tirto.id - Suatu pagi di pengujung candra Juli 1982, seorang bayi lahir di sebuah kampung di selatan Sukabumi. Saat sang ibu masih kepayahan dalam genangan darah setelah melahirkan, sang nenek keluar rumah dan mendapati kampung diselimuti gelap. Bukan gelap sisa malam, tapi karena dekapan abu vulkanik Gunung Galunggung.
Hampir segalanya dihinggapi abu, terutama atap-atap rumah. Untuk mengingat peristiwa tersebut, si bayi diberi nama “Abu”. Sementara nama belakangnya “Sopyan”, mengikuti nama ayahnya.
Bayi itu adalah teman saya. Kawan sebangku di sekolah selama sembilan tahun, dari Sekolah Dasar sampai Madrasah Tsanawiyah. Kisah tersebut sudah lama saya dengar, tapi untuk meyakinkan kembali ingatan, saya menghubungi lagi kawan lama itu.
“Enya, nini urang nu méré ngaran éta (Iya, nenek saya yang memberi nama itu),” terang Abu saat saya hubungi via telpon pada Senin (8/10/2018).
Letusan Gunung Galunggung pada awal 1980-an memang dahsyat. Gunung tersebut terus-menerus mengeluarkan isinya selama lebih dari sembilan bulan, tepatnya mulai 5 April 1982 dan letusan baru benar-benar berakhir pada 8 Januari 1983.
Abu vulkanik Galunggung sampai ke sejumlah kota yang lokasinya relatif jauh dari Tasikmalaya, seperti Bandung, Bogor, Sukabumi dan Jakarta. Selain itu, abu tersebut juga mengganggu sejumlah penerbangan. Pemerintah meminta seluruh penerbangan domestik dan internasional untuk menghindari wilayah udara Galunggung.
Namun, larangan tersebut terlambat diketahui oleh pilot pesawat Singapore Airlines dan British Airways. Mereka kadung mendekati wilayah udara Galunggung. Akibatnya, pada 24 Juni 1982 pesawat Boeing 747 British Airways mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusumah karena kerusakan mesin akibat abu vulkanik Galunggung.
Pesawat yang mengangkut 225 penumpang itu bertolak dari London dan sedang dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Perth. Di ketinggian 9.450 meter sekitar 500 mil dari pantai selatan Garut, empat mesinnya tiba-tiba mati. Beruntung pilot Kapten Erik Moody akhirnya berhasil menghidupkan dua dari empat mesin yang mati itu dan segera melakukan pendaratan.
Sementara pada 13 Juli 1982, giliran pesawat Boeing 747 Singapore Airlines dengan nomor penerbangan 21A dari Singapura menuju Sidney dan Melbourne, terpaksa mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma akibat abu vulkanik Gunung Galunggung. Pada ketinggian 33.000 kaki atau sekitar 11 kilometer, dua mesin pesawat tersebut terpaksa dimatikan.
Sukandarrumidi dan kawan-kawan mencatat dalam Geotoksikologi: Usaha Menjaga Keracunan Akibat Bencana Geologi, semburan material dari Galunggung mencapai puluhan kilometer. Bahkan pada 13-19 Juli 1982, tinggi tiang asap letusan mencapai 35 kilometer, hal inilah yang menyebabkan kedua pesawat tersebut hampir jentaka.
Menurut keterangan mereka, abu vulkanik terdiri atas batuan halus, mineral dan partikel padat berdiameter kurang dari 2 milimeter. Bahkan diameter abu halus hanya 0,063 milimeter. Ukuran material itu mengecil jika semakin jauh jarak lontarannya dari gunung api.
“Material fisik abu gunung abu gunung api inilah yang berbahaya bagi penerbangan. Ukurannya yang kecil, kekerasannya, kemampuannya mengamplas dan keasamannya merusak mesin pesawat. Saat pemeriksaan pesawat Singapore Airlines, baling-baling mesin nomor dua ditemukan garis-garis memutih jejak pengamplasan abu vulkanik,” imbuhnya.
Sementara menurut Anna Fauziah Diponegoro dalam Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A. Katili (2007), ketika mesin pesawat kemasukan abu vulkanik dan kerja mesinnya dipercepat, justru membuat abu mencair dan bisa berubah menjadi kaca sehingga dapat mencelakakan pesawat.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, seperti ia terangkan dalam wawancaranya dengan Regina Safri yang terbuhul dalam Belajar Membumi bersama Mbah Rono (2015), sejak abu vulkanik Galunggung mengganggu penerbangan, dunia menjadi menganggap penting dan serius terhadap sebaran abu vulkanik yang disebabkan letusan gunung berapi.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik yang dapat membahayakan penerbangan, didirikan sistem pemantauan sebaran abu vulkanik yang bernama Volcanic Ash Advesory Center (VAAC).
“Karena itu saat terjadi letusan Gunung Merapi (2010), VAAC yang berkantor di Darwin, Australia, memberikan red alert atau Peringatan Bahaya Tinggi untuk penerbangan dari dan ke bandara-bandara di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Pulau Sumatra. Juga mengalihkan penerbangan menjauhi Pulau Jawa,” tambah Surono.
Warga Tasikmalaya Mengungsi
Sukandarrumidi dan kawan-kawan mencatat dalam Geotoksikologi: Usaha Menjaga Keracunan Akibat Bencana Geologi, letusan berkepanjangan itu membuat Tasikmalaya seperti kota mati: pasar tradisional lumpuh, sejumlah toko tutup berminggu-minggu, sekolah dan perkantoran diliburkan dalam waktu yang lama.
“Begitu mulai berdagang lagi, pedagang hanya menjual barang seadanya karena tidak ada sayuran dan buah-buahan yang dapat dijual,” tulis mereka.
Tempo edisi 21 Agustus 1982 melaporkan, akibat letusan Galunggung yang terus terjadi menyebabkan ribuan hektar lahan pertanian musnah, awan gelap, dan udara sesak. Kerugian saat itu ditaksir mencapai 29,6 miliar rupiah. Total pengungsi dalam catatan Kompas mencapai 20.000 orang.
Pada September 1982, sebanyak 8.217 orang korban letusan Galunggung yang desanya rusak parah dan terkubur seperti Desa Linggarjati, Sukagalih, Sukaratu, dan Sinagar, berangkat transmigrasi ke Pulau Sumatra.
Namun, sebagian warga ternyata tidak bertahan lama di daerah transmigrasi karena lahan garapan mereka terus-menerus diserang babi hutan. Serangan babi hutan tersebut dapat merusak satu hektar lahan garapan dalam waktu semalam. Salah satu penyebab repotnya warga dalam menghadapi babi hutan adalah karena di daerah asalnya, Tasikmalaya, mereka tak terbiasa menghadapi serangan hewan tersebut.
Hal ini membuat sebagian warga kembali ke daerah asalnya dan paling lama bertahan hanya empat tahun. Lahan garapan mereka tinggalkan begitu saja, dan ongkos pulang mereka dapat dari hasil menjual rumah dengan harga murah sekadar agar bisa kembali ke kampung halamannya.
Sementara bekas letusan Galunggung yang mengubur rumah-rumah mereka mulai bisa ditempati kembali karena banyak perusahaan yang mengeduk pasir dan akhirnya membuka lahan warga yang sempat terlantar itu.
Hikayat Letusan Galunggung
Gunung Galunggung yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian 2167 mdpl. Letusan pada pertengahan 1982 sampai awal 1983 bukan yang pertama. Satu setengah abad sebelumnya, tepatnya pada Juli 1822, Galunggung pernah meletus dan menghancurkan sekitar 114 desa, serta menewaskan sekitar 4.000 orang.
Tanda-tanda letusan pada bulan Juli itu terlihat saat salah satu mata air di sekitar Galunggung menjadi keruh dan berlumpur. Sementara pada Oktober di tahun yang sama, letusan Galunggung menghasilkan hujan pasir kemerahan, awan panas, lahar, dan abu halus.
“Lembah sungai yang berhulu di kawah Galunggung hampir seluruhnya mengalami banjir lahar. Sebanyak 4.011 orang tewas. Sesudah peristiwa itu Galunggung berdiam diri dan kemudian meletus kecil pada tahun 1894,” tulis Adjat Sudradjat dalam Prahara Gunung Galunggung (2013). Letusan pada Oktober 1894 membuat ambruk sejumlah rumah warga karena tertimpa hujan abu yang tebal.
Awal abad ke-20, Galunggung meletus lagi pada 1918. Letusan tersebut membentuk kubah lava yang disebut Gunung Jadi. Sebelum meletus lagi pada 1982, selama 64 tahun terjadi pembentukan gas dan uap. Menurut Sudradjat, gas dan uap ini berakumulasi di bagian atas dari kantung magma.
Mulanya, tekanan yang dihasilkan dari akumulasi gas dan uap tersebut belum mampu menerobos lubang kepundan karena tekanannya belum terlalu kuat dan batuan yang mengisi lubang tersebut sangat kokoh. Namun, lama-kelamaan tekanan yang terkumpul semakin besar dan batuan yang mengisi lubang telah rusak oleh panas yang merambat dari kantung magma. Akhirnya uap dan gas tersebut mampu mencapai dasar kawah dan mendobrak sehingga terjadi letusan.
“Secara keseluruhan, kegiatan Gunung Galunggung mengikuti proses yang ideal, mulai dari pembentukan, kemudian penghancuran diri, dan pembentukan kembali. Pada setiap episode letusan, siklus ini bisa terjadi. Pada letusan tahun 1982, Gunung Galunggung memperlihatkan karakter letusan yang dengan jelas mengikuti siklus,” tulisnya.
Galunggung dalam Naskah Kuno
Keberadaan Gunung Galunggung sejak dulu telah menjadi perhatian penting beberapa kerajaan yang berada di Jawa bagian barat, yang bisa dilacak dalam sejumlah naskah. Dalam catatan T. Bachtiar yang diterbit di Pikiran Rakyat, Galunggung disebut dalam naskah Carita Parahiyangan yang merupakan naskah yang menceritakan raja-raja Kerajaan Sunda, Galuh, dan Pakuan Pajajaran
Selain itu, Galunggung juga menjadi tempat yang disebut oleh Bujangga Manik, seorang putra mahkota Kerajaan Sunda yang melakukan perjalanan sepanjang Jawa dan Bali.
Naskah yang paling populer yang terkait dengan Gunung Galunggung adalah yang terdapat dalam enam lembar lontar dengan nomor kode kropak 632 yang di Kabuyutan Cikuray, Garut. Oleh Saleh Danasasmita—sejarawan Sunda, kropak ini kemudian diberi nama “Amanat Galunggung”, yang isinya berupa sejumlah nasihat dari Rakeyan Darmasiksa, penguasa Galunggung kepada putranya. Salah satu nasihat dari “Amanat Galunggung” adalah tentang kesadaran sejarah yang bunyinya sebagai berikut:
“Hana nguni hana mangké / tan hana nguni tan hana mangké / aya ma baheula aya tu anyeuna / hanteu ma baheula hanteu tu anyeuna / hana tunggak hana watang / tan hana tunggak tan hana watang / hana ma tunggulna aya tu catangna”
(Ada dahulu ada sekarang / bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang / karena ada masa silam maka ada masa kini / bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini / ada tonggak tentu ada batang / bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang / bila ada tunggulnya tentu ada catangnya).
Galunggung beberapa kali meletus. Bencana datang berulang dalam rentang waktu yang berbeda. Kiranya, salah satu bait dalam “Amanat Galunggung” tersebut bisa menjadi pengingat bahwa masa lalu selalu terkait dengan masa kini, dan sebaliknya. Jika diaktualisasikan ke dalam alam kiwari, barangkali bait tersebut bisa diejawantahkan dalam bentuk kesadaran terhadap alam, mitigasi bencana, dan sebagainya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan