tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan merencanakan penggunaan alat deteksi Covid-19 GeNose di semua area publik. Genose juga diperuntukkan untuk penggunaan di Stasiun Kereta Api, Bandara, Pelabuhan dan Terminal.
"Kedepannya kita akan gunakan ini di semua area publik seperti di Hotel, Mall, di lingkungan masyarakat RT/RW," ujar Luhut dalam kunjungan di Stasiun KA Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (23/1/2021).
Dalam kunjungan tersebut, Luhut mencoba Genose dengan cara mengembuskan napas dan dinyatakan negatif. Alat ini dibuat oleh Universitas Gajah Mada (UGM) dengan pendanaan dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).
Genose sudah mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 24 Desember 2020.
Menurut Luhut, kelebihan dari alat ini bisa mendeteksi lebih cepat dan harga yang relatif lebih murah dengan akurasi di atas 90 persen.
"Alatnya hanya seharga Rp62 juta dan harga per orangnya hanya dikenakan sekitar Rp20 ribu. Jika pemakaian lebih banyak, costnya akan semakin turun dan nantinya alat ini akan terus dikembangkan sehingga mempunya akurasi yang akan lebih tajam," ujar Luhut.
GeNose C19 alat pendeteksi Covid-19 pertama di Indonesia yang menggunakan embusan napas. Aplikasinya terhubung dengan sistem cloud computing untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time.
Alat yang nama panjangnya Gadjah Mada Electronic Nose ini diklaim mampu mendeteksi virus COVID-19 dalam waktu cepat, sekitar 80 detik saja. Orang yang dites cukup mengembuskan nafas dan sensor dengan kecerdasan buatan akan mengidentifikasi apakah terdapat Volatile Organic Compound (VOC). Hasil tes dinyatakan reaktif jika VOC terdeteksi.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan Genose masih harus menjalani uji klinis fase 4 untuk melihat sensitivitas dan specificity dibandingkan dengan PCR. “Masih memerlukan clinical trial yang fase 4 untuk membuktikan bahwa itu betul-betul bisa,” kata Kadir dalam keterangan pers, Senin (28/12/2020).
Walaupun sudah melalui berbagai pengujian, misalnya uji profiling menggunakan 600 sampel dari Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid Bambanglipuro di Yogyakarta, sampai hari ini tidak ada satu pun laporan ilmiah mengenai itu. Pakar Biologi Molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo salah satu individu yang menunggu laporan tersebut.
Tanpa dilengkapi publikasi ilmiah, banyak pertanyaan yang menggantung dari alat tersebut. Dari aspek teknis penelitian, Ahmad mempertanyakan desain uji klinik yang digunakan dan pelaksanaannya. Itu penting karena akan memengaruhi hasil.
Selain itu, publikasi sejauh ini belum menjawab gas apa yang dideteksi oleh Genose dan kapan gas tersebut akan muncul serta kapan pula akan hilang. Pertanyaan itu penting dijawab untuk mengetahui risiko false positive dan false negative--masalah yang tak dapat diselesaikan oleh tes rapid.
“Gas ini munculnya kapan? Pada pasien yang seperti apa, gejala ringan atau berat? Orang yang sudah sembuh, masih pemulihan, itu antibodinya masih ada, kan. Nah kalau ini apakah gasnya sudah hilang?” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Senin.
Ia khawatir tanpa publikasi yang memadai dengan standar ilmiah, dokter tidak bisa mendiagnosis karena tidak mendapat cukup penjelasan. Karenanya, ia mendorong agar publikasi dari Genose segera dibuka sehingga ilmuwan sepertinya bisa membantu mengedukasi masyarakat dan tenaga kesehatan juga bisa menggunakan alat itu tanpa keraguan.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri