tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan meminta kepada kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah untuk bersiap menghadapi cuaca ekstrem seperti El Nino yang diprediksi terjadi pada 2023. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan di Indonesia.
"Setidaknya sejak saat ini kami menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino," kata Luhut dikutip dari laman facebooknya, Kamis (27/4/2023).
"Mari kita semua tetap waspada dan saling menjaga di masa masa sulit seperti ini sehingga kerugian yang terjadi akibat peralihan cuaca bisa kita reduksi bersama demi kemaslahatan masyarakat Indonesia seluruhnya," tambahnya.
Lebih lanjut, Luhut mengatakan menurut Sekjen Organisasi Meteorologi Dunia fenomena La Nina yang telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut dan membawa cuaca lebih basa. Akhirnya telah berakhir, Sebagai gantinya El Nino akan membawa suhu menjadi tinggi sehingga membuat cuaca menjadi lebih kering.
Kemudian, berdasarkan data yang didapatkan dirinya, suhu laut juga telah mencapai rekor tertingginya setelah terakhir terjadi pada tahun 2016 yang lalu. Belum lagi gelombang panas yang mendorong rekor suhu tertinggi di Asia akhir-akhir ini.
"Dari pemodelan cuaca yang kami dapatkan El Nino diprediksi akan terjadi pada Agustus 2023 meski ketidakpastian tingkat keparahan El Nino masih sangat tinggi," bebernya.
"Dari pemodelan cuaca yang kami dapatkan El Nino diprediksi akan terjadi pada Agustus 2023 meski ketidakpastian tingkat keparahan El Nino masih sangat tinggi," tambahnya.
Belajar dari pengalaman 2015 lalu yang terjadi di Indonesia, El Nino kata Luhut berpotensi menyebabkan dampak kekeringan yang luas dan juga kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah. Hal ini tentunya berkorelasi terhadap turunnya produksi pertanian dan pertambangan berdasarkan data IMF.
Belum lagi dampak luas terhadap inflasi Indonesia dikarenakan besarnya kontribusi inflasi pangan terhadap inflasi keseluruhan. Hal ini terjadi karena diperkirakan 41 persen lahan padi mengalami kekeringan ekstrim di tahun tersebut.
Data World Food Programme bahkan menyebut bahwa 3 dari 5 rumah tangga kehilangan pendapatan akibat kekeringan, dan 1 dari 5 rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan akibat kekeringan.
"Untuk itu, kami akan bersiap dalam kondisi yang paling ekstrem sekalipun," tegasnya
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin