tirto.id - Dengan sifatnya, sejarah selalu berpihak, menentukan siapa protagonis dan antagonis. Sejarah adalah satu set kebohongan yang telah disepakati. Pandangan ini tentu tak selamanya benar.
Tapi dalam kerangka industri film Hollywood, travesti ini ada benarnya, lebih-lebih pada sinema bertema Perang Dunia II. Film berlatarkan Perang Vietnam, Perang Dingin dan Perang Irak tak bisa menandingi kepopuleran film-film Perang Dunia 2.
Sebagai perbandingan, data Wikipedia mencatat film tentang Perang Dunia I tak lebih dari 130 film, sedangkan film Perang Dunia II datang ke lebih dari 1.300 film, dan angka ini akan terus bertambah. Lewat Hollywood, Amerika Serikat sukses memperdayai anak muda di seluruh dunia bahwa mereka lah pahlawan terheroik dan korban tersakiti selama masa perang.
Jika menilik angka, korban sipil AS hanya 12.100 atau 0,03 persen dari keseluruhan korban sipil di Perang Dunia II. Bandingkan dengan Uni Soviet yang kehilangan 10 juta penduduknya. Korban militer AS berkisar 400 ribu orang, sedang Uni Soviet 10,9 juta tentara. Lalu siapa sebenarnya yang paling terluka?
Lewat pencitraan Hollywood, AS sukses menasbihkan diri sebagai pemenang di front Eropa serta menisbikan Uni Soviet yang nyata-nyata berhasil menduduki Berlin dan mengibarkan palu arit di gedung Reichstag. Klaim ini tentu amat miris mengingat hampir 68 persen tentara AS itu berperang dan gugur di Front Asia Pasifik, bukan Front Eropa. Perjuangan sekutu menggerus NAZI di Front Barat tak lepas kerjasama dari semua negara, tak hanya AS saja.
Sebuah diskusi di Forum militer dunia maya mengeluhkan distorsi sejarah ini. Lewat Hollywood banyak anak muda di Eropa yang mengira AS lah pahlawan penting memberantas NAZI. Pandangan ini memunculkan benak dengan mengecilkan peran negara-negara sekutu lainnya di Front Eropa.
Sejak 2000-an, amat jarang film Hollywood yang mengangkat perspektif non-AS. Terakhir kali perspektif itu diangkat adalah pada The Imitation Games. Meski berlatar perang, The Imitation Game menggambarkan sisi kesangaran perang lewat baku tembak, ledakan bom dan sebagainya. Kali terakhir hal itu terjadi, yakni pada film Enemy at The Gates yang dilatarbelakangi kisah nyata penembak runduk jagoan Uni Soviet di Stalingard, Vasily Zaytsev.
Namun lagi-lagi, The Enemy Gates pun digarap tak seserius Saving Private Ryan atau Pearl Harbour. Sutradara dan pemeran yang terlibat pun tidak terlalu begitu punya nama besar seperti Stephen Spielberg atau Tom Hanks misalnya. Heroisme kepahlawanan Uni Soviet tak akan laku di Amerika.
Sebuah kabar gembira muncul saat film bertemakan Perang Dunia II akan diriilis 2017 nanti. Jika merujuk dari tema yang diambil “Dunkirk”, maka sepertinya tak akan ada embel-embel patriotik AS di sana. Film ini terinspirasi dari kejadian nyata di Dunkirk, sebuah kota pelabuhan dan komune di Nord, Perancis, 10 km dari perbatasan Belgia.
Pada 27 Mei hingga 4 Juni 1940 terjadi evakuasi besar-besaran di Dunkirk untuk menyelamatkan 330.000 tentara sekutu dari negara Inggris, Perancis, Belgia serta sebagian kecil Belanda, Luxemburg dan Polandia yang terjebak dan dikepung Jerman. Mereka terpojok setelah Jerman menguasai Eropa Barat.
Untuk menyelamatkan mereka, evakuasi militer ini terbesar dalam sejarah dilakukan. Dikenal sebagai Operasi Dynamo. Seluruh kapal perang bahkan kapal nelayan dikerahkan untuk menyebrangkan para prajurit malang itu melewati selat Dover menuju Inggris daratan.
Kejadian ini terjadi setahun sebelum AS mengumumkan perang terhadap NAZI. Wajar jika identitas dan aksen british akan lebih kentara terasa pada film ini. Terlebih film ini disutradarai Cristopher Nolan – yang lahir dan besar di London. Nolan membawa gerbong aktor-aktor top Britania Raya macam Tom Hardy, Kenneth Branagh, dan Mark Rylanc.
Tak lupa satu hal yang membuat Dunkirk bakal heboh adalah kehadiran sosok Harry Styles. Tak terbayangkan, Harry yang biasa terlihat berjingkrak menari di panggung bersama band One Direction akan terlihat memanggul Lee Enfield MK.III sembari berlari kesana kemari menghidari ledakan mortar.
Jadi sebuah pertanyaan adalah kenapa Nolan tertantang mengerjakan film berlatarkan perang? Dia memang punya pengalaman menggarap film laga lewat Trilogi Batman, Inception dan Man of Steels. Namun, film-film itu adalah fiksi. Dia bebas mengeksplorasi daya khayalnya. Namun, Dunkirk bukanlah fiksi. Jika melenceng sedikit siap-siap saja dia akan dikritisi sejarahwan dan veteran.
Terlebih pada film ini, Nolan pastinya akan kesulitan menemukan kisah yang bahagia. Dunkirk bukanlah epos tentang prajurit-prajurit gagah yang memenangkan medan perang layaknya D-Day, Battle of Bulge atau Battle of El Alamein.
Menteri Propganda NAZI, Josep Goebbels menyebut Dunkirk adalah tempat pelarian para pecundang. Perdana Menteri Inggris kala itu, Winston Churcill mengakui Dunkirk adalah kekalahan paling menyakitkan bagi sekutu. Kemalangan di Dunkirk ini pula yang memberinya inspirasi beragitasi di House Of Commons dengan pidato terkenal berjudul “We Shall Fight on The Beaches”
Untuk merasakan kengerian yang terjadi Dunkirk anda bisa membaca dua buku berjudul Dunkirk: Fight to the Last Man karya Hugh Sebag-Montefiore dan Dunkirk: The Men They Left Behind punya Sean Longden, dua buku itu bisa membuat anda bergidik merasakan bagaimana rasanya jadi prajurit yang diambang kematian. Tiap detik yang berdetak selalu menghantui mereka.
Ketegangan melewati waktu ini yang digambarkan dalam teaser film Dunkirk yang dirilis Warner Bross baru-baru ini. Dalam teaser berdurasi satu menit itu terlihat sekelompok tentara berkumpul di sebuah pantai dan merunduk ketakutan menyongsong serangan Stutka yang menakutkan.
Kemurungan Dunkirk memang sesuai dengan karakter Nolan yang gemar mengeksplorasi karakter-karakter yang memiliki gangguan mental, bermasalah dan kehilangan orang yang dicintainya. Semua itu bisa tersirat dari film yang digarapnya seperti Insomnia, Inception, Memento dan Trilogi Batman.
Rasa frustasi yang dialami ratusan ribu tentara akan mudah dieksplotasi oleh Nolan. Keputusan Warner Bross yang bekerjasama dengan Nolan adalah hal tepat. Namun sebuah ironi adalah saat Hollywood serius menggarapi perang dunia II dari perspeksi non-AS, latar belakang yang disampaikan adalah suasana kesuraman. Mungkin akan jadi cerita berbeda jika andai saja Franklin D. Roosevelt menandatangi deklarasi perang terhadap Jerman setahun sebelumnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti