tirto.id - Persoalan minyak goreng yang telah membuat resah masyarakat sejak tahun lalu memburuk ketika Rusia menginvasi Ukraina, ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Ukraina jadi tidak bisa mengirim minyak biji bunga matahari, padahal merekalah eksportir terbesar komoditas tersebut di Eropa. Dampaknya, permintaan terhadap komoditas alternatif, termasuk minyak dari olahan sawit, meninggi.
Hukum permintaan-penawaran pun bekerja. Karena permintaan meningkat sementara persediaan terbatas, harga minyak goreng pun terus menanjak. Dari yang awalnya sekitar Rp12 ribu liter menjadi Rp14 hingga Rp16 ribu per liter.
Demi mengatasi mahalnya harga, pemerintah kemudian menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp18 ribu liter.
Di samping harga maksimal yang dianggap masih terlalu tinggi, konsumen pun menghadapi masalah mendesak lain: kelangkaan, baik di pasar-pasar modern atau tradisional.
Namun, ketika HET dicabut pada Maret lalu, stok minyak goreng tiba-tiba kembali banyak. Harganya tentu bukan lagi Rp18 ribu melainkan Rp24-Rp 25 ribu per liter. Di beberapa daerah bahkan lebih dari itu.
Pemerintah telah mengatur bahwa perusahaan harus memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu, atau disebut dengan domestic price obligation (DPO). Namun ternyata itu tak dilakukan. Minyak-minyak diduga sengaja ditimbun saat harga yang ditetapkan dianggap terlalu rendah.
Tidak hanya ditimbun, beberapa pihak juga kedapatan membandel dengan mengekspor meski amanat DPO tidak dipenuhi, tidak lain demi mencari untung sebanyak-banyaknya. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melapor ke Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tentang adanya 23 kontainer yang berisi minyak goreng. Keuntungan dari barang selundupan tersebut diduga mencapai lebih dari Rp10 miliar.
Dalam konteks ekspor ilegal inilah muncul nama Lin Che Wei (LCW). LCW disebut berperan menentukan perusahaan yang bisa mendapatkan izin ekspor (Persetujuan Ekspor/PE) di luar volume yang ditetapkan oleh pemerintah. Dia ditangkap pada Selasa 17 Mei lalu.
Sehari kemudian, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan LCW terlibat “menentukan kebijakan tentang peredaran prosedur tentang distribusi minyak goreng” di Kementerian Perdagangan. Burhanuddin juga mengatakan meski berstatus “orang swasta,” Lin Che Wei “sangat didengar.”
LCW, yang punya nama lain Weibinanto Halimdjati, menjadi tersangka kelima dalam kasus yang sudah diusut sejak akhir tahun lalu tersebut. Empat tersangka lain dapat dilihat dalam infografik di bawah ini.
Korupsi oleh Swasta
LCW bukan orang baru. Dia sudah lama berkecimpung dalam perekonomian Indonesia sampai-sampai dipercaya sebagai salah satu panelis dalam debat calon presiden pada pemilihan 2004 lalu.
Banyak penghargaan yang diraih LCW sebagai analis atau penasihat ekonomi. Salah satu yang cukup prestisius adalah Tasrif Award pada 2003. LCW mendapat penghargaan tersebut dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) karena berani membongkar kasus manipulasi saham PT Lippo Group--yang merugikan negara (Jika LCW terbukti bersalah, AJI berencana mencabut penghargaannya).
Pada 2007-2008, LCW tercatat sebagai CEO yayasan raksasa yang bergerak di bidang pendidikan, Putera Sampoerna Foundation. LCW juga merupakan pendiri PT Independent Research Advisory Indonesia, perusahaan yang fokus di bidang riset industri dan kebijakan, sesuatu yang sangat ia kuasai.
LCW juga punya rekam jejak panjang di berbagai kementerian dan lembaga negara. Dia pernah menjabat policy advisor di Kemenko Perekonomian pada 2014 sampai 2019. Di antara 2016-2019, dia juga berperan sama di Kementerian ATR/BPN.
LCW juga dipercaya menjadi Direktur Utama Konsorsium PT Pembangunan Kota Tua Jakarta atau PT Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC) pada masa kepemimpinan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Namun, di bawah LCW, perkembangan pembangunan tidak begitu banyak.
Setelah mengaku sempat akan mengebut pembangunan, BTP--yang jadi pemimpin Jakarta menggantikan Jokowi--justru mendiskreditkan JOTRC di bawah pimpinan LCW. “JOTRC enggak kerja juga. Mereka cuma perbaiki gedung-gedung dia (gedung yang jadi tanggung jawab JOTRC). Progres bertahun-tahun hanya [revitalisasi] satu dua gedung,” kata BTP 2016 silam.
Berdasarkan rekam jejak ini, LCW dapat digolongkan sebagai pihak swasta atau pengusaha. Dan swasta atau pengusaha termasuk salah satu pihak yang paling gemar melakukan korupsi, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sepanjang semester I 2021, koruptor dari swasta tercatat sebanyak 105 orang. Setingkat di atasnya ada aparatur sipil negara (ASN) dengan jumlah 162.
Sedangkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sepanjang 2004-2020 tidak ada pihak yang lebih banyak terlibat korupsi dibanding sektor swasta. Jumlahnya mencapai 297. Di bawahnya terdapat anggota dewan--dari DPR dan DPRD--sebanyak 257 orang.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menafsirkan data ini sebagai berikut: “Kenapa swasta? Karena memang swasta yang punya kepentingan kepada penyelenggara negara, yang butuh diutamakan. Siapa yang 'ditembak'? Biasanya anggota dewan yang banyak, perwakilan daerah maupun provinsi dan kabupaten/kota.”
Banyak sekali analisis yang mengaitkan antara korupsi dan bisnis (serta para pelakunya). Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, misalnya, mengatakan pada 2018 lalu bahwa korupsi adalah penyebab paling banyak mengapa kepercayaan anak muda terhadap bisnis--juga pemerintah, LSM, dan media--rendah.
Korupsi dibenci banyak orang karena “dia merusak sistem perpajakan, dan bukan hanya dari segi penghasilan, tapi legalitasnya.” Korupsi, catat Lagarde, “bisa membuat pemerintah menghabiskan uang ke proyek-proyek yang tidak diperlukan daripada kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.”
Sementara riset lain dari Nabamita Dutta dan Russel S. Sobel berjudulDoes Corruption Ever Help Entrepreneurship (2016) menjelaskan mengapa pelaku bisnis berbuat korup. Praktik grease-the-wheels atau memberi uang pelicin memberikan hasil positif ke mereka. Tidak terkecuali bagi bisnis-bisnis baru. Dengan suap, Dutta dan Sobel percaya bahwa bisnis baru akan lebih mudah untuk bermunculan.
Tapi hanya itu manfaatnya. Sisanya, ekosistem bisnis dan ekonomi justru menjadi rusak. Dari data yang dikumpulkan oleh Dutta dan Sobel, sebagian besar negara dengan tingkat korupsi tinggi punya kepadatan bisnis yang cenderung kecil. Indonesia termasuk salah satu di antaranya.
Jadi, jika korupsi dikatakan akan memperbaiki bisnis dan perekonomian--atau menjadi “oli pembangunan”--hal itu tidak serta-merta benar. Tapi, bahwa jika pebisnis melakukannya sebagai cara instan menjadi kaya, tentu betul belaka.
“Singkatnya, usaha untuk menekan angka korupsi tidak berbahaya sama sekali bagi para entrepreneur, bahkan di negara-negara dengan iklim bisnis yang paling buruk sekalipun,” catat Dutta dan Sobel.
Kembali ke LCW. Suatu kali ia pernah diminta keterangan oleh Majalah Tempo tentang skandal Bank Bali dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terjadi pada 1999 lalu.
Ketika itu ia mengatakan skandal terjadi karena staf-staf BPPN tidak becus bekerja, bukan karena mereka tidak jujur. Dia menganalogikan BPPN sebagai mobil balap Formula 1, sedangkan awaknya hanya memegang lisensi mengemudi bemo.
“Kemampuan bisa dipelajari, integritas tidak,” kata LCW.
LCW keliru. Sama seperti kemampuan, integritas pun bisa dipelajari dan karena itu mungkin berubah. LCW akan membuktikannya sendiri jika ia terbukti bersalah.