tirto.id - Dalam The Killing Joke, komik karya Alan Moore dan Brian Bolland yang dianggap sebagai kitab Batman terbaik sepanjang masa, diceritakan bagaimana sejarah hidup sosok pecundang anonim yang nasibnya begitu tragis hingga ia bertiwikrama menjadi karakter sadistis seperti Joker.
Sosok itu semula adalah seorang stand-up comedian gagal yang kemudian bergabung dengan komplotan bandit kelas kambing demi mencari uang tambahan untuk kebutuhan keluarga. Satu hari sebelum komplotan tersebut melakukan perampokan, istri sang anonim yang tengah hamil meninggal karena kecelakaan. Ia jelas tambah terpuruk, tapi akhirnya tetap memutuskan untuk merampok, hingga akhirnya aksi tersebut digagalkan Batman. Dan untuk menambah penderitaannya, sosok tanpa nama itu turut pula terjatuh ke dalam tong yang dipenuhi bahan kimia.
Serangkaian peristiwa traumatis itulah yang kelak melahirkan tokoh Joker. Dikombinasikan dengan hasil paparan bahan kimia yang membuat mulutnya selalu menyeringai, Joker lantas menyadari betapa komikal sekaligus tidak adilnya nasib terhadap dirinya. “All it takes is one bad day," ujarnya. Sebuah ucapan brilian yang mampu merangkum perjalanan panjang kepahitan hidup Joker hingga seperti lelucon yang patut ditertawakan.
Sejak semua itu berlalu, karakter culun si pria anonim sudah hilang selamanya, berganti menjadi seorang pesakitan sinting yang tanpa ampun membuat cacat anak Komisaris Gordon, Barbara Gordon, atau menyiksa Jason Todd—sosok Robin yang menjadi partner Batman—sebelum meledakkan tubuhnya dengan bom waktu. Pada titik ini, Joker bisa dianggap sebagai representasi absolut dari kekacauan dan mengikrarkan diri sebagai musuh bebuyutan Batman yang mewakili ketertiban.
Oktober 2019 nanti, Warner Bros Picture akan menayangkan film Joker yang diperankan oleh Joaquin Phoenix. Di film ini, Joker diberi nama Arthur Fleck dan kisahnya diadaptasi dari komik Joker rekaan Bill Finger, Bob Kane, dan Jerry Robinson yang terbit pertama kali tahun 1940.
Jika Anda melihat teaser awal yang dirilis Warner Bros pada April 2019 lalu, upaya Joker untuk menertawakan kenyataan getir hidupnya itu diperlihatkan dengan lebih iba sekaligus ngeri melalui tambahan latar lagu "Smile"—karya Charlie Chaplin dan dipopulerkan oleh Nat King Cole—yang aransemennya diubah menjadi lebih gelap.
Dalam satu tarikan napas di penghujung teaser berdurasi 2:24 menit tersebut, Fleck mengucapkan sebuah kalimat yang menusuk kalbu: “I used to think my life was a tragedy, but now I realize it's a comedy” ("Aku biasa berpikir hidupku adalah tragedi, tapi sekarang aku sadar hidupku adalah komedi").
Sekalipun hanyalah karakter fiktif, Joker dapat menjadi gambaran betapa ironis hidup seorang pelawak. Dan sepanjang sejarah, tidak sedikit pelawak yang hidup berkalang depresi hingga mati bunuh diri.
Sebab Lucu Tidak Sama dengan Bahagia
Dalam buku Laughing at Nothing: Humor as a Response to Nihilism (2003), John Marmysz berpendapat bahwa untuk karakter seperti Joker, seseorang yang menjadi sasaran dari takdir yang buruk, humor menjadi cara untuk "memahami kehidupan". Gagasan tersebut seakan menggenapkan apa yang dijelaskan filsuf Arthur Schopenhauer dalam The World as Will and Representation, yang menyebuttawa muncul sebagai persepsi atas ketidaksesuaian antara konsep dan objek yang nyata.
Kita ingat kembali kasus kematian Robin Williams pada 2014 lalu. Pelawak kawakan yang sepanjang kariernya banyak meraih penghargaan—mulai dari Academy Award dalam kategori Best Supporting Actor di Good Will Hunting (1997) hingga enam Golden Globe Awards—memutuskan untuk bunuh diri karena terjebak dalam depresi akut yang tidak mampu ia hadapi.
Sejak mulai dilanda depresi tersebut, Williams, misalnya, kerap menyebut dirinya sebagai aktor yang tidak sukses kepada anaknya, Zachary. Atau bagaimana pengakuannya kepada seorang penata rias bernama Cheri Minns saat masa-masa syuting Night at the Museum: Secret of the Tomb—ini merupakan periode terberat yang dialami Williams—bahwa ia merasa tidak lagi lucu dan mengalami kesulitan serius untuk memahami dialog dalam skrip.
"Ia terisak di tangan saya di setiap penghujung hari," ungkap Cheri seperti dilansir Telegraph.
Cheri yang tak tahu harus berbuat apa sempat menyarankan rekannya tersebut untuk kembali melakukan pertunjukan komedi tunggal—seperti yang ia lakukan di awal kariernya—agar kepercayaan dirinya bangkit, tetapi Williams menolak dan kembali menangis. Wiliams mengatakan tak bisa kembali melakukan pertunjukan tunggal karena ia sendiri bahkan sudah tidak tahu harus melakukan apa.
Beberapa bulan sebelum kematiannya, Williams sempat ke Hazelden Foundation Addiction Treatment Center di Center City, Minnesota, untuk melakukan rehabilitasi akibat kecanduan alkohol. Saat menjalani perawatan itulah ia juga didiagnosis dengan penyakit Parkinson tahap awal yang tengah menggerogoti nalarnya secara perlahan. Namun, menurut keterangan dokter kala itu, yang kemudian diungkap Susan Schneider, istri Williams, apa yang dialami oleh suaminya merupakan salah satu patologi terburuk yang pernah mereka lihat.
Williams tentu bukan satu-satunya pelawak yang pernah hidup dengan depresi akut hingga berujung bunuh diri. Stand up comedian Marc Maron, misalnya, juga pernah berbicara mengenai depresi berat yang dialaminya di sebuah pertunjukan tunggalnya. Begitu juga dengan pelawak lain seperti Jim Norton. John Belushi, Chris Farley, serta Greg Giraldo yang semuanya meninggal karena overdosis obat. Termasuk Richard Jeni yang mengalami skizofrenia akut hingga pada 2007 ia memutuskan bunuh diri.
Menurut Dr. Rami Kaminski, seorang profesor psikiatri di Fakultas Farmasi Universitas Columbia, New York, AS, salah satu alasan pokok mengapa banyak pelawak berisiko terkena penyakit mental adalah karena menjadi lucu tidak sama dengan menjadi bahagia. Dan sebab itu, tertawa merupakan cara mereka untuk melepaskan diri hal-hal tersebut, semacam mekanisme pertahanan diri secara tak langsung untuk mengatakan: “Saya baik-baik saja.”
“Seperti seseorang yang takut akan ketinggian, tetapi mencoba skydiving,” ujarnya kepada ABC News.
Hal yang kurang lebih sama turut dikatakan oleh Deborah Serani, seorang psikolog klinis sekaligus penulis buku Living With Depression: "Komedi seringkali menjadi sikap defensif terhadap depresi." Ia menambahkan, bagi banyak pelawak, humor menjadi suatu respons "kontra fobia" terhadap kegelapan dan kesedihan yang mereka rasakan. Kecerdasan mereka, katanya, membantu mereka memutar keputusasaan menjadi kelucuan.
"Mereka sering mengenakan apa yang kami sebut 'topeng depresi' untuk membantu mereka menunjukkan wajah yang lebih dapat diterima oleh dunia. Namun, di balik topeng itu ada perjuangan melawan hal-hal mengerikan yang sedang terjadi. Ada stigma tentang depresi dan seringkali tawa mengalihkan perhatian mereka dari perasaan tak berdaya.”
Persoalan mental yang dialami para pelawak adalah sesuatu yang nyata, demikian yang diyakini Roy Johnson, salah seorang komika ternama di AS pada periode 1990an. Ia bahkan telah kehilangan beberapa teman baik sesama pelawak karena kasus depresi akut. Itulah kenapa sejak tewasnya Richard Jeni, banyak komika membentuk sebuah lembaga konsultasi untuk menangani persoalan tersebut yang dinamakan Comedians for Suicide Prevention.
“[Kesehatan mental] itu isu nyata dan serius dalam bisnis komedi,” ujar Johnson yang butuh waktu satu setengah tahun untuk kembali pulih dari sakit mental yang ia derita justru ketika berada di puncak karier sebagai komika. Ia melanjutkan:
“Anda tahu bagaimana hal itu menjadi ekstrem? Anda naik ke atas panggung dengan segala kekurangan dan ketidakpercayaan diri yang Anda miliki selama ini dan Anda harus membuat 300 orang yang menonton Anda tertawa puas hingga mereka pulang. Setelah selesai, Anda kembali depresi dan menebusnya entah dengan menggunakan obat-obatan, alkohol, tidur, atau Anda hanya kembali ke kamar hotel dan duduk merenung sepanjang 23 jam. Bukan hanya saya yang pernah hidup seperti itu, tapi banyak teman saya juga mengalaminya.”
Mengenai bunuh diri, para penganjur eutanasia percaya bahwa memilih untuk mati merupakan hak insani manusia sebagaimana hak-hak lainnya. Pelawak Bill Maher yang kerap membawakan topik mengenai agama dan pernah pula "mempromosikan kematian" karena menganggap "dunia sudah terlalu sesak", bahkan pernah turut berseloroh: “Bunuh diri merupakan cara manusia berkata kepada Tuhan, ‘Kau tidak bisa memecat saya!’”.
Maher mungkin saja benar. Namun, jika seseorang, yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk membuat ribuan orang tertawa, harus mati bunuh diri karena menderita depresi tanpa ada orang lain yang sanggup menghiburnya, apa gunanya berbicara hak insani?
________________________________
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Editor: Maulida Sri Handayani