dan pemahaman mahasiswanya dari cara dia menjawab pertanyaan studi kasus ataupun praktik di laboratorium.
Laporan "Generative AI in Higher Education: Fall 2023 Update of Time for Class Study", yang dibuat oleh Tyton Partners juga memetakan persepsi perwakilan dari fakultas perguruan tinggi terhadap penggunaan AI. Menariknya, berdasar riset tersebut, pihak fakultas sebenarnya cenderung memperbolehkan penggunaan teknologi AI untuk mencari ide, menyusun struktur, dan merapikan isi naskah.
Persepsi berbeda terkait penggunaan AI antara mahasiswa dan fakultas baru ditemukan ketika penggunaanya untuk menulis laporan. Hanya sekitar 21 persen responden dari fakultas yang menganggap hal tersebut boleh dilakukan, sementara 45 persen responden mahasiswa menganggap hal tersebut masih fair.
Bara (31), guru ilmu sosial di salah satu SMA swasta di Jakarta, juga melihat sejauh ini penggunaan AI oleh anak didiknya masih tingkatan wajar.
"Kalau dari obrolan sama anak-anak, mereka bilang kadang-kadang buntu, untuk mengerjakan ini (tugas) arahnya ke mana? Jadi jatuhnya mereka cari inspirasi untuk itu,” ceritanya, Senin (27/5/2024).
Dia beranggapan, selama penggunaan AI hanya menjadi perangkat pendukung, justru bisa memberi hasil pembelajaran yang lebih optimal.
Di kelas, Bara juga masih kerap meminta pengumpulan tugas dari siswanya dalam bentuk tulisan tangan. Ia berharap dengan cara ini, dia bisa menyeimbangkan kemampuan muridnya, agar tidak terlalu terpaku dengan perangkat digital.
“Saya rasa ini perlu karena kalau semua sudah serba digital, kemampuan merangkai kata atau menulis akan terdegradasi. Jadi ada saatnya pakai teknologi, tapi ada saatnya juga mereka menulis dari isi kepala mereka sendiri,” tambahnya.
Mayoritas Tak Pernah Ditegur Pendidik Bisa Jadi Karena Tak Terdeteksi?
Membedah lebih jauh survei Tirto bersama Jakpat, kami menemukan bahwa mayoritas responden mengaku tak pernah mendapatkan hukuman atau teguran dari tenaga pendidik, lantaran mereka menggunakan AI dalam mengerjakan tugasnya.
Namun, ada juga yang bilang mereka pernah sekali dan beberapa kali ditegur atau dihukum, jumlahnya masing-masing sebanyak 16,07 persen dan 7,65 persen. Dengan proporsi yang sangat kecil, sekitar 0,54 persen mengaku mereka “sering” menerima teguran dari guru atau dosen berkaitan dengan tugas yang mereka kerjakan dengan bantuan AI.
Tirto mencoba melakukan tabulasi silang data pengalaman ditegur itu dengan proporsi setiap responden dalam memanfaatkan AI dalam mengerjakan tugasnya.
Hasilnya, terlihat hanya 27,40 persen siswa/mahasiswa (37 dari total 135 responden) yang mengerjakan hampir keseluruhan (mendekati 90 persen) atau bahkan keseluruhan tugas dengan memakai AI, yang pernah mendapat teguran atau hukuman.
Jadi, bisa dibilang, ada sekira 72,60 persen responden, yang menggunakan AI hampir di setiap tugas yang dikerjakan, yang tak pernah mendapat teguran dan hukuman.
Memandang situasi tersebut, Pengamat Pendidikan, Totok Amin Soefijanto, mengungkap bahwa tugas besar pendidik seharusnya mengingatkan siswanya. Di sisi lain, pendidik disebut Totok mesti mengasah kemampuannya dalam memanfaatkan teknologi di era seperti ini.
“Mungkin 10 tahun yang lalu banyak pendidik yg gaptek (gagap teknologi). Jadi problemnya di situ, gimana ketahuan, orang gurunya juga gak tahu itu AI. Bukan berarti diijinkan, kalau tidak ditegur, (tapi) pendidiknya nggak tahu,” ujar Totok ketika berbincang dengan Tirto, Selasa (28/5/2024).
Totok, yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Rektor bidang Akademik, Riset dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina, juga menyadari hal ini sebagai tantangan yang cukup besar di Indonesia, akan tetapi mesti segera diatasi.
Kalau tidak, kata Totok, maka akan terbentuk kesenjangan antara guru/dosen dengan anak didik yang kebanyakan digital native. Sebutan digital native merujuk pada mereka yang tumbuh di era di mana teknologi tersedia secara masif dan menganggap teknologi sebagai bagian fundamental dalam kehidupan mereka.
Perlu Ada Pedoman atau Kebijakan untuk Penggunaan AI secara Etis
Meski begitu, Totok berpendapat, kehadiran AI di sektor akademik memang merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan. Pendidik perlu memahami bahwa alat bantu atau teknologi itu bergantung pada pemanfaatannya. Namun, ia bilang, perlu ada batasan etika di dalam penggunaan AI yang bertanggung jawab.
“Kita harus menghormati etika, dalam arti kita harus mengakui dan jujur sesuatu itu kerja kita atau kerja alat atau orang lain. Itu aja sebenernya,” tuturnya.
Totok yang saat ini juga turut mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, itu bahkan mengizinkan mahasiswanya menggunakan AI, tapi ia menekankan kepada mahasiswa untuk menandai bagian yang dikerjakan sendiri dan dikerjakan oleh AI.
“Jadi dengan begitu kita berdua bisa melihat pekerjaan Anda di mana dan pekerjaan AI ada di mana, dan bagaimana Anda bisa melengkapi, atau kalau bisa mengalahkan AI. Jadi ini yang menurut saya bisa melatih peserta didik untuk bisa melihat mana AI mana saya. Oh kok (pekerjaan) saya cuman kecil, berarti saya harus lebih lagi. Dan AI punya banyak kelemahan,” sambungnya.
Lebih lanjut Totok menilai, di lingkungan akademik perlu adanya pedoman atau kebijakan yang mengatur penggunaan AI secara etis. Karena dalam banyak kasus, terutama di Indonesia, guru atau dosen kerap kali meminta panduan.
“Tentu manfaat dari panduan ini, buat mereka yang pemula, panduan ini sangat membantu untuk mengamati, mulai masuk ke fenomena baru dengan adanya alat bantu ini, dalam hal ini AI. Misal membuat PPT, membuat gambar. (Dari) panduan itu sebenarnya pendidik bisa belajar oh ternyata bisa begini,” tutur Totok.
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Ditjen Diktiristek Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sri Suning Kusumawardani, mengakui perihal kebijakan penggunaan GenAI memang masih menjadi tantangan tersendiri.
“Ini menjadi tantangan tersendiri dari sisi kebijakan agar mahasiswa tidak selalu melakukan shortcut. Sebenarnya dari UNESCO sudah ada aturannya dan panduannya, serta dari Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mengeluarkan kebijakan dari sisi aplikasi dan sistem,” kata Sri Suning, dilansir halaman situs Kemdikbud, Jumat (26/4/2024).
Selain itu, Sri Suning menambahkan bahwa saat ini tantangan terbesar lain adalah rendahnya kemampuan belajar mandiri siswa. Ia menyebut, teknologi GenAI diharapkan menjadi kendaraan untuk mengasah kemampuan kritis mahasiswa sehingga perlu adanya etika-etika agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran.
“Pada tahun ini, Kemendikbudristek bersama dengan Prof T. Basarudin, Prof Paulina, serta para pakar lainnya akan memformulasikan kebijakan secara nasional mengenai AI ini. Seperti dari Universitas Indonesia (UI) sudah mulai mengembangkan mengenai rancangan panduan AI. Dan hal ini nanti akan kita adakan FGD bersama agar dapat membuat kebijakan yang holistik serta dapat menjadi solusi bagi para perguruan tinggi yang memiliki karakteristik berbeda-beda,” tutur Sri.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty