tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan, meskipun Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memberikan pendampingan hukum kepada Surami, istri Siyono yang tewas setelah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88, bukan berarti langkah tersebut membela dan mendukung tindak pidana yang dilakukan Siyono.
"Kuasa hukum bukan membela tindak pidananya, tetapi hak-hak warga negara untuk memperoleh keadilan dan persamaan hak di hadapan hukum," kata pengacara publik LBH Jakarta, Arif Maulana, di Jakarta, Minggu (03/4/2016).
Arif mengatakan, kematian terduga teroris asal Klaten tersebut harus menjadi momentum untuk mengevaluasi kinerja Densus 88. Tidak hanya itu, penyebab kematian Siyono juga harus dibuka secara transparan, kemudian orang-orang yang terlibat harus diperiksa secara hukum pidana.
Menurut Arif, kejadian yang menimpa Siyono tidak boleh terulang lagi. "Kalau terus terulang, bukan tidak mungkin kita semua akan mengalaminya. Hanya karena dituduh teroris, lalu ditangkap tanpa ada surat penangkapan dan proses hukum, bahkan diusir dari rumahnya sendiri," ujarnya.
Arif juga menegaskan, LBH Jakarta mendukung langkah Densus 88 dalam memberantas terorisme, tetapi penanganan tersebut menurutnya, harus tetap dalam koridor hukum dan hak asasi manusia.
"Karena itu, LBH Jakarta akan mendukung Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mendampingi Suratmi, istri Siyono, untuk mencari keadilan. Apa yang dialami Siyono jangan sampai terulang dan ada 'siyono-siyono' lainnya," katanya pula.
Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejak Densus 88 dibentuk, Siyono merupakan orang ke 121 yang tewas sebagai terduga teroris tanpa menjalani proses hukum.
Sebelumnya, Densus 88 menangkap terduga teroris Siyono (34) di rumahnya di Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada Rabu (9/3/2016) dan dikabarkan meninggal pada Sabtu (12/3/2016). (ANT)