Menuju konten utama

LBH Jakarta: Pemblokiran Fintech Ilegal Tak Efektif Cegah Penipuan

Perusahaan jasa keuangan digital yang diblokir bersalin nama, sehingga tetap bisa beroperasi.

LBH Jakarta: Pemblokiran Fintech Ilegal Tak Efektif Cegah Penipuan
Beberapa catatan ditempel pada kaca laboratorium fintech UBS di Canary Wharf, London, Inggris (19/10/2016). REUTERS/Hannah McKay

tirto.id - Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, menyebut pemblokiran fintech (jasa keuangan digital) Peer To Peer (P2P) Lending tak efektif mencegah penipuan konsumen, sehingga merugikan privasi debitur.

Nelson mengatakan, maraknya aduan konsumen soal fintech ilegal, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bereaksi.

Namun, langkah mereka memblokir 400 fintech ilegal pada Desember 2018 dinilai tak efektif menimbulkan efek jera, karena fintech yang diblokir bersalin nama.

"Misalnya kemarin yang ditangkap di Bareskrim. Vloan, vloannnya dia berubah jadi Supercash, artinya mati satu tumbuh seribu, dia keluar lagi nanti. Jadi kasusnya ini seperti menegakkan benang basah, langkahnya nggak cukup. Dia akan bertaransformasi baru dia operasional lagi buat bunga tinggi kalau nggak bisa bayar nanti diteror, dan itu terus terjadi," kata dia saat diskusi ‘Peran Negara Melindungi Pengguna Aplikasi Pinjaman Online’, di kantor LBH Jakarta, Senin (4/1/2019).

LBH Jakarta mencatat sepanjang 2018 ada sekitar 3.000 pengaduan masyarakat soal perusahaan fintech. Pengaduan dari masyarakat soal penagihan yang dilakukan desk collector (penagih hutan di balik meja) yang telat membayar utang setelah menerima dana bantuan dari pinjaman online dengan cara yang tidak etis.

Dari berbagai aduan yang diterima, kata dia, ada skema penagihan yang membahayakan privasi konsumen. Mulai dengan mempermalukan konsumen dengan menyebar informasi hutan ke rekan kerja sampai ada debitur yang diminta jual ginjal oleh desk collector.

"Bahkan ada yang desk collector yang nyuruh bayar dengan permintaan jual ginjal [kedebitur]. Ada 328 [keluhan] dari Mei-Oktober (2018). Kemudian ketika dibuka pos aduan bertambah menjadi 1.130 aduan. Kemudian ada yang datang juga ada yang whatsapp ke saya dan beberapa yang ngadu juga kira- kira ada 3.000 orang," ujar dia.

Ia menjelaskan, ada total 3.000 orang tersebut terdiri dari individu dan kelompok. Kebanyakan yang mengadu merupakan perempuan. "Kebanyakan korban adalah perempuan," kata dia.

Sementara itu dari data yang diterima LBH tercatat sebaran provinsi dengan korban pinjaman online terbanyak adalah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

Nelson mengatakan, lokasi pengadu berada di perkotaan. Dari total 88 fintech yang sudah terdaftar resmi di otoritas jasa keuangan (OJK), diduga masih ada yang melanggar etika penagihan.

Rinciannya, ada 28,08 persen fintech resmi melanggar, sisanya, 71,92 persen pelanggaran etika dilaksanakan dilakukan oleh fintech tak terdaftar OJK.

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali