Menuju konten utama

LBH: UU Memperbolehkan Demonstrasi Sampai Malam

UU Nomor 9 Tahun 1998 tidak mengatur tentang batas waktu seseorang atau kelompok melakukan demonstrasi.

LBH: UU Memperbolehkan Demonstrasi Sampai Malam
Mahasiswa berorasi di depan Istana Negara mengkritik tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Jumat (20/10/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Penangkapan sejumlah mahasiswa dalam demonstrasi bertema evaluasi tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Jumat (20/10) malam, menimbulkan sejumlah tanya. Salah satunya adalah apakah sebetulnya boleh, menurut peraturan yang ada, demonstrasi hingga malam hari.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, mengatakan bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur tentang batas waktu seseorang atau kelompok melakukan demonstrasi. Dengan kata lain, dibolehkan demo malam hari.

Dalam bagian Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 9/1998, disebutkan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum dimungkinkan digelar pada malam hari asalkan ada "koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab". Masalahnya, aturan Polri justru membatasi waktu penyelenggaraan aksi sama sekali.

Baca juga: Demo Mahasiswa 3 Tahun Jokowi: Tersangka Tidak Sepatutnya Ditahan

Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 pasal 6 ayat (2) menyebut bahwa polisi membatasi penyampaian pendapat di tempat terbuka antara pukul enam pagi hingga enam sore, sementara untuk tempat tertutup dibatasi antara pukul enam pagi hingga sepuluh malam. Dengan kata lain, Perkap ini bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya, dalam hal ini UU 9/1998.

"Ini pangkal permasalahannya, kebijakan kepolisian yang menurut saya bertentangan dengan UU 9/1998," kata Alghif saat ditemui Tirto di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/10/2017).

Alghif mengatakan bahwa polisi tidak punya wewenang untuk membatasi seseorang mengungkapkan ekspresi di muka publik. Mereka tidak bisa menggunakan Perkap 9/2008 sebagai acuan untuk membubarkan massa karena aturan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada masyarakat.

Alghif menambahkan, selain UU 9/1998, kebebasan berpendapat diatur dalam banyak regulasi lain. Semisal Pasal 23 UU 3/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 19 Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik, bahkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28e ayat (3).

Baca juga: Yang terjadi di Demo BEM SI Hingga Penahanan Belasan Mahasiswa

Penangkapan demonstran dinilai sebagai bukti bahwa polisi tidak belajar dari pengalaman sekaligus tidak tahu aturan. Alghif memberikan contoh kasus ketika LBH Jakarta mendampingi buruh berdemonstrasi hingga malam tahun 2015. Ketika itu, dua pengacara publik LBH dan 24 aktivis ditangkap karena menolak bubar hingga jam tujuh malam.

Polisi menyangkakan mereka dengan Pasal 216 dan 218 KUHP. Namun, setelah disidang, mereka dinyatakan bebas pada tahun 2016.

"Ini (penangkapan ketika demonstrasi) harus dipahami kepolisian. Mereka harus mengevaluasi diri. Jangan lagi ada kriminalisasi terhadap mereka yang menyatakan pendapat di muka umum," kata Alghif.

Selain permasalahan waktu, Alghif juga menyoroti inkonsistensi penanganan aksi yang dilakukan polisi beberapa waktu terakhir. Ia melihat polisi inkonsisten dalam hal Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Polisi pernah mempersilakan massa yang tidak memiliki STTP berdemonstrasi, bahkan membiarkan mereka bersikap agresif. Padahal normalnya, STTP harus dikantungi terlebih dulu sebelum demo berlangsung.

Contoh konkretnya adalah gerombolan orang yang menyerang LBH Jakarta, 17-18 September lalu. Saat itu, massa berorasi bahkan hingga dini hari tanpa STTP. Gerombolan orang ini bahkan sampai berupaya menerobos masuk, dan polisi justru berusaha mengakomodir keinginan mereka. Jika polisi tegas dengan aturan yang ada, LBH Jakarta tidak mungkin dirusak.

"Di situ kami melihat bahwa polisi tidak profesional," kata Alghif.

Baca juga: Lilin Solidaritas untuk Ahok

Alghif juga mengatakan bahwa polisi pilih kasih dalam menangani unjuk rasa. Polisi pernah membiarkan aksi massa diselenggarakan di malam hari pada Mei lalu, serta sejumlah aksi serupa.

"Ketika aksinya oppose to government atau mengkritik kebijakan pemerintah, polisi berusaha ketat dengan administrasi, tapi ketika itu aksi propemerintah tidak dibubarkan," kata Alghif.

Karena inkonsistensi ini, menurut Alghif, polisi harus diawasi betul. Ia berpendapat, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus bisa mengawasi kinerja Polri dalam menangani unjuk rasa. Selain itu, Komnas HAM juga harus bisa bersuara dan mengkritisi kinerja Polri berdasarkan sejumlah temuan di atas.

"Polisi harus betul-betul dievaluasi kinerjanya terkait dengan menangani penyampaian pendapat di muka umum," kata Alghif.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti