tirto.id - Praktik senioritas diduga terjadi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Terdapat tradisi iuran di luar biaya pendidikan resmi.
Dokter residen atau mahasiswa PPDS anestesi RS Kariadi, Angga Rian, mengakui ada kebiasaan lumrah junior iuran memenuhi kebutuhan makan dan minum untuk para seniornya. Namun, Angga tidak menganggap iuran ini sebagai pemalakan.
Angga yang merupakan mahasiswa senior mengatakan, iuran sistemnya gotong royong. Mahasiswa junior membantu senior yang tidak bisa keluar-keluar karena harus bersiaga 24 jam menjalani pembiusan di ruang operasi.
Saat ini, kata dia, terdapat sekitar 85 mahasiswa PPDS Undip semester 1-8 di RS Kariadi. Dalam sehari, mereka dituntut belajar membantu pelayanan terhadap 120-140 pasien di kamar operasi, dan 20-30 program pembiusan di luar kamar operasi.
“Ketika sudah senior, makannya disediakan oleh adiknya yang paling kecil agar yang di kamar operasi tetap bisa menjalani pembiusan,” ucap Angga saat berada di Undip, Senin (2/9/2024).
Iuran tersebut dikoordinir atas nama angkatan-masuk PPDS dan hanya diberlakukan pada semester awal. Ketika mahasiswa sudah semester lanjut, maka akan balik dibelikan makan oleh juniornya yang baru.
“Memang [junior] menanggung [senior], tapi untuk selanjutnya semester 2, 3, 4 dia [junior] tidak perlu membayar lagi karena semester 1 dia sudah [membelikan makan]. Jadi itu kaya ditumplek di awal," imbuh Angga.
Saat masih semester awal, Angga mengaku iuran maksimal Rp10 juta per bulan, dan ada bulan yang tidak perlu iuran. Iuran dikumpulkan kepada bendahara angkatan untuk selanjutnya dikelola untuk pembelian kebutuhan senior.
“Paling besar pas saya Rp10 juta. Tapi kalau ada sisa itu dikembalikan. Itu kan hanya satu semester saja, jadi ketika next semester, kita tidak iuran lagi karena yang memberikan makan yang juniornya," jelas dia.
Dokter Risma "Dipalak" Rp40 juta Per Bulan
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengungkap terdapat dugaan pemalakan dalam kasus dugaan perundungan yang berujung kematian dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS anestesi Undip di RS Kariadi.
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, dalam keterangan resminya mengatakan, junior PPDS dimintai uang di luar biaya pendidikan resmi berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan.
Berdasarkan kesaksian, permintaan pungutan ini berlangsung sejak dokter Risma masih semester 1 pendidikan atau di sekitar Juli (2022) hingga November 2022.
Kemenkes juga mencatat dokter Risma ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya.
Ia juga ditugaskan menyalurkan uang itu untuk kebutuhan non-akademik, seperti membiayai penulis lepas untuk naskah akademik senior, menggaji OB, dan berbagai kebutuhan senior lain.
Angga selaku senior mengaku mengenal almarhumah dokter Risma. Namun, ia tidak mengetahui terkait kasus dugaan pemalakan Rp40 juta per bulan tersebut. Ia mempersilakan untuk bertanya kepada teman seangkatan dokter Risma.
Dia mengklaim, iuran junior ke senior yang berlaku di lingkungan PPDS anestesi RS Kariadi, tidak bersifat wajib. Bahkan, menurut informasi yang dia terima, almarhumah Risma termasuk yang sering tidak iuran.
“Selama ini sepengetahuan teman-teman angkatannya, almarhumah itu termasuk yang tidak ikut setoran, dan sampai sekarang [sebelum meninggal] toh almarhumah bisa bertahan sampai semester 5,” kata dia.
Undip Tidak Tahu Adanya Pemalakan
Universitas Diponegoro telah selesai melakukan investigasi dugaan perundungan mahasiswa PPDS anestesi di RS Kariadi. Hasil investigasinya tidak menemukan adanya perundungan terhadap dokter Risma yang kini telah meninggal dunia.
“Dari investigasi internal kami, hal tersebut [perundungan] tidak benar," ujar Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati, saat mengumumkan hasil investigasinya, Kamis (15/8/2024).
Dalam hasil investigasi yang diumumkan ke publik itu tidak menyinggung sama sekali terkait dugaan pemalakan junior oleh senior PPDS Undip di RS Kariadi.
“Kami masih proses melihat itu, tapi bagaimana pun itu kan karena public crush tidak boleh hanya internal Undip saja, harus dari luar,” jelas Dekan Fakultas Kedokteran Undip, Yan Wisnu, di kampusnya saat ditanya terkait dugaan pemalakan, Senin (2/9/2024).
Sisi lain, selama ini FK Undip tidak pernah mendapatkan laporan adanya pemalakan dari mahasiswa PPDS.
“Kami harus lihat lebih lanjut, tapi kalau laporan yang masuk ke kami yang pemalakan itu kok sepertinya tidak," imbuhnya.
Meskipun begitu, Yan Wisnu mengatakan institusinya terbuka dengan hasil investigasi yang dilakukan pihak lain. Ia pun siap memberi sanksi jika terbukti adanya perundungan, termasuk pemalakan.
“Yang dipalak siapa saja, yang memalak siapa, besaran uang itu berapa, dan uang itu ke mana. Itu diungkap saja dan kami tidak akan menutupi dan kami berkomitmen bersama untuk memberikan sanksi," ucap Yan Wisnu.
Sementara itu, Koordinator Hukum, Humas, Organisasi dan Pemasaran RS Kariadi, Vivi Vira Viridianti, menolak mengomentari dugaan pemalakan PPDS di rumah sakitnya.
Saat ditemui di kantornya pada Senin (2/9/2024), Vivi hanya bersedia menjelaskan berkait pelayanan di RS Kariadi.
Sebelumnya diberitakan, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Undip tewas dengan janggal.
Ia ditemukan tergelatak tak bernyawa pada Senin (12/8/2024) di kamar indekosnya di Kelurahan Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Mahasiswi yang menempuh pendidikan dan berpraktik di RSU Kariadi tersebut diduga merupakan korban perundungan yang memutuskan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz