tirto.id - Kurang dari sebulan, Jakarta dan Palembang akan jadi tempat perhelatan akbar Asian Games 2018. Namun, persoalan-persoalan dalam persiapan menyambut para peserta belum usai. Jakarta, salah satu kota penyelenggara masih kedodoran untuk bersolek.
Nama Kali Item, belakangan begitu populer karena aksi Pemprov DKI Jakarta yang menutupnya dengan waring hitam. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beralasan langkah itu untuk "mengurangi proses penguapan dari sungai, sehingga tidak terjadi proses evaporasi". Selain tak sedap dipandang, Kali Item memang menimbulkan bau yang tak sedap karena proses polusi yang berlangsung terus menerus.
Upaya mengubah sungai dengan kondisi air hitam pekat jadi jernih bukanlah perkara mudah dan murah. Pengalaman Korea Selatan merestorasi Sungai Cheonggyecheon bisa jadi cermin besar untuk berkaca dalam upaya perbaikan sungai yang rusak.
Preservation Institute, dalam salah satu publikasinya, mengatakan Sungai Cheonggyecheon merupakan sungai sepanjang 10,92 km yang membelah Seoul, ibu kota Korea Selatan, dari utara ke selatan. Selama musim semi dan musim gugur, Sungai Cheonggyecheon biasanya mengering. Namun, meluap dan bahkan bisa terjadi banjir apabila penghujan datang.
Sebagai sungai yang sering jadi biang banjir di Seoul, pada 1406, yang kala itu Korea Selatan dikuasai oleh seorang raja bernama Taejong, memperlebar dan membangun tanggul Sungai Cheonggyecheon. Publikasi itu menyebut, lebih dari 52 ribu orang terlibat dalam proyek itu. Pewaris Korea, Raja Sejong, pun melanjutkan apa yang dilakukan Raja Taejong.
Di bawah kekuasaan Raja Sejong, ada dua kubu yang menginginkan perlakukan berbeda atas Sungai Cheonggyecheon: membiarkan sungai tetap bersih dan menjadikan Sungai Cheonggyecheon sebagai saluran pembuangan limbah, yang mendukung aspek ekonomi Seoul. Raja Sejong memilih opsi kedua.
Selama lebih dari 500 tahun semenjak keputusan Raja Sejong itu, Sungai Cheonggyecheon jadi saluran utama pembuangan limbah di Seoul. Selepas Perang Korea (1950-1953), banyak orang bermigrasi ke Seoul. Jong Youl Lee, dalam paper berjudul “The Restored Cheonggyecheon and the Quality of Life in Seoul” mengatakan Seoul jadi tempat 10 juta manusia membaur. Pada 605 km persegi luas kota itu, dipenuhi sekitar 17 ribu orang di setiap km persegi. Selain itu, banyak orang yang membangun hunian di sepanjang aliran Sungai Cheonggyecheon.
Lee, masih dalam papernya itu, menyebut “area Sungai Cheonggyecheon jadi titik konsentrasi masalah serius di Seoul.” Populasi penduduk dan kegiatan ekonomi di sekitar sungai membludak. Dalam publikasi berjudul “The Greening of City: Cheonggyecheon Restoration Project” yang digagas Asian Development Bank, menyebutkan “Sungai Cheonggyecheon merupakan simbol kemiskinan yang bermula sejak kolonialisme dan perang.”
Masih dalam publikasi Preservation Institute disebutkan bahwa salah satu pemecahan masalah ialah menempatkan, atau lebih tepatnya menyembunyikan, aliran sungai di bawah tanah. Pada 1955, ting-tiang pancang dibangun di sungai tersebut. Sebuah jalan layang sepanjang lebih dari 3 mil dibangun di atas tiang. Sayangnya, masalah demografi kawasan tersebut belum terselesaikan.
Dalam paper yang ditulis Lee, masalah itu misalnya kesemrawutan lalu-lintas. Transportasi publik, yang dilayani bus di sekitar wilayah itu hanya sanggup berjalan 6 km per jam. Akibatnya, tingkat keterisian bus sedikit. Lalu, di bawah jalan layang banyak parkir-parkir liar didirikan. Pejalan kaki, sulit berjalan.
Pada Juli 2003. Lee Myung-bak, yang saat itu menjabat wali kota Seoul, memulai proses restorasi Sungai Cheonggyecheon. Restorasi yang dilakukan ialah dengan membongkar jalan layang yang berada di atas sungai dan mengembalikan keadaan Sungai Cheonggyecheon ke sedia kala. Dalam sebuah publikasi The Guardian, mengungkapkan proyek itu bernilai $900 juta, yang sebagian dananya berasal dari Hyundai.
“Restorasi Cheonggyecheon adalah kebijakan top-down, kepemimpinan yang digerakkan, terkait erat dengan Walikota Lee Myung-bak, yang mengambil peran aktif dalam mengadvokasi, menjual, mempromosikan, dan mengarahkan proyek sampai selesai. Keseluruhan proyek berlangsung selama masa pemerintahannya dan merupakan pencapaian besar dari masa jabatannya,” tulis Lee dalam papernya.
“Ketika ekonomi Korea mencoba bangkit setelah perang, memiliki taman adalah kemewahan, tetapi kami mencoba untuk mengembalikan lingkungan ke keadaan sedia kala,” kata Myung-bak, sebagaimana termuat dalam paper Lee. Restorasi Sungai Cheonggyecheon merupakan bagian dari “Seoul Vision 2006” sang wali kota.
“Jalan layang merusak pemandangan. Saya tidak meminta maaf atas peran saya dalam industrialisasi Korea. Saat itu tidak ada pekerjaan, tidak ada sumber pendapatan. Kami harus membangun ekonomi. Sekarang kami mampu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup,” tambahnya.
Proyek restorasi Sungai Cheonggyecheon tak datang murni dari Myung-bak. Akademisi bernama Dr. Kee Yeon Hwang, ialah otak di balik restorasi sungai ini. Pada 2001, Hwang menciptakan model untuk melihat apa dampak yang ditimbulkan seandainya jalan layang yang berdiri di atas Sungai Cheonggyecheon dibongkar. Hasilnya, “rencana bukan hanya berhasil, tetapi akan meningkatkan kelancaran lalu-lintas di Seoul.” Model ini lantas dijadikan modal kampanye Myung-bak.
Myung-bak melakukan restorasi tak menggunakan teknologi khusus. Ia hanya membawa dua modal: dukungan rakyat dan Bus Rapid Transit (BRT) System.
Dalam publikasi Asian Development Bank, pemerintah Kota Seoul mengatakan proyek restorasi didukung sekitar 79 persen penduduk kota. Kegiatan restorasi ini harus menggusur dan melenyapkan kehidupan kependudukan di sekitar sungai, tapi Myung-bak punya legitimasi melakukan proyeknya. Guna menghindari bencana lalu-lintas karena menyingkirkan jalan layang, Myung-bak membangun BRT, moda transportasi terintegrasi di Kota Seoul yang sanggup memindahkan 170 ribu pengguna transportasi pribadi.
Akhirnya, restorasi berjalan seiring dengan pembangunan BRT. Perlahan dan hingga September 2005, Sungai Cheonggyecheon jadi punya tampak baru, tampak yang sebangun dengan keadaan di masa Raja Taejong.
Secara umum, tak ada teknologi khusus yang digunakan Myung-bak merestorasi Sungai Cheonggyecheon. Sang wali kota hanya membutuhkan waktu yang tak sebentar, sekitar dua tahun. Melansir paper berjudul “Cheonggyecheon Restoration Project: A Revolution in Seoul” yang digagas Dr. In Keun Lee, restorasi berlangsung efisien. Misalnya kala membongkar jalan layang. Saat itu, jalan layang yang dibongkar menciptakan reruntuhan sebesar 872 ribu ton. Namun, 96 persen di antaranya sukses didaur ulang.
Untuk menjernihkan air, 120 ribu ton air bersih yang mengaliri Sungai Han, dialirkan ke Sungai Cheonggyecheon. Terakhir, restorasi pun dilakukan dengan turut membangun saluran antara limbah, air hujan, dan air buangan masyarakat. Sebagai penghubung kehidupan, diciptakan 22 unit jembatan di sepanjang aliran sungai. Sungai Cheonggyecheon sukses direstorasi.
Dalam publikasi yang dirilis Pemerintah New South Wales, Australia, setidaknya ada tiga teknologi yang bisa digunakan untuk merawat air sungai, khususnya mematikan atau menghilangkan partikel, bakteri, atau zat-zat berbahaya. Pertama, menggunakan teknologi Filtration. Teknologi ini dicontohkan oleh beberapa produk seperti Polypropylane, Micro Filtration, dan Reverse Osmosis.
Kedua yang bisa digunakan ialah UV Disinfection, menghilangkan partikel berbahaya menggunakan sinar ultra violet. Ketiga, teknologi yang bisa digunakan ialah menggunakan Chrorine Disinfection, membunuh partikel berbahaya dengan klorin.
Dari pengalaman restorasi sungai di Korea Selatan, sejatinya Pemprov DKI bisa memulainya sejak dua tahun lalu atau saat sebelum ingar-bingar Asian Games 2018 dan sebelum Kali Item jadi sorotan. Namun, tak ada kata terlambat untuk melakukan pembenahan Kali Item, karena restorasi bukan soal urusan membangun citra kota, tapi mengembalikan sungai pada fungsi alaminya. Kali Item bisa jadi cermin besar buat penguasa di DKI Jakarta.
Editor: Suhendra