tirto.id - Saat Warner Bros mengumumkan bahwa Dunkirk akan dirilis pada 21 Juli 2017, muncul pertanyaan: mengapa film bencana perang tersebut dilempar ke publik di tengah-tengah peluncuran blockbuster seperti Transformer: The Last Knight dan War for the Planet of the Apes?
Baru dua hari sejak Dunkirk dimainkan di bioskop seluruh dunia, keraguan itu pelan-pelan memudar. Dunkirk meraup pendapatan sebesar $50,5 juta di pembukaan akhir minggu yang berasal dari 3.720 lokasi penayangan. Hampir seminggu sudah film yang dibintangi Tom Hardy itu menarik penonton bioskop di berbagai negara. Harapan studio untuk mengembalikan biaya produksi yang diperkirakan mencapai $100 juta pun makin terbuka.
Apa rahasianya? Nolan dan segenap kru sesungguhnya telah mengabarkan resepnya jauh-jauh hari: layar super lebar bernama Image Maximum alias IMAX.
IMAX adalah proyeksi film yang mampu menampilkan gambar dengan ukuran dan resolusi yang lebih besar dari proyeksi film konvensional. Standar layar IMAX bisa mencapai tinggi 16,1 meter dan lebar 22 meter atau lebih. Di Sydney Imax Theater, Australia, bahkan tersimpan layar IMAX terbesar di dunia dengan tinggi mencapai 29,7 meter dan lebar 35,7 meter.
Keistimewaan IMAX berawal dari film negatifnya yang memiliki ukuran 70 milimeter, dua kali lebih lebar dibanding film negatif konvensional yang berukuran 35 milimeter. IMAX menawarkan pengalaman menonton yang lebih spesial -- jadi, terima kasih kepada trio asal Kanada yang menciptakan dan mengomandoi IMAX Corporation di akhir 1960-an: Roman Kroitor, Robert Kerr, dan William C. Shaw.
Penggunaan kamera IMAX, yang dikenal berukuran jumbo dan berbobot lumayan berat, menjadi salah satu katalisator kesuksesan Nolan yang dengan penuh semangat menggarap Dunkirk. Bersama The Avenger: Infinity War yang dirilis tahun depan dan Sully yang dirilis tahun lalu, Dunkirk adalah tiga film teraktual yang merekam hampir seluruh adegan dengan kamera IMAX. Lebih tepatnya 70 persen memakai kamera IMAX 15 perforasi, dan sisanya 5 perforasi (65 milimeter).
- Baca juga:Dunkirk lewat Perspektif Nolan
“Kualitas gambar yang dihasilkan benar-benar tak ada duanya. Kami benar-benar mencoba dan menciptakan sensasi realitas maya bagi penonton tanpa mereka perlu memakai kacamata khusus,” kata Nolan dalam video bertajuk “Behind the Frame” yang diunggah IMAX sembilan hari sebelum Dunkirk dirilis.
- Baca juga: Dunkirk: Keok di Lapangan, Menang di Sinema
Strategi Nolan dan studio berbuah manis. Dari total keuntungan yang diraih pada minggu pertama pemutaran Dunkirk, 11,7 juta di antaranya berasal dari penayangan di layar IMAX. Kedua pihak memperkirakan hanya butuh dua minggu untuk balik modal dan mulai menghitung selisih keuntungan di minggu-minggu setelahnya. Dan sejauh ini, antusiasme penonton masih hangat-hangatnya jelang minggu kedua pemutaran.
Keputusan menggunakan kamera IMAX di hampir seluruh adegan dalam film Dunkirk didasarkan pada rekam jejak Nolan yang sukses dengan film-film hasil sorotan kamera IMAX-nya yang lain—meski hanya di beberapa adegan. Antara lain Trilogi The Dark Knight (2005, 2008, 2012), Inception (2010), dan Interstellar (2014). Ibarat menabung, Nolan memperoleh hasil akhirnya mulai dari Dunkirk, dan berlanjut di film-film lainnya kelak.
Studio film, IMAX, dan Nolan terlihat memiliki hubungan bersifat simbiosis mutualisme. Nolan adalah sineas ambisius yang cocok -- atau bahkan hanya mampu -- ditangkap layar raksasa IMAX. Studio babon seperti Warner Bros senang-senang saja membiayai film produksi Nolan, termasuk untuk menyewa kamera IMAX yang harganya terkenal sangat mahal. Mereka paham bahwa blockbuster bikinan Nolan pasti akan laris di pasaran.
- Baca juga:Laba Fantastis Sutradara Hollywood
Perjuangan Sang CEO Membesarkan IMAX
Kini hampir tak ada film blockbuster dan film franchise yang tak mendapat sentuhan kamera IMAX. Namun tak banyak orang yang mengetahui kisah IMAX yang dulunya pernah dicibir pengelola bioskop seantero Amerika Serikat sebelum akhirnya eksis di mancanegara. Terhitung 31 Maret 2017, menurut PRNEwswire, IMAX Corporation telah menancapkan 1.226 layarnya di 75 negara, termasuk tujuh buah di Indonesia (tiga di Jakarta, dua di Surabaya, satu di Tangerang, dan satu Bekasi).
Empat tahun silam, di bulan yang sama, CEO IMAX Corporation Richard Gelfond menerbitkan kisah perjalanan bisnisnya di Harvard Bussines Review. Sejak ditemukan di awal 1970-an, tuturnya, IMAX Corporation hanya membuat film dokumenter tentang alam dan ditayangkan di museum. Saat ia membelinya pada 1994 tujuannya adalah membawa IMAX ke industri film Hollywood.
Sayangnya, orang-orang belum tertarik. Masalah lebih pokoknya, kata Gelfond, adalah model bisnis yang belum kokoh untuk berkembang. Jarang ada bioskop yang mau menancapkan layar super besar IMAX sebab tak yakin akan menarik penonton. Situasinya muter-muter, sebab tiap bioskop berkata akan mau memasangkannya jika bioskop lain juga sudah memasangnya. Belum lagi biaya pemasangannya tinggi, mencapai $5 juta per bioskop.
Kabar baik muncul pada awal 2000-an saat ilmuwan komputer di kantor IMAX Toronto bisa mengubah film ke format IMAX. Langkah ini termasuk krusial dalam fase awal keberhasilan bisnis IMAX, kata Gelfond.
“Sebab alih-alih membujuk studio dan sutradara untuk membuat film dengan kamera IMAX, kami tinggal mengubah film pasca produksi mereka ke format IMAX. Biaya konversi film kami tanggung, dan sebagai imbalannya studio setuju untuk memberikan 12,5 persen keuntungan penayangan,” jelasnya.
Sejak 2006 IMAX Corporation mengadaptasi langkah serupa dalam strategi pemasangan layar raksasa mereka di bioskop dengan pembagian keuntungan 20 persen untuk mereka. Profit Gelfond dan kawan-kawan atas strategi ini mulai menanjak sebab penonton film klasik (seperti Titanic) yang dikemas dalam format IMAX di AS maupun Kanada makin besar.
IMAX juga makin berkembang sebab segera mengganti seluruh ranah kerjanya ke digital, sebab sejak pertengahan 2000-an Gelfond melihat perubahan itu akan melanda seluruh dunia. Dengan beralihnya industri sinema ke format digital, penayangan film format IMAX juga makin murah. Implikasinya konsumen semakin sering datang sebab menonton film di layar super raksasa dirasa tak semahal dahulu.
Kejayaan IMAX dalam menancapkan layarnya di mayoritas bioskop AS hingga berekspansi ke mancanegara dan menjadi tulang punggung industri blockbuster Hollywood dimulai pada 2009 ketika film Avatar yang dirilis dalam format IMAX meledak di pasaran global. Sejak 2010-an mereka memasang layar IMAX di 150-200 bioskop per tahun, baik di AS maupun negara-negara lain.
15 tahun silam IMAX menyeberang ke Cina, dan sambutannya luar biasa besar. Kini Cina menjadi salah satu negara dengan layar IMAX terbanyak di antara negara-negara lain. Permintaannya meledak hingga ke kota-kota baru yang bermunculan di seluruh dataran Negeri Tirai Bambu. Kata Gelfond kepada BBC, di Cina orang-orang beranggapan bahwa menonton di layar IMAX adalah suatu prestise tersendiri. Imej IMAX di sana lebih kuat dibanding di AS sendiri.
- Baca juga:Ambisi Cina Menguasai Hollywood
Gelfond menikmati hasil kerjanya sebagai imbalan dari pertemuannya dengan orang dari berbagai latar belakang motivasi. Mereka ini, kata dia, yang membuat IMAX kompetitif namun tetap dalam suasana win-win. Gelfond tentu ingin terus maju. Setelah sukses dengan Nolan, selanjutnya ia akan mencari sosok-sosok lain yang punya visi sejalan dengan penggunaan kamera dan layar raksasanya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS