tirto.id - Penerbitan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 membuat biaya perawatan kesehatan bagi korban tindak pidana tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Aturan ini membuat penanggung biaya perawatan korban tindak pidana kini hanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Akan tetapi, Komisioner LPSK Susilaningtias menyatakan lembaganya hanya menanggung biaya perawatan bagi korban dan saksi yang terkait dengan proses penegakan hukum.
"Kalau tidak ada proses penegakan hukum maka kita tidak bisa bantu," ujarnya kepada tirto.
"Namun banyak kasus kekerasan seksual yang tidak mau sampai ke ranah pidana. Itu juga jadi masalah," Susilaningtias menambahkan.
Untuk keperluan visum, Susi mengatakan akan LPSK biayai dengan catatan, pengguna jasa adalah pihak yang sudah melalui mekanisme pemohonan terlebih dahulu.
"Mekanisme di LPSK harus ada pemohonan, tanpa itu kita tidak bisa pro-aktif," ujar dia.
Susilaningtias menambahkan, biaya visum bisa ditanggung LPSK apabila lembaga itu sejak awal mengetahui kasus yang terjadi pada yang bersangkutan. Hal ini, kata dia diatur dalam UU No.31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Kalau sudah di tengah-tengah proses penyidikan dan persidangan. Kita tidak tahu visumnya. Karena proses di LPSK juga mengharuskan melalui beberapa tahapan, salah satunya diawali permohonan itu," ujarnya.
Namun, Susilaningtias menjelaskan, masih ada alternatifnya. Biaya visum et repertum para korban atau saksi yang menjalani proses penegakan hukum pidana bisa gratis melalui Jaminan Kesehatan Daerah.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengaku kecewa dengan ketentuan dalam Perpres 82/2018. Anggara menilai, kemunculan Perpres baru tersebut seolah-olah menutup mata bahwa pemenuhan hak atas layanan kesehatan bagi korban tindak pidana masih bermasalah.
"Hal ini jelas kontraproduktif dengan komitmen perlindungan dan bantuan korban kejahatan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf menilai ketentuan dalam Perpres itu justru menegaskan fungsi dari lembaganya.
"Itu menegaskan bahwa skema JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] hanya terkait pada hal-hal yang substansinya tentang penyakit," kata Iqbal.
"Kalau sakitnya asma, jantung, dan semacamnya. Itu kami tanggung. Tapi kalau korban kekerasan itu kan, bukan karena penyakit seperti itu," Iqbal menambahkan.
Selain itu, menurut Iqbal, pembiayaan layanan kesehatan bagi korban kekerasan atau tindak pidana sudah ditangani lembaga lainnya. "Wilayah kerjanya sekarang dirapikan, supaya jelas siapa yang harus bertanggungjawab. Untuk menghindari double penganggaran juga," ujar dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Addi M Idhom