tirto.id - Sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Iskak Darmo Suwiryo sebetulnya berpotensi punya karier yang cukup mentereng. Ia bisa jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bankir, maupun bekerja di perusahaan swasta.
Akan tetapi, pilihan itu rupanya tak menarik minat Iskak. Ia lebih memilih jalan hidup yang sama sekali tak berhubungan dengan studi yang ia dalami: komedi.
Pilihan Iskak bisa dibilang tak mengecewakan. Komedi memberinya hidup yang berwarna.
Dari Panggung Kecil sampai Besar
Perkenalan Iskak dengan dunia komedi sudah terjadi sejak warsa 1950-an, manakala ia mengikuti kompetisi lawak di Yogyakarta, demikian tulis Agus Dermawan dalam Antologi Seni: Panorama dan Isu Dominan Seni Indonesia (2003).
Pada kompetisi tersebut, Iskak memperoleh juara dua. Ia kalah oleh S. Bagyo yang menempati posisi pertama dan unggul atas Eddy Sud di tempat ketiga. Menariknya, tiga peringkat teratas ini kemudian membikin grup lawak bernama EBI, singkatan dari identitas mereka: Eddy, Bagyo, dan Iskak.
Kiprah EBI tak berlangsung lama. Meski demikian, seperti dicatat Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 (1979), itu sudah dianggap jadi modal cukup bagi Iskak untuk merantau ke Jakarta, demi peluang karier yang lebih besar.
Di Jakarta, Iskak bertemu dengan Ateng, yang sebelumnya lebih dulu berproses di Sanggar Pak Kasur dan sempat bermain dalam beberapa film layar lebar—seperti Kuntilanak (1961). Pada 1964 Iskak, bersama Ateng dan Bagyo, mendirikan kelompok lawak bernama Ateng-Bagyo-Iskak.
Lagi-lagi, keberadaan kelompok lawak ini tak berlangsung lama.
Barulah sekitar empat tahun berselang, Iskak memperoleh momentum yang dinanti-nanti dengan lahirnya Kwartet Jaya. Seperti diwartakan Gatra(17/5/2003), kelompok ini beranggotakan Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng, dan Iskak.
Awalnya, nama kelompok mereka bukanlah Kwartet Jaya, melainkan Kwartet Kita. Perubahan nama “Kita” menjadi “Jaya” tak lepas dari kontribusi Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Kata “Jaya” sendiri merujuk pada singkatan “Jayakarta.”
Popularitas Kwartet Jaya cepat melambung. Dari yang sebatas beredar di panggung-panggung kecil, mereka menjajaki pula dunia film. Uniknya, kendati mereka berempat sama-sama bermain film, hanya nama Bing Slamet yang disertakan di bagian judul (Bing Slamet Setan Jalanan, Bing Slamet Selalu Sibuk, hingga Bing Slamet Dukun Palsu). Para produser menilai nama Bing Slamet bisa mengerek atensi banyak penonton untuk datang ke bioskop.
Kunci keberhasilan Kwartet Jaya, sebagaimana ditulis Budi Setiyono dalam “Takdir Bing Mencipta Tawa” yang terbit di Historia, adalah pembagian peran yang jelas masing-masing personel. Bing sering bertugas mengisi departemen musik dan lagu; Ateng dengan sifat sok tahu-nya; Eddy bertugas mengatur jalannya alur lawak; Iskak menonjolkan kebodohannya.
Pada Desember 1974 Bing Slamet meninggal dunia. Kepergian Bing membikin Kwartet Jaya limbung dan personel yang tersisa diliputi ketidakpastian. Ateng dan Iskak memilih untuk mengundurkan diri. Sementara Eddy tetap berharap Kwartet Jaya bisa bertahan, sekalipun tanpa Bing Slamet. Jelang pengujung 1975, Kwartet Jaya pun bubar.
Melengkapi Ateng
Usai Kwartet Jaya pecah kongsi, Iskak dan Ateng memutuskan untuk bikin kelompok sendiri. Dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984), wajah keduanya kerap muncul di film-film produksi Rapi Film. Polanya sama seperti masa Kwartet Jaya: nama pemain yang dinilai populer dijadikan judul. Kali ini, Ateng yang dipilih—dari Ateng Minta Kawin (1974), Ateng Raja Penyamun (1974), sampai Ateng Kaya Mendadak (1975).
Dalam setiap film, Iskak sering memerankan karakter-karakter "orang bawah", dari supir (Bing Slamet Dukun Palsu, 1973) sampai pembantu keluarga kaya (Ateng Bikin Pusing, 1977). Di antara semua film yang pernah dimainkan Iskak, bagi saya permainannya dalam Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota (1981) merupakan yang paling berkesan.
Di film besutan Imam Tantowi tersebut, Iskak memainkan sosok pemuda desa yang merantau ke kota. Saat ia pulang ke desa, ia disambut bak selebritas dan dianggap sukses. Masyarakat desa mendadak ingin jadi seperti Iskak.
Satu adegan yang memorable adalah tatkala Iskak diminta jadi pelatih tim sepakbola desa setempat. Tak ingin malu, Iskak menyanggupi permintaan itu, meski ia tak punya pengalaman melatih sepakbola. Ia begitu jumawa dan berkali-kali menekankan pentingnya kemenangan bagi tim.
Pada saat latihan, Iskak meminta para pemain untuk lari sembari membawa petasan di pinggang mereka. Pemain dituntut untuk sampai garis yang sudah ditentukan karena di sana terdapat ember yang dapat menampung ledakan petasan. Latihan ini, kata Iskak, menekankan unsur kecepatan dan ketahanan tubuh.
Memasuki dekade 1980-an Iskak diminta untuk mengisi acara di TVRI, Ria Jenaka, yang ditayangkan setiap hari Minggu. Program ini dipelopori Subrata, Direktur TVRI masa itu. Tujuannya adalah mengkomunikasikan program-program rezim Orde Baru kepada masyarakat secara menyenangkan. Dengan kata lain, Ria Jenaka merupakan alat propaganda daripada Soeharto.
Program Ria Jenaka menampilkan Punawakan, sekelompok wayang yang dicitrakan jenaka, konyol, cerdas, dan bijak. Ada empat tokoh Punakawan: Semar (diperankan Sampan Hismato), Gareng (Slamet Harto), Petruk (Iskak), dan Bagong (Ateng). Keempatnya begitu hidup ketika tampil di panggung Ria Jenaka: merisak satu sama lain dengan guyonan khas bapak-bapak. Tiap pementasan, Ria Jenaka disambut dengan gelak tawa yang pecah.
Setelah lebih dari satu dekade hadir, Ria Jenaka berhenti tayang di tahun 1996. Pada 16 Januari 2000, tepat hari ini 20 tahun lalu, Petruk alias Iskak meninggal dunia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan