tirto.id - Untuk ke-42 kalinya secara berturut-turut, pada Rabu (13/7) Parlemen Lebanon gagal untuk memilih presiden baru akibat kurangnya kuorum yang ditentukan oleh undang-undang dasar. Ketua Parlemen Nabih Berri kemudian menyerukan sidang baru pada 8 Agustus.
Sebagai pandangan, Lebanon tak memiliki presiden sejak masa jabatan Presiden Michel Suleiman berakhir pada 25 Mei 2014, dan perpecahan politik menghalangi pemilihan presiden petahana.
Hanya 37 anggota parlemen yang datang ke gedung parlemen untuk mengikuti sidang itu, sementara dua pertiga dari 128 kursi di parlemen merupakan kuorum yang diperlukan.
"Keputusan politik yang menghalangi pemilihan seorang presiden masih ada dan sejarah akan menimpakan kesalahan pada mereka yang menghalangi pemungutan suara ini," kata anggota parlemen independen Boutros Harb kepada wartawan setelah sidang tanpa hasil tersebut, sebagaimana dikutip Xinhua.
Menurut Pakta Nasional, Presiden Lebanon harus beragama Kristen Maronit sedang ketua parlemen adalah penganut Syiah dan perdana menteri seorang Muslim Sunni.
Undang-undang dasar menetapkan jika tak ada presiden, kabinet bertugas memerintah negeri tersebut sampai seorang presiden terpilih.
Hizbullah, blok Perubahan dan Pembaruan Michel Aoun dan sebagian sekutu mereka telah memboikot sidang pemilihan presiden tersebut, dan menuntut kesepakatan lebih dulu mengenai seorang presiden.
Pemimpin Gerakan Al-Mustaqbal mantan anggota parlemen Saad Al-Hariri --yang dekat dengan Arab Saudi-- melancarkan satu gagasan pada penghujung 2015 untuk mencalonkan Ketua Gerakan Marada, anggota parlemen Suleiman Franjieh, untuk menjadi presiden.
Tapi usulnya mendapat penentangan dari partai Kristen utama di negeri tersebut serta Hizbullah.
Penulis: Rima Suliastini
Editor: Rima Suliastini