tirto.id - Empat ratus ribu pasukan Inggris menunggu di garis pantai Dunkirk, Perancis. Saat itu, Juni 1940, sebulan setelah Jerman resmi menduduki Perancis, ratusan ribu pasukan Inggris sedang memanggul satu misi, hanya satu misi: tidak mati.
Pertempuran Dunkirk, demikian ia dikenal, merupakan konflik bersenjata antara pasukan Jerman dan Sekutu. Pasukan Inggris yang terdesak, bersama sebagian pasukan Perancis, menggelar operasi militer besar-besaran dari darat, laut, dan udara guna membawa pulang empat ratus ribu nyawa ke daratan Britania. Operasi dan evakuasi itu selesai pada 4 Juni 1940, tepat hari ini 79 tahun lalu.
Kejadian ini adalah tamparan keras bagi Inggris yang belum genap setahun memasuki kancah Perang Dunia II (1939-1945). Bagi masyarakat Perancis, peristiwa ini tampaknya mengawali olok-olok “cheese-eating surrender monkey” yang ditujukan kepada mereka oleh orang Inggris dan Amerika. Pasalnya, setelah Dunkirk, pemerintahan sementara diungsikan ke London. Perancis utara diduduki Jerman, sedangkan Perancis selatan dikuasai kaum fasis setempat yang dipimpin Marsekal Petain, pahlawan Perancis dalam Perang Dunia I.
Lalu dalam narasi populer Amerika, Paris diselamatkan oleh pasukan yang mendarat di Normandy. Narasi primer yang meremehkan peran penting milisi-milisi Résistance yang terdiri dari warga sipil segala kalangan.
Sebelum Christopher Nolan mengangkat Pertempuran Dunkirk ke layar perak pada 2017, sudah ada Dunkirk (1958), Weekend at Dunkirk (1964), Atonement (2007), dan Their Finest (2016). Film pertama mengisahkan pertempuran Dunkirk dari kacamata seorang sipil, film kedua tentang serdadu Perancis yang ikut dalam evakuasi pasukan Inggris, film ketiga adalah drama percintaan dengan latarbelakang pertempuran tersebut, dan terakhir adalah drama komedi yang menceritakan kejadian di Dunkirk dari kantor Kementerian Informasi Inggris.
Orang Inggris mengenang Dunkirk (atau "Dunkerque:, dalam lidah Perancis) layaknya orang Indonesia mengingat Agresi Militer II, atau serangan Jepang ke Pearl Harbour bagi orang Amerika. Dunkirk, peristiwa bersejarah yang abadi dalam memori kolektif rakyat Inggris, diperingati sebagai momen kekalahan tragis—"kegagalan militer kolosal", kata Perdana Menteri Churchill—maupun sebagai momen solidaritas dari rakyat kecil untuk para prajurit rekrutan.
Kepada majalah Time, Nolan menyatakan, “Di Britania Raya, kamu tumbuh bersama sejarah [Dunkirk]. Itu bagian dari DNA nasional, sudah menyatu dalam tulang-berulangmu sebagai orang Inggris.”
Musuh Tak Kasat Mata
Selama 106 menit, Dunkirk garapan Nolan menjelajahi ketakutan, kepanikan massal, kegamangan mengambil tindakan, kepengecutan, dan hasrat mempertahankan diri di kubu Sekutu.
Musuh digambarkan sebagai sosok yang nyaris tanpa tubuh manusia. Kehadiran kubu Jerman hanya diwakili melalui bom, pesawat tempur, atau kapal selam. Serangan bisa terjadi dari sudut manapun dan kapan pun. Kemungkinan itu ditunjukkan pada tiga menit pertama film ini melalui protagonis Tommy (diperankan oleh Fionn Whitehead) yang ditampilkan sebagai satu-satunya serdadu yang selamat dari terjangan peluru Jerman, meninggalkan lima kawannya yang tumbang dan berhasil masuk ke area evakuasi.
Strategi menyamarkan musuh untuk menambah ketegangan dapat ditemukan di 20 menit awal Saving Private Ryan (1998) yang menggambarkan pendaratan pasukan AS di Normandy. Tidak hanya itu, strategi serupa juga tampak di film-film horor Asia dua dekade terakhir ini. Representasi ancaman yang tak kasat mata ini menggiring fokus penonton ke situasi emosional yang dihadapi para karakter protagonis serta upaya mereka mengenyahkan—atau keluar dari—ancaman.
Strategi yang sama juga digunakan untuk melihat perang secara reflektif, untuk mengkritik perang sebagai absurditas sebagaimana ditunjukkan oleh Catch 22 (1970); sumber kegilaan kolektif yang menggerogoti psike para prajurit AS di Perang Vietnam dalam Apocalypse Now (1979); atau pemicu kebosanan di garis depan yang mendorong seorang prajurit Yugoslav berselingkuh dengan istri komandannya di Karaula (2006). Pesannya: musuh memang ancaman, namun para pejabat sipil dan militer juga tak kalah berengsek.
Namun Dunkirk mengubah ekspresi ketakutan para serdadu muda dan kegamangan para komandan seolah jadi kemenangan—atau lebih tepatnya, keberhasilan evakuasi yang dibantu oleh para nelayan dan pelaut sipil.
Tak hanya itu, Dunkirk memoles "kemenangan" tersebut sebagai "drama keluarga"—khas narasi kebangsaan di banyak tempat, termasuk dalam sinema Indonesia. Ratusan wajah yang kalut di Dunkirk adalah milik para pemuda usia duapuluhan, yang dibimbing masuk ke kapal-kapal evakuasi oleh "bapak" komandan angkatan laut kerajaan, seraya dilindungi dari langit oleh "abang", yakni para pilot yang menghantam pesawat-pesawat tempur Jerman.
Sementara rombongan nelayan dan pelaut sipil yang akhirnya menolong para pemuda ingusan itu tak ubahnya anggota keluarga besar yang membantu sanak-saudara kala kesusahan. Keberhasilan evakuasi tersebut merupakan keberhasilan Keluarga Britania, yang dikenang anak-cucu hingga kini, termasuk Christopher Nolan, sutradara Hollywood kelahiran London.
Perang Dunia II dalam Sinema
Di luar itu, Keluarga Britania adalah tetangga atau saudara jauh yang numpang “mondok”: pelaut Belanda yang mengabarkan posisi musuh, serta prajurit Perancis yang menyamar jadi serdadu Inggris supaya bisa mengungsi ke tanah seberang (yang nampaknya diadopsi Nolan dari karakter Jean Maillat di Weekend at Dunkirk, 1964). Pasca Perang Dunia II, pihak-pihak sekunder yang berasal dari wilayah Front Barat (tempat beroperasinya pasukan Sekutu) diposisikan sebagai Keluarga Besar Blok Barat, sebagai lawan dari pihak-pihak yang memerangi Nazi di Front Timur dan akhirnya bergabung dengan Blok Timur yang sosialis.
Karena lawannya adalah blok fasis, Perang Dunia II kerap dipandang sebagai intervensi militer Amerika terakhir yang dapat dibenarkan secara moral. Atas alasan yang sama, Perang Dunia II juga dikenang di Rusia sebagai “Perang Patriotik Agung”. Dua negara pemenang ini paling banyak memproduksi film tentang Perang Dunia II. Namun seiring runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990an, peran historis Soviet dalam Perang Dunia II terasing dari layar perak.
Belakangan, perspektif yang kritis datang dari wilayah jajahan Perancis di kawasan Afrika Utara. Film Indigènes (2006), misalnya, mengisahkan korps pribumi Arab yang bergabung dalam Pasukan Pembebasan Perancis. Film ini menunjukan peran heroik warga jajahan membela negeri penjajahnya, yang ditampilkan mempraktikkan kebijakan diskriminatif sebelum, selama, dan setelah perang. Kesuksesan Indigènes diikuti oleh Hors-la-loi, film gangster yang berlatarbelakang pembantaian warga Aljazair oleh pasukan Perancis pada 8 Mei 1945, hari di mana Nazi menyerah dan Paris dinyatakan bebas.
Perang Dunia II juga dikenang secara pahit dalam film-film Asia Timur. Ekspansi militer Jepang sejak 1930an di kawasan Pasifik diperingati oleh Tiongkok dalam Don’t Cry Nanking (1995) dan The Flowers Of War (2011) yang mengisahkan pembantaian dan pemerkosaan massal di kota Nanking yang dilakukan pasukan Jepang.
Sementara itu pada 2015, Choi Dong-hoon, sutradara Korea Selatan (salah satu negeri jajahan Jepang dari 1910 hingga 1945) memperingati 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II dengan merilis Assassination yang mengisahkan sekelompok pemuda Korea yang berusaha membunuh perwira militer Jepang. The Atlanticmelaporkan, selain karena peringatan 70 tahun tersebut, film-film dari Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang kian bercorak nasionalistik, berkat sengketa teritorial yang terus berlangsung.
Narasi ‘Keluarga Blok Asia Timur’—sebagaimana ‘Keluarga Blok Barat’—dalam film-film produksi Perang Dunia II nampaknya mustahil terwujud.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 Juli 2017 dengan judul "Dunkirk: Keok di Lapangan, Menang di Sinema". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS