tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kecewa dengan regulasi BPJS Kesehatan terkait perubahan aturan pada Peraturan Presiden No 12 tahun 2013 menjadi Pepres 82/2018.
Sebelumnya, pada Pasal 25 Perpres 12/2013 yang diatur dalam Perpres No 19/2016 disebutkan terdapat 17 layanan kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Kemudian, pada perpres baru, layanan yang tak ditanggung bertambah 4 jadi 21 layanan kesehatan.
"Dalam perpres baru dimuat pengecualian jaminan manfaat oleh BPJS untuk korban tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, perdagangan orang dan juga pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Polri," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara dalam keterangan resmi kepada Tirto, Senin (7/1/2019).
Menurut Anggara, tidak jadi masalah korban tindak pidana kekerasan seksual, terorisme dan TPPO dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Juga, jaminan korban tindak pidana lain seperti layanan visum diberikan kepada kepolisian. Dengan catatan, pelayanan yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut telah berjalan dengan baik.
"Masalahnya keputusan ini seolah-olah tidak melihat bahwa pemenuhan hak atas layanan kesehatan bagi korban tindak pidana masih menyisakan banyak masalah yang seharusnya juga diperhatikan pemerintah termasuk BPJS. Hal ini jelas kontraproduktif dengan komitmen perlindungan dan bantuan korban kejahatan," ujarnya.
Dari data ICJR menyebutkan, ada 490 terlindung LPSK yang memperoleh jaminan BPJS Kesehatan. Sementara itu secara keseluruhan total terlindung medis oleh LPSK jumlahnya mencapai 1.069 layanan dan bantuan medis.
"Sistem LPSK pun belum menjamin pemenuhan hak korban khususnya bantuan medis yang memadai," kata Anggara.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali