tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Papua menyorot persidangan pidana pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika dengan terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi.
Proses hukum terhadap para pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga Nduga dilakukan secara terpisah antara pelaku masyarakat sipil dan pelaku anggota TNI.
"Padahal secara jelas dan tegas bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum," kata Direktur LBH Papua Emanuel Gobay, kepada Tirto, Sabtu, 21 Januari 2023.
Kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan Menteri Hukum dan HAM, perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, sebagaimana diatur Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 juncto Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan militer, kerugian ada pada kepentingan umum, maka kasus diadili oleh pengadilan umum. Pada kasus mutilasi empat warga ini tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan militer, malah membuktikan kerugian keluarga korban dari masyarakat sipil.
"Ini secara langsung mempertanyakan komitmen Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dalam menjalankan penanganan perkara koneksitas dan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas," terang Emanuel.
Oditur Militer menuntut Helmanto pakai Pasal 480 KUHP (penadahan) dengan hukuman 4 tahun penjara dan tuntutan tambahan dicopot dari kesatuan, sembari mengabaikan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman tertinggi adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.
"Sepertinya praktik peradilan ini memang telah diatur sedemikian rupa sebelum proses pemeriksaan di peradilan militer dimulai. Sebab berdasarkan fakta hukum persidangan, semua unsur-unsur pidana dalam rumusan Pasal 340 KUHP telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan, namun oditur malah menuntut dengan Pasal 480 KUHP," ucap Emanuel.
Dalam perkara ini ada 10 tersangka, enam di antaranya ialah tentara. Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah.
Terhadap para terdakwa militer yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua; lalu Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur.
Kasus ini bermula ketika Arnold Lokbere, Anis Tini, Irian Narigi, dan Lemaniol Nirigi tewas dianiaya dan dimutilasi oleh enam personel Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo, 22 Agustus 2022. Berdasar versi aparat, Arnold dkk dipancing oleh pelaku untuk membeli senjata jenis AK-47 dan FN seharga Rp250 juta.
Setelah korban dipastikan bersedia untuk transaksi senjata, para pelaku mengatur strategi dengan memancing korban untuk datang ke lahan kosong di SP I. Di situlah keributan terjadi, sehingga korban diduga dianiaya di lahan sekitar musala sebelum dimutilasi.
Potongan tubuh dimasukkan ke dalam enam karung yang terbagi dari satu karung berisi kepala korban, satu karung berisi kaki, dan empat karung berisi badan. Karung-karung itu diisi pula oleh batu. Lantas karung itu dilempar ke Sungai Pigapu.
Sementara, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menyatakan para korban bukanlah bagian dari prajurit pro kemerdekaan Papua.
“Saya cek ke seluruh pimpinan dan anggota wilayah batalion-batalion, kompi-kompi hingga regu dan peleton, serta semua anggota intelijen, telah saya pastikan bahwa mereka semua ada dan sehat. Tidak ada pasukan saya yang korban,” kata Sebby menirukan Brigjen Egianus Kogeya, Panglima KODAP III Ndugama, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 September 2022.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky