tirto.id - Benyamin Sueb adalah padan kata dari gelak tawa, tingkah yang penuh kekonyolan, dan bermacam lelucon yang mengalir tanpa henti. Ia serupa buku panduan yang mengajarkan kita bagaimana bersenang-senang di tengah hidup yang fana.
Anda tak percaya?
Suatu hari, dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, Babe Sabeni yang diperankan Benyamin sedang narik opelet. Peristiwa ini cukup langka mengingat Babe sudah memutuskan pensiun dari dunia peropeletan dan menyerahkan tanggungjawabnya pada duet Doel-Mandra.
Ternyata, turunnya Babe ke jalanan dilandasi niat ingin main gila. Babe, yang kala itu tampil necis, hendak mengantar selingkuhannya berbelanja perhiasan.
Namun, Babe terpaksa harus gigit jari. Bayangan indahnya menghabiskan waktu bersama si selingkuhan kandas. Nyak berhasil memergokinya ketika Babe bersiap memacu oplet. Nyak tiba-tiba masuk di kursi depan. Babe terperanjat dan berlagak seperti orang linglung.
“Kenalan abang?” tanya si selingkuhan Babe.
“Iya kali,” jawab Babe dengan nada pelan dan senyum pahit.
Sementara di luar, Mandra tidak kuasa menyembunyikan kegembiraannya menyaksikan momen memalukan dalam hidup Babe Sabeni.
Sebab Ia Bisa Apa Saja
Benyamin, atau biasa akrab kita sapa dengan Bang Ben, lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Ia Betawi asli dan tumbuh di lingkungan keluarga yang berkesenian. Engkongnya, Haji Ung, adalah seniman pertunjukan tradisional Dulmuluk yang kaya raya.
Hasrat seni Ben tidak bisa ditampik. Kendati sempat bekerja sebagai kondektur bis PPD dan pegawai sipil Kodam Jaya, Ben kemudian mantap memilih jalan hidupnya dengan terjun ke dunia seni. Ben melakukan lebih dari apa yang engkongnya capai. Ia masuk ke dunia seni peran sampai tarik suara. Semua dijalaninya dengan penuh totalitas.
Kiprah Ben di dunia tarik suara—dan musik—mendapati masa keemasannya kala ia berkolaborasi dengan Bing Slamet. Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S (2007) menjelaskan, pertemuan pertama Ben dengan Bing terjadi pada awal 1970-an. Waktu itu, perkenalan Ben dan Bing difasilitasi pelawak Ateng. Mereka lantas bertemu di studio rekaman miliki Dimita Record.
Pertemuan tersebut berlanjut dengan sesi bikin lagu. Ben memperkenalkan balada berjudul “Malam Minggu” kepada Bing. Harapannya, lagu ini bisa dinyanyikan bareng Bing, yang sudah diidolakan Ben sejak lama. Bing pun mengangguk setuju. Dengan sedikit polesan pada nada dan lirik, “Malam Minggu” beralih rupa dalam versi baru bertajuk “Nonton Bioskop.”
Tak dinyana, “Nonton Bioskop” booming di pasaran. Baik format piringan hitam maupun kaset sama-sama laris manis. Ben pun turut kecipratan popularitas. Bersama Bing, ia mulai naik panggung untuk unjuk kemampuan dan namanya perlahan dielu-elukan.
Kesuksesan “Nonton Bioskop” memacu motivasi Ben untuk membikin lagu lainnya. Ia kemudian menyodorkan “Si Jampang,” yang bertempo upbeat, kepada Bing dengan harapan sosok inspirasinya tersebut berkenan menyanyikan. Namun, kali ini Bing menolak. Alasannya: karakter “Si Jampang” yang cenderung sedikit selengean tidak cocok dengan gaya vokal Bing. Sebagai solusinya, Bing mendorong Ben untuk menyanyikannya sendiri.
Setelah berpikir panjang, Ben, yang mulanya ragu, akhirnya bersedia merekam lagu itu sendiri. Lagi-lagi, lagu bikinan Ben sukses bikin pasar jatuh hati. Keberhasilan ini kian memotivasi Ben dalam melebarkan musikalitasnya. Ben keluar dari zona nyamannya sebagai musisi dengan meramu karya bermacam genre; dari jazz, pop, tradisi, sampai rock and roll. Yang terkenal tentu nomor “Kompor Mleduk” yang ia susun pada 1970. Atau bila masih kurang bukti: simak “Hujan Gerimis”, “Tukang Kridit”, dan “Ondel-Ondel”.
Tak cuma berdendang, Ben juga merambah layar perak. Beberapa film yang ia bintangi antara lain Ambisi (1970) dan Bing Slamet Setan Djalanan (1972)—dua-duanya dibuat bersama Bing. Lalu ada Intan Berduri (1972), Benyamin Biang Kerok (1972), Biang Kerok Beruntung (1973), Cukung Blo'on (1973), Tarzan Kota (1974), Si Doel Anak Modern (1976), hingga Betty Bencong Slebor (1978).
Di fase inilah Ben dikenal publik lewat karakternya sebagai laki-laki dengan tampang pas-pasan atau kampungan—ia pernah mengidentifikasi diri dengan istilah "muka kampung, rejeki kota"—yang penuh akal bulus. Gambaran tersebut terekam jelas dalam Benyamin Biang Kerok di mana Ben memerankan tokoh bernama Pengki, sopir pribadi keluarga kaya yang seringkali mengerjai majikannya. Beberapa waktu lalu, Biang Kerok digarap ulang oleh Falcon Pictures dengan Reza Rahadian sebagai pemeran utamanya.
Terlepas dari energi kreatifnya yang seolah tak pernah habis, yang berkesan dari jalan kesenian Ben ialah bagaimana ia berkontribusi dalam mengangkat citra masyarakat Betawi lewat musik atau film hingga ia meninggal pada 5 September 1995, tepat hari ini 23 tahun lalu. Dampaknya, publik mulai tertarik untuk mengenal kesenian Betawi secara keseluruhan, dari tari, lenong, hingga ondel-ondel.
Menertawakan Hidup
Yang bikin sosok Ben makin terpatri dalam ingatan adalah penampilannya di serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan pada 1990-an. Di sinetron ini, Ben memerankan Babe Sabeni, ayah Doel—yang dimainkan Rano Karno.
Kehadiran Ben membuat Si Doel jadi serial yang layak ditonton. Kepiawaiannya dalam mengolah banyolan membikin penonton hampir dipastikan tertawa terpingkal-pingkal. Anda bisa menyaksikannya kala ia tektokan bersama Mandra, lawan mainnya yang senantiasa jadi sasaran risak Babe Sabeni.
Ketika adegan memperbaiki opelet, misalnya, Babe tanpa tedeng aling-aling menghardik Mandra dengan kalimat berbunyi: “Enggak ada tenaga, kayak tempe.” Kemudian, di lain waktu, Mandra mengeluh ingin naik pangkat jadi sopir. Ia lantas bertanya kapan bisa memegang status tersebut. Babe yang mendengar keluhan itu langsung saja berkata: “Entar, kalo Perang Dunia III.”
Beberapa lelucon lain yang terekam ialah tatkala Babe menyebut Hans, kawan Doel yang berambut gondrong, sebagai “KNIL Belanda.” Pun saat keluarga Doel ‘diusir’ dari lapangan GBK karena sedang dipakai latihan bola, Babe lagi-lagi mengeluarkan punchline-nya: “Latihan mulu, menangnye kagak.”
Melihat Babe Sabeni dalam Si Doel pada dasarnya adalah melihat tentang diri kita beserta realitas di sekitar. Babe yang rela menjual tanahnya untuk membiayai kuliah Doel. Babe yang setiap hari beradu mulut dengan Mandra. Babe yang terkadang memperlakukan Nyak sebagai perempuan tanpa daya tetapi sejatinya ia begitu menjunjung tinggi harkat istrinya itu. Babe yang tidak rela Doel kerja di luar Jakarta karena alasan “anak Betawi harus bangun daerahnya dan bangga dengan identitasnya.” Babe yang berupaya untuk terus bersyukur di tengah hidup yang serba tak untung.
Segala yang dinamika ada dalam rutinitas kita—tak punya uang, pekerjaan yang sulit, krisis identitas, prahara rumah tangga—tercermin secara baik lewat tingkah lalu seorang Babe Sabeni yang memicu gelak tawa. Babe mengajarkan laku sederhana dalam hidup: melawan kegetiran dengan tawa. Dan jika bukan berkat Benyamin Sueb, kita mustahil mendapatkannya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan