Menuju konten utama

Luhut: Pembangunan Infrastruktur Tidak Perlu Ada yang Ditunda

Luhut menilai tidak perlu ada penundaan pembangunan infrastruktur sebab ada peluang peningkatan pendapatan negara dari kelapa sawit melalui aturan biodiesel.

Luhut: Pembangunan Infrastruktur Tidak Perlu Ada yang Ditunda
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (kanan). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pembangunan infrastruktur dalam negeri tidak perlu ada yang ditunda. Hal ini terkait tingginya impor bahan baku/penolong konstruksi di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Saya kira tidak perlu ada penundaan pembangunan infrastruktur. Setelah kami lihat ada peluang peningkatan pendapatan negara dari kelapa sawit melalui aturan biodiesel, penerimaan tambahan dari batu bara, kemudian proyeksi peningkatan turis ke Indonesia," ujar Luhut di Jakarta pada Kamis (2/8/2018).

"Kami evaluasi tapi, enggak ada, belum ada penundaan pembangunan infrastruktur," katanya lagi.

Bersamaan dengan gencarnya pemerintah membangun infrastruktur, impor bahan baku/penolong meningkat. Ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari-Juni 2018, impor bahan baku/penolong naik sebesar 21,54 persen menjadi 66,489 miliar dolar AS dari 54,706 miliar dolar AS pada periode yang sama pada 2017.

Kontribusi impor bahan baku atau penolong itu mencapai 74,67 persen dari total impor Januari-Juni sebesar 89,040 miliar dolar AS.

Luhut mengatakan impor baku/penolong berupa minyak mentah bisa ditekan dengan aturan biodiesel 20 persen (B20). Ketentuan ini mewajibkan bahan bakar minyak jenis solar dicampur 20 persen komponen biodiesel yang berbahan dasar minyak nabati. Aturan B20 diproyeksikan September diterapkan untuk semua sektor industri baik yang menggunakan skema Public Service Obligation (PSO) maupun non-PSO.

Pemerintah telah menghitung paling tidak dalam setahun akan ada penghematan devisa sebesar 5,5 miliar dolar AS. Dengan devisa dalam negeri lebih kuat, rupiah dapat terjaga.

Cadangan devisa diketahui sebagai alat jangka pendek Bank Indonesia yang digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap AS, yang saat terdepresiasi di level Rp14.400.

Bank Indonesia (BI) merilis posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2018 sebesar 119,8 miliar dolar AS. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan posisi cadangan devisa pada Mei 2018 sebesar 122,9 miliar dolar AS. Cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor.

Selanjutnya industri sektor pariwisata yang terus dikembangkan dan dinaikkan daya saingnya, dapat menambah pendapatan negara. Belum lama, Qatar Investment Authority memberikan investasi pengembangan pariwisata Mandalika sebagai 10 destinasi Bali Baru, senilai 500 juta dolar AS.

“Ditargetkan hingga akhir tahun jumlah wisatawan asing (wisman) masuk 17 juta, dan hingga 2020 sebanyak 20 juta wisman,” ujar Luhut.

Perhitungan pemerintah satu wisman rata-rata dapat mengeluarkan uang didalam negeri 1.000 miliar dolar AS per orang. "Pendapatan negara dapat bertambah dari program 20 juta wisman sebesar 20 miliar dolar AS," sebutnya.

Ia mengatakan bahwa pemerintah tengah membenahi pengelolaan sektor industri dalam negeri. "Sekarang kita bangun industri yang bertahun-tahun dilupakan. Sekarang kita kejar," ujarnya. Lebih lanjut Luhut mengatakan, dengan berbagai langkah strategis itu, pada akhir tahun defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) dapat lebih baik.

"Mungkin empat bulan dari sekarang. Tapi, kan orang sudah bisa baca. Gradually bisa paling tidak menahan rupiah di sekitar Rp14 ribu dan mungkin gradually bisa turun ke bawah lagi," katanya menjelaskan.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari