tirto.id - Pada 1952 Nahdlatul Ulama memutuskan berpisah dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Setelah itu kedua partai terlibat perselisihan tajam. Salah satunya disebabkan NU berupaya menarik kembali anggotanya yang telah memegang jabatan penting di Masyumi.
NU juga mengalami problem internal yang rumit. Dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2003), Greg Fealy mencatat di tahun pertamanya menjadi partai, NU ditimpa banyak persoalan. Partai ini tidak memiliki program kebijakan yang jelas. Administrasinya kacau balau, ditambah keterbatasan dana dan aktivitas ekonomi yang mandek sejak masa pendudukan Jepang. Akibatnya, sejak paruh kedua 1940-an, jumlah keanggotaan NU anjlok dan hanya menyisakan 51.000-an anggota di tahun 1952 (hlm. 145).
Kondisi ini memaksa NU bertindak cepat. Di tengah krisis yang berkelanjutan, NU harus melakukan persiapan mendesak untuk meningkatkan jumlah anggota dengan cepat. Padahal Pemilu 1955 sudah di ambang pintu. NU hanya punya waktu kurang dari dua tahun untuk dapat meruntuhkan tembok politik yang menghalanginya.
Untuk menghadapi Pemilu 1955, NU lantas mendirikan Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu). Selain merumuskan strategi pemilu, Lapunu bertugas menyusun kriteria calon legislatif dan juru kampanye. Melalui langkah ini, NU berharap dapat merekrut lebih banyak anggota sekaligus membujuk umat Muslim untuk mencoblos tanda gambar bola bumi yang diikat tali—lambang Partai Nahdlatul Ulama.
Menjaring Pemilih Perempuan
Sejak menjadi partai sendiri, NU sama sekali tidak memiliki wakil perempuan di parlemen. Kriteria pemilihan calon yang dirancang Lapunu juga sama sekali tidak memihak kepada perempuan. Ini menuai kecaman dari anggota Muslimat NU.
Merujuk catatan Fealy, pada 1954 badan otonom NU yang mengurusi kaum perempuan itu meluncurkan tuntutan pada Muktamar NU di Surabaya. Salah seorang perwakilan Muslimat dengan tegas mengatakan bahwa NU akan rugi jika tidak mengizinkan perempuan berpartisipasi dalam politik.
“Jika ingin menjadi partai yang besar maka NU harus memberikan kesempatan kepada perempuan untuk duduk di parlemen,” tutur Asmah Syahruni dalam wawancaranya dengan Greg Fealy.
Awalnya, para kiai menolak tuntutan Muslimat dengan alasan ketidakpantasan seorang perempuan Muslim pergi berkampanye ke pelosok. Tapi, setelah melalui perdebatan sengit, NU akhirnya menyetujui tuntutan itu. Pertimbangannya: juru kampanye dan politikus perempuan bisa meningkatkan citra partai di mata pemilih perempuan.
“Tokoh-tokoh perempuan dari PNI, Masyumi, dan PKI terbukti menjadi juru kampanye yang efektif. Hanya dengan memberikan kesempatan yang sama kepada Muslimat, NU berharap akan dapat memaksimalkan dukungan dari para pemilih perempuan,” tulis Greg Fealy.
Masih menurut Fealy, anggota Muslimat yang akhirnya bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD, dan Dewan konstituante sebagian besar berasal dari keluarga ulama. Mereka merupakan putri-putri kiai yang sedari kecil dididik di pesantren terkemuka.
Nyai Mahmudah dan Muslimat NU
Salah satu tokoh perempuan yang paling getol berkampanye untuk NU pada Pemilu 1955 adalah Nyai Mahmudah Mawardi. Menurut NU Online, ia merupakan salah satu tokoh Muslimat yang paling terkenal berkat kepiawaiannya membawa organisasi perempuan NU ke arah yang lebih progresif.
Berselang empat tahun setelah Muslimat NU didirikan pada 29 Maret 1946, Mahmudah terpilih menjadi ketua umumnya. Sebelumnya, putri tokoh perintis NU Solo Kiai Masjhud ini sudah pernah mengemban tugas sebagai Pimpinan Cabang Muslimat NU Solo dan ketua Federasi Wanita Islam Indonesia di Solo.
Kepemimpinan Mahmudah dalam Muslimat NU berlangsung selama delapan periode (1950-1979). Dengan demikian, ia terlibat secara langsung dalam penggalangan suara dan kampanye NU dalam Pemilu 1955 yang dilakukan Muslimat.
Berbekal didikan pesantren yang kuat, Mahmudah menggalang pendukung dari kalangan perempuan Muslim melalui cara-cara yang populis dan agamais. Di samping menggelar penyuluhan pemilu dan bakti sosial membantu keluarga miskin, Mahmudah juga aktif menyuarakan masalah-masalah perempuan terkait perkawinan, hak-hak berumah tangga dan bermasyarakat di harian Duta Masjarakat.
Sembari menyuarakan aspirasi perempuan, Mahmudah secara konsisten mengampanyekan program-program politik NU yang berlandaskan Islam.
NU Bukan Satu-Satunya
Manuver politik dengan melibatkan tokoh perempuan dalam memeriahkan kampanye Pemilu 1955 bukan hanya milik NU. Masyumi juga banyak mendulang suara pemilih perempuan Muslim dari kampanye-kampanye politik yang dilakukan Aisyiyah. Pengerahan juru kampanye perempuan memang bukan strategi baru dalam Pemilu 1955.
Pada paruh kedua 1940-an organisasi perempuan banyak bermunculan. Namun alih-alih bekerja bersama, mereka memilih berafiliasi dengan partai-partai peserta Pemilu 1955 untuk mengampanyekan kesetaraan politik. Tapi, menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010), hak kesetaraan politik perempuan kala itu sebenarnya timbul sebagai imbalan kontribusi mereka terhadap revolusi (hlm. 160).
Kampanye yang dilakukan tokoh perempuan dalam Pemilu 1955, lanjut Wieringa, sangat efektif menarik suara dari kalangan rakyat bawah. Sayangnya, tidak banyak perempuan yang berhasil lolos ke parlemen. Dari total 257 kursi di DPR, hanya ada 19 kursi yang berhasil diduduki calon perempuan.
Meski demikian, pencapaian tokoh Muslimah dalam Pemilu 1955 tidak terlampau mengecewakan. Menurut catatan Wieringa, dari keseluruhan kursi yang berhasil diduduki perempuan, sembilan di antaranya berasal dari partai berhaluan Islam seperti NU dan Masyumi. NU berhasil menempatkan lima calon perempuan, menyamai jumlah calon perempuan dari PKI.
Editor: Ivan Aulia Ahsan