tirto.id - Dalam rangka memperingati 45 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Korea Selatan, Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana mengadakan lawatan ke Korea Selatan pada 9-11 September 2018. Ia menjalani banyak agenda selama berada di negeri ginseng tersebut, salah satunya menyempatkan diri singgah ke Sungai Cheonggyecheon.
Mengenakan kaos putih dibalut dengan jaket merah, Jokowi menikmati jalan pagi di tepi sungai tersebut pada hari terakhir kunjungannya bersama Ibu Negara Iriana dan Walikota Seoul Park Won-soon. Presiden lantas dibuat kagum oleh kejernihan air Sungai Cheonggyecheon. Ia memuji kebersihan sungai yang mengalir di tengah kota Seoul, Korea Selatan tersebut dan berharap sungai di Jakarta bisa dibangun seperti Sungai Cheonggyecheon.
“Sungai Cheonggyecheon sebuah inspirasi yang sangat bagus, kalau di Jakarta ada Ciliwung bisa jadi bersih seperti ini, wow, dan itu bisa,” kata Presiden Jokowi mengomentari kondisi Sungai Cheonggyecheon, yang di sisi kanan kirinya tampak indah, bersih, dan nyaman untuk dilalui pejalan kaki.
Oleh karena Jakarta telah menjadi sister city dengan Seoul, Jokowi menjelaskan bahwa Jakarta dan Seoul bisa menjalin kerjasama dalam hal penanganan sungai. Di samping itu, ia juga mengatakan ingin memanfaatkan statusnya sebagai warga kehormatan Korea Selatan untuk menggali resep membangun Sungai Cheonggyecheon.
Harapan presiden tidak berlebihan. Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta memang membutuhkan penanganan yang tepat agar tak lagi tercemar. Wakil Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Ali Maulana pada Kamis (13/9/2018) mengatakan bahwa 61 persen sungai di Jakarta masuk dalam kategori cemar berat pada tahun 2017. Angka ini meningkat pesat sebab pada tahun 2014 hanya 32 persen sungai yang mengalami pencemaran berat. Sementara itu, sungai yang masuk kategori cemar ringan dan sedang tahun 2017 sebanyak 12 persen dan 17 persen.
Khusus Sungai Ciliwung, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyebutkan bahwa kualitas air Sungai Ciliwung yang mengalir di Jakarta tahun 2016 masuk dalam kategori cemar berat berdasarkan penghitungan di 24 titik sampling. Data BPS tahun 2014 dan 2015 pun menunjukkan kualitas air Sungai Ciliwung tak berubah menurut penghitungan di 14 titik sampling.
Sementara itu, Kepala Seksi Pemantauan Kualitas Lingkungan DLH DKI Jakarta Dwisari mengatakan pada Tirto bahwa kondisi kualitas air sungai Ciliwung tahun 2017 masuk dalam kategori cemar ringan hingga berat. Kesimpulan ini didapatkan setelah DLH DKI Jakarta menghitung indeks pencemaran di 16 titik di Sungai Ciliwung selama tiga kali tahun lalu. Berdasarkan data yang didapatkan, sebanyak 2 titik tergolong cemar ringan, 7 titik masuk kelompok cemar sedang, dan 7 titik terakhir tergolong cemar berat.
Dwisari menjelaskan bahwa parameter yang menyebabkan sungai masuk kategori cemar sedang atau berat adalah bakteri E.coli pada tinja. Menurut data DLH tahun 2015 hingga 2016, kandungan bakteri E.coli di Sungai Ciliwung cenderung berada di atas 1.000 per 100 milimeter. Padahal, batas aman baku mutu air adalah 1.000 per 100 milimeter.
Satmoko Yudo dalam “Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta Ditinjau dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen, dan Bakteri Coli” (2010) mengatakan bakteri E.coli termasuk mikroorganisme patogen yang bisa menimbulkan penyakit pada manusia. Selain E.coli, virus dan protozoa serta cacing adalah mikroorganisme lain yang ada pada tinja. Tinja, lanjut Satmoko Yudo, termasuk dalam jenis limbah domestik yang berasal dari kegiatan rumah tangga, perumahan, rumah susun, apartemen, dan lain-lain.
Apabila masuk dalam tubuh manusia, bakteri E.coli bisa menyebabkan kram perut, diare yang bercampur dengan darah, dan muntah-muntah. Bagi anak-anak, orang tua, dan perempuan hamil infeksi bakteri ini bisa menyebabkan hilangnya nyawa.
Oleh karena limbah domestik menjadi pencemar dominan di Sungai Ciliwung, teknologi untuk mempurifikasi air tak akan cukup menyelesaikan persoalan yang ada. Peneliti Ekologi Manusia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dwiyanti Kusumaningrum menjelaskan bahwa penanggulangan pencemaran sungai di Jakarta tidak membutuhkan teknologi yang canggih. Untuk menyelesaikan masalah, teknologi seperti Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) justru dinilai efektif mengurangi pencemaran sungai.
“Penanggulangannya memang bukan yang canggih untuk membersihkan sungai, tapi lebih ke [pencegahan] sebelum sungai itu cemar dari rumah-rumah dulu. Karena kan yang paling besar itu limbah domestik. Itu diolah dulu baru dialirkan ke badan air,” katanya saat dihubungi Tirto.
Di Jakarta, air limbah domestik kebanyakan dibuang ke sungai, laut, atau bawah tanah melalui septic tank tanpa diolah. Sementara itu, wilayah yang sudah terlayani IPAL sistem pipa pusat baru meliputi kawasan bisnis di pusat Jakarta. Menurut data yang ditemukan Dwiyanti, daerah IPAL sistem pipa pusat yang dikelola PD PAL Jaya ini hanya sebesar 1.370 hektar atau 2,07 persen dari luas total wilayah Jakarta.
“Kalau yang untuk permukiman atau selain wilayah itu mostly belum ada IPAL-nya, belum punya pengolahan sistem pembuangan dia. Jadi ketika kita buang ke septic tank pun kadang itu enggak diolah. Jadi keluarnya pun masih tetap kotor. Makanya tetap ada bakteri E.coli itu,” jelasnya.
Dwijayanti pun mengatakan bahwa sudah saatnya IPAL sederhana (untuk individu) dan IPAL komunal (untuk kelompok) dibangun agar persoalan pencemaran Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta bisa terselesaikan. Bagi pemerintah, perbaikan sistem pembuangan air limbah juga mesti diperbaiki agar sungai di Jakarta bisa sebening dan sebersih Sungai Cheonggyecheon yang dipuji oleh Jokowi.
Editor: Maulida Sri Handayani