tirto.id - Acila, bukan nama sebenernya, 23 tahun, bercerita pernah mengalami penipuan daring (online) dalam bentuk transaksi album band asal Korea medio 2021 lalu. Ia ditipu usai memutuskan membeli produk itu dari seorang penjual di Twitter, yang menawarkan harga lebih murah ketimbang penjual dari akun Twitter lainnya.
Padahal, cara pembelian melalui media sosial Twitter ini, menurut Acila, adalah salah satu cara paling mudah.
“Dan juga kalau dicek akunnya nggak 0 follower, nggak yang dibikin kemarin, berarti seharusnya bisa dipercaya, terus aku beli lah di dia, terus setelah itu masuk ke grup [WhatsApp] nya. Harusnya itu ada sistem DP atau full bayar di depan gitu kan,” ungkap Acila kepada Tirto, Senin (22/08/2022).
Namun, sambung Acila, setelah masuk ke grup WhatsApp, sang penjual sama sekali tak memberikan update terkait pengiriman album, seperti kapan album tersebut dikirimkan dari Korea, atau apakah album sudah sampai di Indonesia.
“Karena nggak di-update-update, mulailah kita pembeli yang ada di grup itu semua mulai heboh, mulai nanyain ke penjualnya. Dan penjualnya ini, yang awalnya pas jualan kan, ya namanya penipu ya, pas jualan tuh masih yang selalu dibales, tanya apa dibales. Tapi begitu udah lama-lama, dia makin lama nggak bales,” kata Acila.
Acila juga bilang bahwa kasus yang dialaminya belum juga tuntas bahkan setelah melibatkan proses hukum. Hingga saat ini, uang yang diterima Acila cuma 10 persen dari total kerugian yang mencapai lebih dari satu juta. Pengalaman Acila ini, tragisnya, hanyalah satu dari ribuan penipuan digital yang terjadi di Indonesia.
Selama periode Juni 2022 saja, portal aduan Cekrekening.id yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat 5.576 laporan penipuan transaksi online yang diterima. Jenis penipuan itu sekaligus jadi kasus terbanyak yang dilaporkan, lalu di urutan selanjutnya ada penipuan jual beli online (770 kejadian) dan penipuan pinjaman online (281 kejadian).
Pesan Berkedok Hadiah Paling Banyak
Sebuah studi berjudul “Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi” yang dilaksanakan oleh Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama beberapa pihak termasuk WhatsApp, Center for Digital Society (CfDS), dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), menunjukkan bahwa 98,3 persen dari 1.700 orang responden pernah menerima pesan penipuan digital. Adapun responden tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Isi dari pesan penipuan digital itu, menurut laporan ini, didominasi oleh penipuan berkedok hadiah dan pinjaman ilegal.
Studi yang merupakan hasil survei daring dan Focus Group Discussion (FGD) ini juga mengungkap, sebanyak 1.132 orang, yakni 66,6 persen dari total responden yang disurvei telah menjadi korban penipuan digital.
Studi ini juga mengungkap pola mengenai kelompok usia yang paling sering menjadi korban penipuan. Di penipuan berkedok hadiah dan krisis keluarga, kategori Baby Boomer (kelahiran 1946-1964) mendominasi, sementara Generasi Z/Gen Z (kelahiran 1997-2012) mendominasi korban penipuan pengiriman tautan berisi virus, lowongan kerja palsu, dan situs web/aplikasi palsu.
Perlu diketahui bahwa istilah penipuan digital ini merujuk pada penipuan yang tak hanya terjadi melalui internet atau secara daring, melainkan juga melalui perangkat seluler yang tak terhubung dengan jaringan internet.
Ini selaras dengan temuan studi tersebut mengenai medium yang paling banyak dipakai pelaku penipuan, yakni melalui jaringan seluler seperti SMS dan telepon. Sedangkan, korban terbanyak berasal dari modus penipuan berkedok hadiah, dilanjutkan dengan pengiriman tautan berisi virus, dan penipuan jual beli.
Memang, berdasarkan data Truecaller pada 2021, Indonesia menempati urutan keenam negara yang paling banyak menerima panggilan spam, dan termasuk dalam 20 besar negara dengan paparan SMS spam terbanyak. Secara umum, warga Indonesia kira-kira menerima 14 panggilan spam per pengguna per bulan, pada tahun tersebut.Begitu pula pada 2020, Indonesia juga menduduki peringkat ke-6 secara global dengan rata-rata panggilan spam per pengguna setiap bulan berjumlah 18,3 panggilan.
Menariknya lagi, menurut laporan Truecaller, setengah dari telepon yang masuk ke pengguna Trucaller di Indonesia adalah dari nomor-nomor yang tidak disimpan di buku telepon mereka dan Truecaller juga menyorot kasus-kasus kebocoran data pribadi warga negara Indonesia.
Truecaller sendiri merupakan perusahaan Swedia yang menawarkan aplikasi untuk mengidentifikasi nomor tak dikenal.
Laporan Truecaller mengindikasikan bahwa komunikasi spam lebih dari sekadar ketidaknyamanan yang menggangu, yang bisa pula mengarah pada tindakan kriminal atau penipuan. Walaupun kebanyakan telepon spam adalah layanan finansial dan sales, tapi ada 1 persen pula yang merupakan scam atau penipuan.
Mengutip laporan itu pula, penipu di Indonesia disebut memiliki cara yang "ilmiah" sebab seringkali menggali latar belakang lengkap dan riwayat keuangan target sasaran mereka.
Tak Berdaya?
Pada studi UGM, lebih dari separuh responden (50,8 persen) yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian. Alasannya, mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari “cobaan” atau “perjalanan hidup.”
Tindakan terbanyak yang mereka lakukan dalam merespons penipuan adalah menceritakan kepada keluarga atau teman (48,3 persen), tidak melakukan apa-apa (37,9 persen), dan menceritakan kepada warganet (5,3 persen). Selain itu, sebanyak 5 persen memilih melaporkan kepada media sosial atau platform digital lainnya, dan 1,8 persen sisanya melaporkan kepada kepolisian.
Melaporkan kepada kepolisian menjadi opsi paling sedikit yang dipilih oleh korban penipuan lantaran adanya anggapan bahwa laporan yang diproses hanyalah korban penipuan dengan kerugian ratusan juta rupiah ke atas, menurut studi tersebut. Korban juga merasa, kepolisian hanya akan memproses laporan apabila dilaporkan oleh orang terkenal atau figur publik.
Serupa, Tirto pernah menuliskan kisah korban penipuan yang minim mendapat tindak lanjut saat melaporkan kasusnya ke kepolisian.
Hal ini juga senada dengan laporan penipuan ke kanal aduan Polri, patrolisiber.id, yang mengalami penurunan sekitar 9 persen dari 2018 ke 2019, dari 1.781 pada 2018 menjadi 1.617 pada 2019, seperti dikutip dari Katadata.
Yang menarik, dari dua set data Katadata dari Polri, bisa dilihat bahwa ada kenaikan drastis kasus penipuan daring dari Januari - September 2020 yang berjumlah 649 kasus, menjadi 4.601 kasus pada Januari – September 2021. Sayangnya, situs patrolisiber.id kini tidak lagi bisa diakses.
Absennya Perlindungan Data
Rofi Uddarojat sebagai Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah di Indonesian E-Commerce Association (idEA) menilai, terjadinya kasus penipuan digital salah satunya berkaitan dengan perlindungan data.
“Karena bagaimanapun juga, ibu tadi ya, korban misalnya, itu kan diperdaya awalnya adalah karena nomor telfonnya sudah diketahui. Kemudian mungkin mereka sudah di-profiling, ibu ini di bank apa dan sebagainya, itu karena tidak ada perlindungan data,” ungkapnya menanggapi laporan CfDS saat acara peluncuran laporan tersebut, Rabu (24/8/2022).
Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang berisi tentang mekanisme pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi oleh pengendali data publik maupun swasta juga belum kunjung disahkan sejak diinisiasi pada 2016.
Dilansir laman DPR RI, RUU PDP ditargetkan akan disahkan pada masa persidangan DPR bulan Agustus 2022. Namun demikian, kabar terbaru mengenai RUU PDP yang dinukil dari Kompas.com menyatakan target pengesahanRUU ini mundur menjadi September mendatang.
Mengenai alasan berlangsungnya penipuan, Rofi juga mengungkap bahwa penipuan dalam transaksi jual beli online bisa terjadi sebab adanya relasi kuasa yang tidak berimbang dari sisi konsumen dan pedagang. Ia menjelaskan, relasi tidak berimbang terjadi ketika penjual terlebih dahulu menerima uang dari pembeli sehingga memiliki kuasa untuk menutup akses atau tidak mengirimkan barang pesanan.
Oleh karenanya, kata Rofi, beberapa platform telah memfasilitasi adanya rekening bersama, di mana uang itu akan dikirimkan dan ditahan oleh platform. Kemudian, ketika barang sudah diterima pembeli dan tidak ada komplain, maka uang akan diteruskan kepada penjual.
Langkah Pencegahan?
Studi CfDS mencatat beberapa poin untuk mencegah dan menangani kasus penipuan digital, termasuk perlunya penertiban nomor seluler, berkaca dari banyaknya toko di lokapasar yang menjual nomor seluler teregistrasi. Dengan begitu pembeli bisa langsung memakainya tanpa melakukan registrasi sesuai aturan Kemkominfo, di mana hal ini menjadi jalan mulus bagi penipu untuk melancarkan aksinya melalui banyak nomor seluler.
Direktur Telekomunikasi, Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemkominfo Aju Widyasari menanggapi, pihaknya tengah melakukan pengawasan terkait hal tersebut.
“Karena di sisi retail, mata rantai pendistribusian sim card itu lepas setelah dari operator. Operator sudah lepas jual putus, distributornya, sehingga untuk menghindari hangusnya masa laku sim card, ada hal-hal yang dilakukan, entah mengambil data NIK [Nomor Induk Kependudukan] dari mana, semuanya sudah teregistrasi, nah ini memang pengawasan dari kami yang nggak berhenti terus,” ungkap Aju, dalam webinar peluncuran laporan CfDS Rabu (24/8/2022).
Selanjutnya, laporan CfDS juga menyoroti kepastian hukum dalam tindak lanjut laporan penipuan digital. Kanal patrolisiber.id yang menerima aduan dari banyak jenis kejahatan di ranah siber dinilai kewalahan untuk bisa menangani laporan penipuan digital sesuai harapan masyarakat.
Laporan itu mencontohkan negara Malaysia yang membagi tugas penanganan sesuai jenis penipuan, yaitu Bank Negara Malaysia sebagai regulator yang juga menyelidiki penipuan finansial dan Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) yang menindaklanjuti kasus seperti penipuan melalui jaringan seluler, phishing, dan terkait pencurian data pribadi. Sementara penipuan yang melibatkan hak konsumen seperti penipuan jual-beli di media sosial menjadi ranah Ministry of Domestic Trade and Consumer Affairs.
Terakhir, laporan CfDS pun menekankan pentingnya UU PDP dan Undang-Undang Ketahanan Siber (UU KKS). Keduanya bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan rasa aman bagi warga.
Editor: Farida Susanty