tirto.id - Saya lupa kapan tepatnya kebiasaan ini bermula, tetapi setiap kali ada kesempatan makan bersama, saya bersama kawan-kawan pasti bakal mengawali kegiatan makan kami dengan mengakses YouTube. Makanan yang kami santap bisa apa saja; nasi Padang, pecel lele, sate ayam, tahu tek. Namun bisa dipastikan tontonan kami selalu sama: Nex Carlos.
Saking seringnya, nyaris semua episode sudah kami tonton waktu itu. Kalau sudah begini, teman kami yang bertugas di balik kendali mouse mengemban tugas paling berat. Makanan kami sampai dingin demi mencari tontonan bertema kuliner yang pas, persis seperti meme-meme yang sempat beredar di media sosial.
Sebetulnya bukan cuma Nex Carlos, kebiasaan makan sambil menonton YouTube membuat kami menjelajahi berbagai macam tontonan seputar makanan mulai dari video mukbang, food preparation, tutorial memasak, sampai dengan daily meals vlog dari YouTuber China seperti Liziqi atau Dianxi Xiaoge. Menonton orang makan dengan lahap, melihat daging diolah, mendengar orang mengunyah makanan seolah membuat makanan kami jadi berkali-kali lipat lebih lezat dari rasa aslinya. Kami seperti orang kelaparan, menyantap dengan lahap, dan tahu-tahu makanan sudah habis tanpa kami sadari.
Tidak sulit menemukan alasan ilmiah di balik fenomena ini. Ketika menonton Nex Carlos mencomot bebek goreng atau menyeruput kuah mie ayam misalnya, otak kita melakukan sebuah pekerjaan yang menjadi biang keladi dari rasa lapar: berfantasi.
Otak bakal melakukan simulasi bagaimana rasanya menyantap makanan yang kita tonton. Penjelasan Charles Spence, seorang profesor psikologi eksperimental dari Universitas Oxford ini mungkin bakal membantu: ketika melihat makanan, ada area di bagian otak yang teraktivasi dan area itu berhubungan dengan penciuman atau penglihatan. Aktivasi ini tidak hanya terjadi ketika ada rangsangan visual, melainkan juga ketika kita mendengar atau membaca nama makanan.
Spence juga memberikan bukti lain bahwa dalam sebuah penelitian, para seniman lukis dari abad ke-16 dan ke-17 sengaja membuat lukisan yang bisa membangkitkan rasa lapar orang yang melihatnya. Mereka berharap kita bakal meneteskan air liur begitu melihat lukisan mereka. Itu sebabnya, para seniman ini melukis lemon dengan warna kuning terang yang berkilau. Bukan hanya itu, secara ilmiah, otak kita juga lebih menyukai makanan yang bergerak dan tinggi kalori. Pantas saja, melihat iklan burger atau ayam goreng di restoran cepat saji membuat nafsu makan meningkat berkali-kali lipat.
Penyebab Kebiasaan Menonton Sambil Makan
Kebiasaan menonton sambil makan sebetulnya telah mendarah daging jauh sebelum orang ramai mengakses YouTube. Paling tidak ini bisa dilacak dari kebiasaan saya sendiri dan orang-orang terdekat. Sebelum era YouTube dan Netflix, saya dan para sepupu sering menghabiskan makan malam kami sambil menonton Naruto di televisi.
Mulut kami sibuk mengunyah sementara kedua mata kami tak bisa lepas dari sepak terjang Naruto di Desa Konoha. Situasi yang juga tidak jauh berbeda saat sarapan, televisi yang ada di ruang tengah keluarga pasti menyala, sementara kami asyik menyuap makanan dari piring masing-masing. Ketiadaan meja makan justru membuat kami terbiasa makan bersama di depan televisi.
Sejatinya, bukan hanya video makanan, banyak juga yang mencari tontonan lain saat makan, misalnya melanjutkan binge-watching drama Korea kesayangan, menonton kartun–seperti yang dulu saya lakukan bersama sepupu–atau bahkan sekadar menyaksikan siaran berita. Lalu, mengapa sepertinya kita sangat terobsesi dengan kebiasaan ini? Bukankah menonton sambil makan melawan konsep makan sehat alias mindful eating?
Alissa Rumsey, seorang terapis nutrisi yang juga mengasuh situs Alissa Rumsey Nutrition and Wellness memberikan jawaban yang cukup membuat saya berpikir lebih jauh.
“Klien saya makan malam sambil menonton televisi karena itu cara mereka untuk bersantai dan mengistirahatkan pikiran,” katanya.
Ini membuat saya berpikir kalau kebiasaan makan sambil menonton agaknya bersinggungan dengan status ekonomi seseorang. Bagi keluarga saya yang notabene adalah kelas pekerja, aktivitas makan adalah saat untuk beristirahat. Kami tidak mempraktikkan konsep mindful eating karena memang aktivitas makan bagi kami adalah aktivitas untuk menghibur diri.
Konsep mindful eating memang sedang ngetren sejak beberapa tahun terakhir. Joseph B. Nelson menggambarkan mindful eating sebagai pendekatan seseorang untuk fokus pada makanan dan pengalaman mereka bersantap. Dengan pendekatan ini, ujar Nelson, seseorang bisa "...menikmati momen dan makanan yang mereka santap, dan mendorong mereka fokus demi pengalaman bersantap."
Praktik mindful eating ini memang pada akhirnya tak berlaku di keluarga kami. Alih-alih fokus pada makanan, mata kami terpaku pada layar kaca atau gawai, sembari mengunyah. Makan sembari menonton adalah hiburan kami.
Soal hibur-menghibur ini, Dr. Sophie Mort, seorang psikolog klinis coba menjelaskan, baik aktivitas makan atau menonton sama-sama mendorong otak menghasilkan dopamin, zat yang berkontribusi atas perasaan bahagia. Maka tak heran kalau mengkombinasikan dua kegiatan ini secara bersamaan membantu kita lebih rileks dan bahagia, walau hanya sesaat.
Dr. Mort juga membeberkan fakta lain mengapa kita sering mencuri waktu dengan menonton saat makan, yang ternyata berkaitan dengan produktivitas. Diakui atau tidak, di era ketika presiden kita saja mengampanyekan slogan “Kerja, kerja, kerja”, masyarakat kita saat ini sangat memuja produktivitas. Melakukan satu aktivitas di satu waktu, oleh sebab itu, jadi terdengar kurang produktif. Hidup di tengah masyarakat semacam ini membuat otak kita terprogram secara otomatis. “Mengapa hanya makan kalau kita bisa melakukan dua kegiatan sekaligus?”
Makan Sambil Menonton dan Segala Pro-Kontranya
Bagaimanapun juga, konsep mindful eating bukan lahir dari kekosongan. Kebiasaan makan sambil menonton berisiko membuat kita makan lebih banyak dari yang seharusnya. Bahkan sekalipun sudah makan dalam porsi besar, kita jadi mudah lapar sehingga berakhir dengan makan lebih banyak lagi. Selain itu, dilihat dari aspek sosial, makan sambil menonton mengurangi interaksi yang bisa saja kita lakukan dengan teman makan kita. Sebab, dalam beberapa budaya, aktivitas makan merupakan medium untuk membangun family bonding.
Makan sambil menonton juga bisa dilihat sebagai masalah, terutama ketika kita besar di lingkungan yang memperlakukan makan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Saya jadi teringat sebuah ungkapan yang sering saya dengar ketika kecil.
“Makan jangan disambi, nanti makanannya dihabiskan setan lho.”
Waktu kecil, kita sering diminta untuk menghabiskan makanan dengan fokus, sementara saat dewasa, menyisihkan waktu untuk makan tanpa melakukan kegiatan lain sudah seperti sebuah kemewahan yang makin lama makin sulit buat diwujudkan.
Walau demikian, menurut Elise Museles, seorang ahli psikologi makan dan pakar nutrisi, makan sambil menonton sebetulnya tidak merugikan-merugikan amat, apalagi jika kebiasaan itu membantu meredakan stres. Yang jadi masalah adalah ketika aktivitas itu sudah jadi kebiasaan yang bahkan kita sendiri tidak tahu mengapa kita melakukannya.
Sebagai jalan tengah, ia menyarankan, sebelum melakukan kegiatan makan sambil menonton, sebaiknya kita paham dulu mengapa kita perlu melakukan dua kegiatan ini secara bersamaan. “Kuncinya adalah, kamu bertanya dulu kepada dirimu sendiri, mengapa kamu melakukannya,” kata Museles dilansir dari Well and Good.
Saya sendiri sampai sekarang masih susah melepaskan kebiasaan ini, apalagi di waktu-waktu sekarang, saat Stranger Things Season 4 baru saja rilis di Netflix. Mungkin saya bakal memesan nasi padang dan makan dengan lahap sambil menyaksikan monster-monster berulah di dunia Upside Down.
Editor: Nuran Wibisono