tirto.id - Bagi Edward Carey, bekerja di museum lilin Tussauds, entah di awal maupun akhir pekan, selalu mengganggu benaknya. Menyaksikan orang-orang "besar" berdiri mematung membuatnya merasa campur aduk: kadang simpati, kadang bergidik, kadang kasihan. Patung-patung tersebut tampak begitu dekat dan nyata.
Ketika membicarakan Museum Tussauds, yang sering terlintas dalam pikiran adalah bagaimana tempat ini menjadi area berkumpulnya doppelganger dari banyak tokoh ternama━politikus, diktator fasis, selebriti, hingga bintang olahraga. Sedikit yang menyentil fakta bahwa Museum Tussauds dilahirkan juga karena darah, pengkhianatan, serta revolusi.
Nama Museum Tussauds diambil dari Marie Tussaud, seniman lilin abad ke-18 asal Perancis. Tussaud lahir pada 1761 di Strasbourg, Perancis timur, dengan nama Marie Grosholtz. Masa kecilnya dihabiskan di Bern, Swiss, di mana ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga ahli anatomi dan seniman lilin bernama Philippe Curtius.
Pada 1765 Tussaud pindah ke Paris, mengikuti jejak Curtius yang ingin mencurahkan seluruh waktunya untuk seni, demikian tulis Enric March dalam “How Madame Tussaud Built Her House of Wax” (2018) yang dipublikasikan National Geographic. Dalam perkembangannya, Curtius mengambil peran sebagai wali, ayah, paman, sekaligus mentor artistik bagi Tussaud.
Di Paris, Curtius membangun reputasinya dengan baik. Karya-karya lilinnya menarik banyak minat: dari golongan aristokrat hingga rakyat jelata. Keadaan ini membikin Curtius punya “bengkel” sendiri yang berlokasi di kawasan Boulevard du Temple.
Seperti dicatat Artsy dalam artikel berjudul “The Grisly Origins of Madame Tussaud’s Wax Empire,” bengkel Curtius begitu hidup. Ada kursi yang disiapkan untuk mereka yang ingin menonton pertunjukan, kafe yang dilengkapi orkestra dan penyanyi dari Perancis maupun Italia, juru masak handal, penjaga restoran, dan patung lilin yang beraneka rupa.
Praktik membikin patung maupun tiruan wajah dari lilin sebetulnya sudah ada semenjak era Romawi dan Mesir kuno. Umumnya, patung lilin dipakai untuk acara keagamaan, selain juga untuk pengajaran anatomi manusia. Baru pada abad ke-18, patung lilin menjelma sebagai hiburan yang populer bagi mereka yang haus akan hal-hal baru. Peluang ini ditangkap dengan baik oleh Curtius, dan kelak diturunkan kepada Tussaud.
Berkobar Bersama Revolusi
Tinggal di bengkel sekaligus rumah membuat Tussaud bisa menyimak proses bagaimana menyusun karya-karya dari lilin. Terlebih, Curtius juga tak pelit ilmu. Saat usianya menginjak 15, Tussaud berhasil menciptakan patung pertamanya yang mirip dengan filsuf kenamaan, Voltaire. Semenjak saat itu, Tussaud kian getol mengulik seni lilin.
Di era 1780-an bisnis Curtius tambah melesat. Pada 1782, misalnya, ia mengadakan pameran bertajuk "Caverne des Grands Voleurs” (Para Pencuri Hebat di Gua Besar), yang menampilkan patung-patung penjahat. Dalam pengerjaannya, Curtius bahkan sampai mendatangkan mayat para pencuri agar dapat menangkap rupa mereka secara paripurna. Di masa ini pula Curtius menjalin relasi hangat dengan Istana Versailles. Tussaud sendiri punya kedekatan yang erat Madame Elisabeth, saudara perempuan Louis XVI.
Namun, semua menjadi serba sulit saat musim panas 1789 datang━ketika Revolusi Perancis yang meminta Louis XVI turun takhta berkobar ke seantero negeri. Massa dengan jumlah besar memenuhi jalanan ibu kota, mengibarkan bendera hitam, meneriakkan tuntutan pembubaran monarki, sebelum akhirnya menghancurkan Penjara Bastille.
Segala yang berbau kerajaan disikat, termasuk Curtius dan Tussaud. Mereka dianggap dekat dengan monarki dan oleh karenanya harus dibui━kalau perlu dihabisi. Sadar bahwa hidupnya terancam, Curtius menawarkan jasa untuk membikin topeng lilin dari mereka yang sudah dieksekusi mati dengan guillotine.
Maka, selama Pemerintahan Teror (Reign of Terror), masa di mana mereka yang tak sepakat revolusi bakal dipancung dengan guillotine, Tussaud “mengerjakan” puluhan topeng kematian dari lilin, termasuk di antaranya Louis XVI, Marie-Antoinette, hingga Robespierre atas perintah Majelis Nasional sebagai upaya memenuhi kronik revolusi.
Akan tetapi, makin lama, Tussaud mendapati dirinya tak mampu menahan tekanan yang ada. Ia kian muak dengan segala kebobrokan yang menjalar di sudut-sudut Paris, imbas dari lahirnya revolusi. Situasi bertambah buruk kala Curtius meninggal pada 1794, meninggalkan warisan dan Tussaud seorang diri.
Hijrah ke London dan Mendunia
Setahun usai Curtius mangkat, Tussaud menikah dengan seorang insinyur bernama Francois dan melahirkan dua putra. Perkawinan ini tak berjalan mulus. Penyebabnya: bisnis lilin yang tak menentu pasca-revolusi serta kebiasaan sang suami yang gemar berjudi hingga membikin kolaps keuangan keluarga.
Kondisi tersebut mendorong Tussaud putar otak sampai akhirnya ia bertemu dengan ilusionis dari Jerman, Paul Philidor. Oleh Philidor, Tussaud diajak untuk membikin pementasan bersama di Lyceum Theatre, London. Philidor meyakinkan bahwa publik Inggris adalah pasar yang menggiurkan untuk pementasan yang mereka lakukan.
Akhirnya, pada 1802, Tussaud, yang saat itu berusia 40, berangkat ke Inggris dengan modal dana yang pas-pasan demi mencoba peruntungan yang diharapkan bisa memperbaiki derajat hidupnya.
Ekspektasi tak jarang dapat membunuh secara perlahan dan itulah yang dialami Tussaud manakala ia menjemput kesempatan hingga Inggris. Tussaud kecewa dengan pertunjukan yang disusun bersama Philidor. Ia mengeluh bahwa karyanya gagal dipromosikan dengan begitu baik.
Atas dasar tersebut, Tussaud pun memutuskan untuk solo karier. Ia kemudian berkelana ke daratan Britania, dari satu negara ke negara lainnya, guna mengenalkan karya-karyanya yang terilhami Revolusi Perancis dan Pemerintahan Teror. Patung lilin yang menggambarkan Louis XVI serta para korban guillotine seketika membangunkan daya tarik, jijik, empati, dan, paling penting, ketenaran.
Nama Tussaud makin melambung dan puncaknya terjadi pada 1835 ketika ia, mengutip Smithsonian, mendirikan museum lilin di Baker Street, London. Popularitas museum ini ditunjang dengan kehadiran ruang pameran bernama Chamber of Horror yang menampilkan tiruan para pembunuh dan penjahat. Istilah “Chamber of Horror” sendiri berasal dari kontributor majalah satire Punch.
Keberadaan Chamber of Horror langsung memantik kontroversi. Sebagian masyarakat Inggris menganggap pameran tersebut tak elok karena menggunakan━dan menjual━tragedi untuk tontonan publik. Namun, bagi yang lain, apa yang dilakukan Tussaud dipandang mampu menciptakan keintiman antara pengunjung dan sejarah yang digambarkan ulang lewat lilin. Popularitas museum Tussaud semakin meluas ketika pada 1837 Ratu Victoria meminta Tussaud untuk membikin tiruan wajahnya.
Karya-karya Tussaud, seiring waktu, terus bertahan di tengah dinamika zaman. Sekarang, Tussaud telah menjelma jadi jenama global. Jutaan pengunjung berdatangan untuk menyimak warisannya yang tersebar ke 24 kota di empat benua.
“Madame Tussaud percaya ia bisa memberikan hiburan, pencerahan artistik, pendidikan sejarah, sekaligus tempat ziarah,” tulis Pamela Pilbeam, pengarang Madame Tussaud and History of Waxworks (2003).
Madame Tussaud meninggal pada 16 April 1850, tepat hari ini 169 tahun lalu. Publik zaman ini terus mengingat keberhasilan Tussaud dalam membangun kerajaan lilinnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan