Menuju konten utama

LBH Sebut Minimnya Wawasan HAM Buat Polisi Sewenang-wenang

LBH menemukan, kurikulum di Akademi Kepolisian hanya mengajarkan Hak Asasi Manusia sebanyak 2 SKS.

LBH Sebut Minimnya Wawasan HAM Buat Polisi Sewenang-wenang
Aparat kepolisian datang membubarkan paksa melakukan tindak kekerasan dan penangkapan terhadap petani yang menduduki lahannya yang dikuasai oleh PT. BNIL. FOTO/Agra Indonesia

tirto.id - Pengacara Publik LBH Jakarta Ayu Eza menganggap aksi sewenang-wenang personel kepolisian seperti penembakan dan penyiksaan kepada tersangka/terdakwa kasus pidana dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan mereka terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

"Kami sudah mengajukan permohonan informasi publik bagaimana sih kurikulum Kepolisian. Dari kurikulum itu yang kami dapat ternyata polisi hanya dapat belajar Hak Asasi Manusia dengan 2 SKS saja," ungkap Ayu di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2017).

Selain itu, kondisi tersebut juga diperparah dengan tidak adanya sanksi kepada pelaku serta lemahnya pengawasan terhadap prosedur penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Sehingga, proses penegakan hukum tidak disandarkan pada integritas, performa, dan kemampuan intelektual yang baik.

"Sebenernya dalam advokasi kasus, LBH sudah melakukan berbagai cara termasuk melaporkan polisi [yang] melakukan tindak pidana dengan kekerasan atau penganiayaan. Seringkali setiap kita melapor kepada kepolisian, laporan kita ditolak. Ini etik. Setelah dilarikan ke etik ternyata hanya dikenakan sanksi administratif," kata Ayu menerangkan.

Selain tembak mati, seringkali polisi juga melakukan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan dari tersangka agar dapat ditetapkan sebagai terdakwa. Padahal, kata dia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang diperoleh dari tersangka dengan cara memaksa dianggap tidak sah.

Menurutnya, hal tersebut dilakukan karena kurangnya personel serta kemampuan dalam mengidentifikasi pelaku kejahatan. Karenanya, untuk mempercepat proses penyelidikan, polisi memaksa saksi untuk mengaku sebagai pelaku dengan cara disiksa.

"Polisi ini kemampuan sumber dayanya masih rendah. Jadi mereka belum punya kemampuan yang bagus untuk mencari bukti lainnya. Padahal tersangka itu belum tentu pelaku sebenarnya. Dan yang dimaksud alat bukti dalam KUHAP adalah alat bukti tersangka bukan alat bukti terdakwa. Itu kan si polisinya hanya ingin cepat saja ya selesai,” paparnya.

Ia juga mengatakan, seringkali korban tidak direhabilitasi namanya meskipun telah terbukti tidak bersalah. Misalnya, dicontohkan Ayu, Andrew salah satu pengamen yang mendapat penyiksaan karena dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap Dicky Maulana dalam kasus pencurian motor di Cipulir, Jakarta Selatan.

Namun polisisi tetap bersikukuh menetapkan Andrew sebagai pelaku dan tidak memproses pelaku pembunuhan sebenarnya.

"Pengamen di Cipulir. Itu kasus pembunuhan, si pembunuhnya sudah mengaku loh. Tapi sampai saat ini pelakunya belum diproses. Ini berarti kan polisinya gengsi. Harusnya kalau salah, pelaku utamanya diproses," ujarnya.

Sepanjang 2013-2016, LBH mendapat aduan 37 kasus penyiksaan oleh pihak kepolisian. Dari semua kasus tersebut, hanya ada satu kasus yang mendapatkan pendampingan dari pengacara. Dari 37 kasus yang diterima LBH Jakarta itu tidak ada yang direhabilitasi nama baiknya.

"Dari 37 kasus yang diterima LBH Jakarta itu tidak ada yang direhabilitasi nama baiknya," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait HAK ASASI MANUSIA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yuliana Ratnasari