Menuju konten utama
26 Agustus 1883

Letusan Maut Gunung Krakatau 1883

Semburan lava.
Terang gelap warna dan
gelegar swara.

Letusan Maut Gunung Krakatau 1883
Ilustrasi Gunung Krakatau. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 4 Juni 2018 lalu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selaku koordinator posko nasional ESDM mengumumkan sebanyak 19 gunung api berstatus Waspada. Salah satu gunung api yang kala itu sedang aktif adalah Anak Krakatau.

Selang sebelas hari kemudian (25/6), Anak Krakatau dilaporkan meletus. Menurut keterangan PVMBG, erupsi Anak Krakatau melontarkan abu vulkanik setinggi 1.000 meter di atas puncak kawah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan erupsi tersebut tak membahayakan penerbangan dan pelayaran.

“Tidak ada perubahan status Gunung Anak Krakatau. Status Waspada artinya aktivitas vulkanik di atas normal sehingga terjadinya erupsi dapat terjadi kapan saja. Tidak membahayakan selama masyarakat tidak melakukan aktivitasnya di dalam radius 1 km,” terang Sutopo kala itu.

Sejak itu, Anak Krakatau terus mengalami peningkatan aktivitas. Hingga 19 Agustus 2018, gunung api di Selat Sunda itu mengalami erupsi setiap harinya. Berdasarkan pantauan PVMBG, Anak Krakatau tercatat meletus sebanyak 576 kali sehari sebelumnya. Ratusan erupsi itu disertai lontaran abu vulkanik, batu pijar, dan lelehan lava pijar dari mulut kawah.

Sutopo kembali menegaskan bahwa erupsi tersebut tak menimbulkan dampak merusak. Meski terjadi ratusan kali, namun skalanya terbilang kecil. Kala itu, radius zona bahaya sudah ditingkatkan menjadi 2 km dari puncak gunung api. Menurutnya lagi, erupsi tersebut adalah fenomena normal mengingat Anak Krakatau masih dalam masa pertumbuhan.

"Gunung Anak Krakatau baru muncul dari permukaan laut tahun 1927. Rata-rata tambah tinggi 4-6 meter per tahun," ujar Sutopo. "Energi erupsi juga tidak besar."

Menurut Sutopo, kecil kemungkinan Anak Krakatau mengalami erupsi kolosal seperti yang terjadi 135 tahun silam. Namun, kewaspadaan memang tak boleh kendur. Pasalnya, erupsi yang menghancurkan dua per tiga tubuh Pulau Krakatau pada 1883 itu juga diawali dengan kejadian serupa hari ini.

Salvo Pembuka

“Mula-mula getarannya kecil, lebih mirip udara yang menggeletar, serangkaian angin yang menyapu, kelebatnya atmosfer yang nyaris tak terasakan,” tulis jurnalis Simon Winchester dalam karyanya yang tersohor, Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 (2006, hlm. 201).

Kamis dini hari, 10 Mei 1883, penjaga menara suar Eerste Punt yang terletak di Tanjung Layar, Banten, merasakan getaran di udara. Tanah dan permukaan laut di depan mereka pun ikut bergetar dan menampakkan ombak yang menggelegak.

Meski tak ada kerusakan, gejala alam ini dirasa tak lazim mengingat pola dan lokasinya yang tak biasa. Penjaga menara suar akhirnya mencatatnya dalam laporan harian yang kemudian ia kirim ke Batavia.

Orang-orang di zaman itu mafhum bahwa gempa dan erupsi lumrah terjadi di Hindia Belanda. Walhasil, tak ada kecurigaan berlebih. Terlebih lagi, bulan-bulan awal tahun itu juga masih terbilang tenang. Beberapa gempa dilaporkan terjadi, namun tak ada yang betul-betul signifikan.

Lima hari kemudian, getaran lemah menjalar di area Selat Sunda. Kali ini lebih besar dan beruntun, hingga terasa sampai Sumatra. Getaran itu bahkan membuat gusar Willem Bayerinck yang saat itu menjabat Controleur Ketimbang (kini Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan). Ia melaporkan getaran ini ke atasannya, Residen Lampung. Sayangnya, tak ada tindak lanjut (hlm. 203).

Tiba-tiba, Gunung Perbuwatan—salah satu gunung api di Pulau Krakatau—meletus pada 20 Mei.

Kejadian itu juga terkonfirmasi dari laporan Kapten Hollman, seorang komandan kapal perang Jerman. Elizabeth, kapal yang dikendarai Hollman, saat itu sedang singgah di Anyer untuk mengisi persediaan logistik. Mereka tengah berada dalam perjalanan pulang ke Jerman setelah beberapa lama bertugas di Tiongkok dan Jepang.

Semburan lava. Terang gelap warna dan gelegar swara. #MozaikTirto

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on