tirto.id - Foto-foto Jenderal Sudirman sepulang dari perjalanan gerilya kini telah menjadi ikonik. Salah satu yang terkenal adalah foto saat Jenderal Sudirman berpelukan dengan Presiden Sukarno di serambi Gedung Agung, sebutan resmi bagi Istana Presiden di Yogyakarta. Dalam setiap momen itu, tampak ada perwira yang selalu satu frame dengan Pak Dirman. Namun, nama dan posisi perwira tersebut nyaris tak dikenal khalayak.
Sang perwira selalu terlihat dengan tampilan khasnya: mengenakan baret hitam dan selalu menyandang senapan laras panjang Karabin M1. Perwira tersebut adalah Letkol Suadi Suromihardjo.
Saat itu Suadi menjabat komandan pasukan kawal Panglima Besar Jenderal Sudirman, sebuah posisi yang membuatnya selalu dekat dengan Pak Dirman secara fisik. Kira-kira posisi Letkol Suadi mirip dengan Komandan Grup A Paspampres, atau lebih spesifik lagi Komandan Denwalpri (Detasemen Kawal Pribadi) yang memang diharuskan dekat secara fisik dengan Presiden RI.
Namun, perlakuan terhadap pengawal setia Pak Dirman ini sungguh tidak adil: ia dihilangkan dari sejarah.
Satu Frame dengan Soeharto
Sejarah resmi Indonesia menghapus nama Letkol Suadi karena ia dianggap perwira “Kiri”. Skripsi sejarawan Soe Hok Gie tentang Peristiwa Madiun 1948 menyebutnya sebagai simpatisan FDR (Front Demokrasi Rakyat), organisasi yang dinilai sebagai biang keladi Peristiwa Madiun 1948.
Namun, sampai saat ini, sulit membuktikan anggapan bahwa Suadi adalah simpatisan FDR. Situasi menjelang Peristiwa Madiun sangat kompleks. Konflik antar-kesatuan bersenjata begitu tinggi, khususnya di Solo yang menjadi basis pasukan Suadi.
Suadi sendiri waktu itu menduduki posisi Komandan KPPS (Komando Pertempuran Panembahan Senopati), pasukan reguler terbesar di Solo yang setara satu divisi. Di samping KPPS, pasukan lain dengan jumlah personel besar adalah TP (Tentara Pelajar) Solo yang dipimpin Mayor Achmadi.
Sebelum menjabat Komandan KPPS, Suadi adalah Komandan Brigade V Solo. Setelah dipromosikan sebagai Komandan KPPS, posisi Suadi selaku Komandan Brigade V digantikan oleh Overste (setara letkol) Slamet Riyadi, seorang perwira tempur legendaris.
Solo saat itu menjadi basis bagi satu brigade Divisi Siliwangi (di bawah Letkol Sadikin), yang harus hijrah dari Jawa Barat, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville. Belum lagi satuan non-reguler seperti Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), laskar dengan persenjataan terkuat saat itu. Pendeknya, hubungan antar-pasukan yang berbasis di Solo penuh konflik yang rumit dan berlapis-lapis. Dalam situasi chaos seperti itu, tuduhan terhadap seorang pimpinan tentara sangat mudah terjadi. Dan Suadi adalah salah satu korbannya.
Tuduhan “Kiri” terhadap Suadi semakin tak relevan ketika ia ditarik menjadi staf Panglima Besar, langsung di bawah Jenderal Sudirman. Jika benar Suadi adalah simpatisan FDR, bagaimana mungkin Pak Dirman merekrut seorang perwira yang dianggap terlibat pemberontakan terhadap pemerintah yang sah? Seandainya tak dipercaya Pak Dirman, tentu Suadi tidak dilibatkan dalam perjalanan gerilya Pak Dirman yang monumental itu.
Saat kembali ke Yogya dari perjalanan gerilya pada 10 Juli 1949, Pak Dirman disambut upacara kehormatan pasukan TNI. Di panggung kehormatan, seperti yang terlihat dalam foto yang beredar selama ini, Pak Dirman menerima defile pasukan sembari duduk. Saat itulah terlihat Suadi dengan tampilan khasnya: Ia berada satu frame dengan Pak Dirman, Sjafrudin Prawiranegara (Perdana Menteri “darurat”), Letkol Soeharto (Komandan Brigade di Yogya, kemudian Presiden RI), dan Kapten Suparjo Rustam (ajudan Pak Dirman, kelak menjabat Mendagri).
Dalam foto yang sama terlihat Soeharto dan Suadi, dua overste yang perjalanan kariernya kelak bersimpang jalan karena faktor politik.
Komandan Garuda dan Seskoad
Sejak dulu karier seorang perwira adalah misteri. Tak seorang pun bisa meramal nasibnya. Hal yang sama berlaku pada Suadi dan Soeharto.
Keduanya sama-sama lahir tahun 1921, sama-sama menjabat Komandan Brigade, dan sama-sama pula memiliki kedekatan dengan Pak Dirman. Kelak, ketika berkuasa, Soeharto sangat berperan dalam menyingkirkan Suadi secara sistematis.
Hubungan Soeharto dan Suadi akhirnya mengalami pasang surut. Usai Pak Dirman meninggal, Suadi melanjutkan karier militer dengan lancar, dan boleh dibilang sangat istimewa. Suadi sempat mengikuti pendidikan di dua lembaga bergengsi: Seskoad di AS (Fort Leavenworth) dan Staff College, Quetta, Pakistan. Berdasarkan rekam jejak pendidikan seperti inilah Suadi dipercaya oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menjabat Komandan Seskoad di Bandung (1959-1961).
Dalam posisi sebagai Komandan Seskoad, Suadi memperoleh pangkat mayor jenderal. Selain serangkaian jabatan lapangan di tanah air, Suadi sempat memperoleh penugasan internasional sebagai Komandan Kontingen Garuda I, pasukan perdamaian di bawah payung PBB. Pasukan Garuda di bawah Suadi saat itu ditugaskan ke Mesir (1957) setelah Presiden Nasser menasionalisasi Terusan Suez.
Karier Suadi mulai suram ketika Soeharto berkuasa sekitar 1965-1966. Sebelum benar-benar hilang dari peredaran, Suadi masih sempat diangkat sebagai Gubernur Lemhanas pada awal Orde Baru, sehingga dia memperoleh tiga bintang, pangkat yang disandangnya sampai pensiun.
Pasca-Peristiwa 1965, memang muncul tren penyingkiran perwira yang dianggap simpatisan Kiri. Namun, penyingkiran Suadi berdasarkan dugaan keterkaitannya dengan Peristiwa Madiun 1948 terdengar ganjil: Kenapa baru dipersoalkan pasca-Peristiwa 1965? Jelas di sini ada tumpang-tindih argumentasi pada kasus eliminasi Suadi, yakni antara Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.
Penyingkiran terhadap Suadi yang terkesan mulus justru disebabkan oleh kedekatan khusus antara Suadi dan Soeharto sejak lama. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terpendam dalam hati Soeharto terhadap Suadi. Selain pada foto yang disebut pada awal tulisan, setidaknya ada dua perjumpaan penting lain antara keduanya.
Pertama ketika Suadi mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi pasca-Peristiwa Madiun, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. Soeharto turun langsung ke lapangan berdasarkan perintah Jenderal Sudirman. Kedua saat Suadi menjadi Komandan Seskoad, Brigjen Soeharto memperoleh kesempatan mengikuti Kursus C di lembaga tersebut.
Rupanya menyingkirkan seorang kawan lebih mudah daripada menyingkirkan lawan; karena biasanya lawan berada di tempat yang jauh. Namun, syarat menyingkirkan seorang kawan lumayan berat, yakni kekuatan melawan nurani. Syarat inilah yang biasanya sulit dipenuhi bila seseorang akan mengkhianati kawan atau kerabat.
Namun, nurani ternyata bukan persoalan besar bagi Soeharto, sehingga ia mudah saja menyikat teman-teman lamanya seperti Letkol Untung, Letjen Suadi, dan Mayjen Pranoto Reksosamodra.
Antara Hatta dan Soeharto
Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 sama-sama terjadi pada bulan September. Satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita adalah bagaimana kedua gerakan itu bisa cepat ditumpas.
Berdasarkan pola hubungan antara Soeharto dan Suadi, dua gerakan tersebut bisa ditumpas karena orang yang berperan penting di balik aksi penumpasan adalah orang dekat atau setidaknya pernah masuk dalam lingkaran pergaulan para pelaku gerakan.
Dalam Peristiwa 1965, para pelaku utama gerakan, yakni Letkol (Inf) Untung dan Kol (Inf) Latief, adalah teman dekat Soeharto sejak masih sama-sama berdinas di tentara dan Teritorium IV/Diponegoro (kini Kodam IV/Diponegoro), yang bermarkas di Semarang. Tidak ada yang bisa membantah fakta ini.
Saat Peristiwa Madiun 1948, Hatta merangkap tiga jabatan: Perdana Menteri, Wapres, dan Menteri Pertahanan. Walhasil, Hatta memiliki otoritas penuh dalam mengatasi segala kekacauan saat itu.
Para pelaku gerakan Madiun 1948 seperti Mr. Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Setiadjit, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat adalah teman seperjuangan (Perdana Menteri) Hatta sejak masa pergerakan. Mr. Amir Sjarifuddin adalah Perdana Menteri yang kemudian digantikan Hatta, sementara tiga nama berikutnya adalah teman Hatta sejak menempuh pendidikan di Belanda yang sama-sama tergabung dalam Perhimpunan Indonesia.
Kecuali Setiadjit dan Abdulmadjid, para tokoh Peristiwa Madiun umumnya dieksekusi pada pertengahan Desember 1948, hampir bersamaan waktunya dengan Agresi Militer Belanda II.
Setiadjit hilang dalam pergolakan 1948 dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Nasib Abdulmadjid sedikit lebih baik: Ia bisa lolos dari eksekusi, mungkin karena latar belakang keluarganya. Abdulmadjid adalah anak tiri dari RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan. Tak hanya lolos dari maut, Abdulmadjid bahkan sempat menjadi Walikota Semarang pada 1950-an.
Mungkinkah Soeharto mengikuti jejak Hatta saat menyingkirkan kolega lamanya Letjen Suadi pasca-Peristiwa 1965?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.