tirto.id - Penggemar grup musik Korean Pop (K-Pop) dikenal loyal dan memiliki fanatisme yang tinggi. Para K-Poppers tak ragu merogoh kantong dalam untuk membeli barang-barang berbau K-Pop, menonton konser di dalam dan luar negeri, hingga modal kuota untuk streaming, seperti terungkap dari hasil penelitian Adi (2019) bertajuk “Korean Wave: Studi tentang Pengaruh Budaya Korea pada Penggemar K-Pop di Semarang.”
Seorang informan dalam studi itu bahkan mengaku pernah berjuang mengumpulkan duit dari bekerja paruh waktu menjaga toko, hingga menjadi driver ojek online (ojol) demi mewujudkan mimpi menonton grup band favoritnya.
Survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Zigi.id yang diselenggarakan Juni lalu menemukan, para penggemar K-Drama dan K-Pop di Indonesia rata-rata menghabiskan Rp1,3 juta per tahun untuk aktivitas fandom. Hal itu termasuk mengakses konten idolanya, menonton konser, membeli merchandise, dan berlangganan aplikasi. Survei tersebut menyasar 1.609 orang penyuka hiburan asal Korea Selatan.
Data Korea Customs Service yang dilansir The Korea Times pun mendukung temuan yang ada. Menurut data tersebut, Indonesia masuk jadi salah satu destinasi eskpor utama penjualan album K-Pop. Data itu pun mengungkap nilai ekspor album K-Pop secara keseluruhan yang tak surut. Selama Januari – November 2022, nilai ekspornya menyentuh 215,7 juta dolar AS, naik 5,6 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Fenomena lain terkait antusiasme fans dalam membeli produk-produk yang berkaitan dengan K-Pop juga dapat dilihat saat peluncuran kolaborasi menu McDonald’s dengan BTS—BTS Meal, tahun lalu. Dilaporkan Kompas, tingginya antusiasme ARMY, sebutan untuk fans BTS, untuk memperoleh BTS Meal, bikin banyak gerai McD kebanjiran pesanan sehingga mengakibatkan antrian ojol mengular di banyak gerai McD.
Lantas, bagaimana potret umum pola spending K-Poppers dalam membeli produk dan barang-barang yang terkait dengan artis idolanya?
Untuk menjawab pertanyaan itu Tim Riset Tirto berkolarobasi dengan Jakpat sebagai penyedia layanan survei daring untuk mengadakan penelitian tentang aktivisme penggemar K-Pop termasuk pengeluaran mereka terkait produk-produk yang berhubungan dengan fandom. Jakpat sendiri telah memiliki lebih dari 1,1 juta responden yang tersebar di seluruh Indonesia.
Metodologi Riset
Survei dilangsungkan pada tanggal 19 Desember hingga 20 Desember 2022 dan melibatkan 1.500 responden.
Wilayah riset: Indonesia yang tersebar di 34 provinsi
Instrumen penelitian: Kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non probability sampling responden Jakpat
Margin of error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Survei ini melibatkan responden yang berusia antara 15 – 39 tahun. Mayoritas responden berusia 20 - 25 tahun, proporsinya sebanyak 33,40 persen dari total responden. Sementara dari segi jenis kelamin, proporsi responden laki-laki dan perempuan cukup berimbang, meski jumlah responden perempuan sedikit lebih banyak yakni sebesar 53,60 persen.
Untuk pengeluaran bulanan, kebanyakan responden membelanjakan kurang dari Rp1.500.000 per bulan (31,93 persen). Kemudian di urutan kedua, dengan selisih persentase yang cukup tipis, adalah kelompok responden yang kisaran pengeluarannya Rp1.500.001 – Rp3.000.000 (29,33 persen).
Hampir setengah dari keseluruhan responden, yaitu sejumlah 43,27 persen, berasal dari kalangan pekerja, mulai dari pekerja di bidang kesehatan, pendidikan, manufaktur, retail, pemasaran, teknologi, seni, hingga media dan jurnalisme.
Menyusul setelahnya adalah kelompok mahasiswa (15 persen), pengusaha (10,20 persen), dan ibu rumah tangga (12,80 persen). Lalu sisanya merupakan kelompok yang tidak bekerja dan kelompok pelajar. Mereka mayoritas tinggal di pulau Jawa, dengan persentase menyentuh 77, 80 persen.
Lebih Tertarik Beli Produk Jika BA-nya K-Pop
Perlu diketahui mula-mula bahwa hanya responden yang menyukai K-Pop, baik yang terafiliasi maupun tidak terafiliasi dengan fandom tertentu, yang mengisi bagian pertanyaan terkait pola pengeluaran K-Poppers ini. Jumlahnya sebanyak 1.107 dari total 1.500 responden, atau sebesar 73,80 persen.
Ketika mereka ditanya mengenai ketertarikan terhadap suatu produk atau perusahaan dengan brand ambassador (BA) idol atau grup K-Pop favorit, kebanyakan menyatakan lebih tertarik untuk membeli produk tersebut (55,10 persen). Lainnya menjawab tingkat ketertarikan sama saja seperti jika produk yang sama tak memakai BA K-Pop (38,30 persen). Lalu sisanya, yakni 6,50 persen menyatakan tidak tertarik.
Jadi bisa disimpulkan bahwa strategi pemasaran produk dengan memakai BA artis K-Pop barangkali memang efektif untuk menarik target pasar penggemar K-Pop. Strategi ini memang dipakai oleh beberapa perusahaan, mulai dari perusahaan produk kecantikan MS Glow yang menggaet Cha Eun Woo dari grup band K-Pop Astro, perusahaan produk skincare Scarlett yang menggandeng grup K-Pop TWICE, merk pasta gigi Click yang bekerjasama dengan NCT 127, dan sebagainya. Bahkan, perusahaan teknologi juga tak ketinggalan, dari NCT 127 yang juga digandeng Blibli sampai BTS dan BLACKPINK yang sempat digandeng Tokopedia.
Adapun jenis barang yang pernah dibeli responden karena alasan BA idol K-Pop paling banyak ada di kategori makanan atau minuman, persentasenya mencapai 46,70 persen. Dengan persentase di bawah 40 persen, kategori produk yang populer dibeli berikutnya adalah pakaian, kosmetik, sepatu, tas, dan sabun atau shampoo. Selain itu ada juga gadget, barang elektronik, dan pasta gigi.
Di samping menyatakan lebih tertarik pada produk-produk yang menggunakan BA idol atau grup K-Pop, lebih dari setengah total responden atau sejumlah 51,58 persen juga menyatakan pernah membeli barang atau aksesoris yang dikenakan idol atau grup K-Pop. Rinciannya yaitu 34,33 persen pernah membelinya sekali dan 17,25 persen frekuensi pembeliannya lebih dari sekali.
Para K-Poppers pun umumnya punya koleksi merchandise, berturut-turut dari yang paling banyak dimiliki adalah stiker, poster, photo book/photo card, album, botol minum, dan action figure yang terkait dengan idolanya. Kendati begitu, pengeluaran K-Poppers untuk mendukung dan menikmati konten K-Pop dalam setahun terakhir tak terlalu banyak, mayoritas sekira menghabiskan kurang dari Rp1 juta (46,61 persen). Bahkan ada juga yang tidak mengeluarkan biaya sepeserpun, jumlahnya 22,67 persen.
Di samping kedua kelompok itu, ada pula K-Poppers yang mengeluarkan uang cukup besar yakni di kisaran Rp1.000.001 – Rp3 juta. Persentasenya 17,89 persen, sekaligus menduduki kelompok terbesar ketiga dalam hal pengeluaran untuk mendukung dan menikmati konten K-Pop selama setahun.
Fenomena pembelian produk-produk berkaitan dengan K-Pop termasuk merchandise ini digambarkan dalam studi Perbawani dan Nuralin (2021) sebagai aktivitas lumrah yang dilakukan penggemar sebagai salah satu karakteristik fanatisme.
Mengeluarkan uang untuk membeli benda-benda terkait sang idola bisa dikatakan sebagai salah satu wujud aktualisasi diri sebagai seorang fans. Dengan membeli, responden kemudian akan memiliki benda terkait idola sehingga mereka akan merasa menjadi bagian dari suatu fandom. Studi itu juga menunjukkan adanya hubungan signifikan antara hubungan parasosial dengan loyalitas fans.
Hubungan parasosial sendiri merupakan koneksi yang dirasakan fans terhadap idola, yang memungkinkan mereka mengidentifikasikan dirinya dengan para selebriti baik melalui sikap atau perilaku.
K-Poppers Juga Jadi Korban Penipuan
Di tengah besarnya animo pembelian produk-produk yang berhubungan dengan K-Pop, para penggemar grup musik ini pun mengaku pernah mengunjungi Korea Selatan dengan tujuan yang berhubungan dengan idol atau grup K-Pop kesukaannya. Persentase yang pernah berkunjung sekali berjumlah 11,65 persen, sementara 4,88 persen mengunjungi negeri ginseng itu lebih dari sekali.
Sayang, para K-Poppers rupanya tak lepas dari kasus-kasus kejahatan seperti penipuan. Dari 1.107 responden, sekitar 16,27 persen pernah mengalami penipuan berkaitan dengan K-Pop sebanyak satu kali atau lebih.
Pengalaman penipuan dalam pembelian produk K-Pop pernah disinggung pula dalam laporanTirto Agustus lalu. Salah seorang narasumber Gen Z menceritakan pengalamannya ditipu akun Twitter penjual album K-Pop yang menawarkan harga murah.
Namun beberapa waktu setelah ia masuk ke grup WhatsApp, sang penjual tak kunjung menyampaikan update terkait proses pengiriman album. Ia mengaku kehilangan uang lebih dari Rp1 juta dan hanya menerima 10 persen dari total kerugian setelah memproses kasus penipuan tersebut melalui jalur hukum.
Pengalaman penipuan dengan pola serupa juga santer diberitakan beberapa media, satu di antaranya laporan Kumparan pada akhir tahun 2021. Dari artikel tersebut diketahui bahwa seorang remaja berusia 16 tahun diduga melakukan penipuan album K-Pop dengan total kerugian menyentuh Rp43 juta.
Kurniawaty (2022) dalam studi yang dipublikasikan Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) menjelaskan bagaimana viktimisasi korban dalam kasus seperti ini terjadi.
Menurut artikel jurnal tersebut, viktimisasi terhadap korban penipuan dengan modus penjualan album K-Pop di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kondisi seperti motivasi penjual album untuk melakukan tindakan kriminal, adanya target konsumen yang rentan dan layak sebagai korban, serta kurangnya perlindungan terhadap korban.
Lemahnya perlindungan korban dalam hal ini disebabkan oleh komunikasi dan transaksi lewat media sosial yang hanya berlangsung antara pelaku dan korban tanpa melibatkan orang lain.
Editor: Farida Susanty