tirto.id - Sri Lestari, perempuan 33 tahun, bersama rekan-rekannya pengemudi ojek daring, sedang asyik mengerubungi sebuah motor yang sedang diperbaiki. Mereka saling bertukar cerita sambil menunggu penumpang di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/10/2018).
Saat itu hari sudah menunjukkan pukul 9 malam. Lestari menjadi satu-satunya pengemudi wanita di pangkalan ojek online itu.
"Mengapa belum pulang, Mbak?" tanya saya pada Lestari.
"Lho, saya memang narik-nya dari sore ke malam. Mulai jam 3 sore.”
Lestari memulai pekerjaannya sebagai pengemudi Gojek pada Oktober 2015. Banyak calon penumpang menolak menggunakan jasa Lestari karena alasan ia perempuan
Maka dari itu dia terbiasa berunding dengan penumpangnya yang laki-laki. "Tolong jangan cancel ya, Pak," kata Lestari menirukan ucapannya ke saya.
Mendengar cerita Lestari saya jadi teringat pengalaman saat mendapat pengemudi ojek online perempuan, hampir semua dengan sigap meminta agar saya tidak membatalkan order.
Lestari menuturkan, jika mendapat penumpang laki-laki, tak jarang mereka menawarkan untuk menggantikan tugas menyetir motor. Namun ibu empat anak ini selalu menolak karena baginya hal itu adalah kewajibannya.
"Saya kan kerja. Butuh uang. Itu pekerjaan saya. Makanya saya tolak. Biar saya yang bawa motor," cerita Lestari dengan logat Cilacapnya.
Baru-baru ini, ia membawa penumpang keturunan Afrika dari Kalibata, Jakarta Selatan ke daerah Pluit, Jakarta Utara. Beruntung ia bisa sedikit berbahasa Inggris, berkat ia pernah menjadi TKW di Malaysia.
Korban Pelecehan Hingga Tindak Kriminal
Tantangan lain yang harus Lestari hadapi adalah ancaman pelecehan seksual dari penumpang. Pernah satu waktu, saat ia mengangkut penumpang laki-laki secara luring, pinggangnya dipegang. Sejak saat itu, ia selalu menjaring penumpang dengan menggunakan aplikasi daring.
"Lebih aman," katanya.
Menjadi korban penjambretan pun pernah ia alami. Waktu itu ia tengah berkendara di malam hari sehabis mengantar penumpang.
"Kalung saya langsung dijambret. Mereka naik motor besar. Cepat sekali. Untung enggak dibegal. Kalau berkendara baiknya jangan pakai perhiasan deh," saran Lestari. Maka dari itu, ia keukeuh menghindari jalan layang jika kerja pada malam hari.
Untuk menyempurnakan pelayanan kepada pelanggan, Lestari mengaku sudah khatam jalanan ibu kota sampai pada jalan pintas. "Tiga tahun di jalanan saya menghafal jalanan Jakarta dan berhasil," aku Lestari.
Hafal Daerah Rawan
Jika Lestari sedang semangat mencari penumpang, maka pukul 9 malam itu, Jannah, perempuan 41 tahun, baru saja pulang ke rumahnya di Ulu Jami, Jakarta Timur. Ia salah seorang mitra pengendara perempuan Grab Bike. Atau yang biasa disebut lady.
Jannah baru menjadikan profesi sopir ojek daring sebagai pendulang rizki utamanya sejak tujuh bulan lalu. Dalam tujuh bulan itu, wanita yang kerap 'mangkal' di kawasan Bangka, Jakarta Selatan itu sering mendapat tawaran untuk digantikan mengemudi.
"Iya banyak yang nawarin gantiin. Yaudah saya terima aja. Mereka segan diboncengi perempuan. Mau itu laki-laki atau perempuan ya," kata Jannah.
Tak ada tantangan berarti selama ia menjalani pekerjaan yang didominasi laki-laki itu. Diskriminasi maupun pelecehan seksual tak pernah ia alami. Hanya saja, ia harus pandai-pandai mengemudi saat berada di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
"Banyak kontainer besar. Bikin takut juga sih. Jadi lebih hati-hati di jalan," ujarnya.
Tetap Bekerja Meski Hamil Sembilan Bulan
Jannah merupakan orang tua tunggal. Setelah bercerai dengan suaminya, ia kini harus menafkahi ketiga anaknya sendirian. Beruntung si sulung sudah mandiri dan mampu menghasilkan duit sendiri.
Ia memilih menjadi pengojek online lantaran jam kerjanya yang fleksibel dan pendapatan yang lumayan. Setiap hari ia akan mengurus kebutuhan anak-anaknya dulu, baru pergi 'narik' sekitar pukul 9 pagi.
Lagipula, katanya, tak ada perusahaan yang mau merekrut dirinya yang tak lagi berusia muda. Ojek online hadir memberinya kesempatan itu. Bekerja di jalanan juga memungkinkan dirinya mengurus anak-anak jika berada dalam keadaan darurat.
Anak sulungnya kerap khawatir dengan pekerjaan Jannah yang harus berjibaku di jalanan ibukota yang jauh dari kesan ramah. Terlebih dengan usia Jannah yang tak lagi muda.
Hal yang sama juga dirasakan Lestari. Saat ini suaminya tak lagi bekerja. Padahal masih ada empat mulut mungil yang harus diberi makan. Medio Desember 2017 ia baru melahirkan anak keempatnya.
"Waktu hamil sembilan bulan, saya masih narik. Lumayan uangnya untuk biaya persalinan," kenang Lestari.
Meski Lestari telah berperan seperti seorang kepala keluarga, namun suaminya akan kesal jika mendengar istilah itu. Beruntung suaminya juga membantu mengurus anak kendati pekerjaan domestik lainnya tetap harus ia yang kerjakan.
Memilih jam kerja di sore hingga ke malam hari adalah pilihan yang ia lakukan secara sadar. Dengan begitu, ia dapat mengurus keluarganya di pagi hari hingga siang baru setelah beres ia akan keluar 'narik' mulai pukul 3 sore. Biasanya ia akan kembali pada pukul dua pagi.
Konflik Peran Ganda Perempuan
Apa yang dilakoni Lestari dan Jannah merupakan peran ganda yang dilakukan perempuan dalam ranah domestik dan juga publik. Hal ini merupakan ekses dari terbukanya keran kesempatan kerja, bagi perempuan yang muncul setelah keberhasilan gerakan feminis, dalam memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan. Kendati demikian perjuangan ini bukannya tanpa meninggalkan masalah baru dan menjadi bumerang bagi kaum hawa.
Peran ganda yang dilakoni keduanya, juga perempuan pekerja lain dapat menimbulkan konflik. Jeffrey H. Greenhause dari Drexel University dalam jurnalnya, Work Family Conflict menyebut, ada beberapa faktor penyebab konflik peran ganda tersebut. Pertama, permintaan waktu dari satu peran yang tercampur dan mengakibatkan berkurangnya waktu pada peran lain. Kedua, stres yang ditimbulkan oleh suatu peran memengaruhi peran lainnya dan kualitas hidup individu. Ketiga, kecemasan dan kelelahan. Keempat, efektivitas dalam suatu peran tidak berlaku dalam menjalankan peran lainnya sehingga menjadi tidak optimal.
Lestari mengaku merasakan poin ketiga dari empat poin tersebut. Kelelahan yang dialaminya menjadi konsekuensi yang harus diterima lantaran harus menjalani dua peran sekaligus. Terlebih di ruang kerjanya, ia berada dalam kelompok rentan.
Hal itu kemudian disetujui Jannah. Saat saya hubungi, ia terdengar kelelahan lantaran sudah bekerja seharian sehingga memilih untuk langsung beristirahat. Urusan domestik terpaksa harus ia kesampingkan.
"Beruntung anak saya sudah besar. Jadi tak terlalu harus banyak diurus. Kalau yang lain seperti mencuci, menyetrika, dan sebagainya bisa dilakukan di akhir pekan," kata Jannah.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Dieqy Hasbi Widhana