tirto.id - Cina adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak 18 tahun lalu dunia bergerak memasuki abad 21. Diperkirakan pada 2030 nanti Cina akan menjadi nomor satu di dunia. Resepnya: tak malu-malu dalam melancarkan strategi “soft power”.
Definisinya kurang lebih “usaha penajaman pengaruh secara kultural dan ekonomi tanpa bantuan pasukan militer ke negara lain”, dan mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan ke dalam negeri. Target paling aktual atas strategi cantik ini pun tak main-main: industri film Hollywood, Amerika Serikat.
Film kolosal epik bercampur fiksi ilmiah The Great Wall yang dibintangi aktor kenamaan Matt Damon adalah contoh yang pas. Film itu bukan sebatas blockbuster standar ala Hollywood. Terlepas dari latar belakangnya yang menampilkan Tembok Besar, The Great Wall benar-benar dibuat di Cina. Lebih tepatnya d Kota Qingdao. Tak tanggung-tanggung, di lokasi syuting juga dibuat model permanen jalanan Kota New York di area seluas 5.000 meter persegi.
The Great Wall adalah film dengan biaya produksi paling mahal yang pernah diproduksi di daratan Negeri Tirai Bambu, dan menunjukkan betapa besarnya investasi pemodal Cina dalam rangka penetrasi ke jantung industri perfilman AS. Biaya produksinya mencapai $150 juta dan di AS hanya meraup keuntungan sebesar $21 juta. Namun, di Cina sendiri keuntungannya melonjak hingga $171 juta. Ditambah keuntungan level global yang menyentuh angka $244,6 juta, film ini sukses meraih hasil akhir yang membahagiakan.
Kesuksesan ini makin menambah kepercayaan pada pembesar Cina yang seakan berkata “Kami memiliki pangsa konsumen yang besar dan potensial. Datanglah pada kami, Hollywood”. Mereka tak membual. Dalam konteks Cina sebagai pangsa penonton, rata-rata ada 22 bioskop baru yang dibangun di Cina sejak tahun 2015—dan hingga kini jumlahnya masih bertambah.
Di tahun yang sama, jumlah bioskop di Cina mengalami lonjakan hingga 50 persen dibanding tahun 2015. Rakyat kelas menengah Cina kini lebih suka datang ke bioskop dibanding nonton di rumah. Kondisi yang menggiurkan bagi produser Hollywood.
Untuk beberapa tahun ke depan, jumlah bioskop di Cina diperkirakan akan melampaui jumlah bioskop di Amerika Uitara. Prediksi ini tetap berlaku meski kini perekonomian Cina menunjukkan perlambatan.
Berkaca dari nasib film World of Warcraft misalnya, yang serupa dengan The Great Wall: meski hanya meraih keuntungan kecil ($25 juta) di AS, di Cina bisa didapat $156 juta di lima hari pertama pemutaran. Faktor penyebabnya telah diprediksi jauh-jauh hari: Cina memiliki jumlah pemain game online yang amat sangat besar. Untuk game World of Warcraft sendiri, Cina ternyata rumah bagi separuh pemain dari total semua pemain di dunia.
Segalanya kembali ke prinsip bisnis dasar: mendeteksi potensi pasar dengan jeli dan teliti.
Investor Jepang, Eropa Tengah, dan Eropa secara umum memang telah berupaya serupa. Bahkan mereka telah memulainya jauh sebelum Cina. Namun Cina adalah pengecualian. Sebagaimana kata Li Rigang, kepala China Media Capital (CMC), sebuah perusahaan ekuitas swasta yang telah bermitra dengan Warner Bros, DreamWorks, dan Imax, “Kami memiliki baik modal yang besar maupun perut (konsumen) yang besar.”
“Cina telah menghabiskan banyak uang di Hollywood dan memiliki pasar yang luar biasa besar di dalam negeri. Hubungan Cina-Hollywood akan bertahan untuk waktu yang sangat lama,” imbuhnya kepada Time.
Modal yang disumbang pebisnis raksasa dari Cina salah satunya berasal dari kantong Wang Jianlin. Wang adalah orang paling kaya di Cina, dan ekspansi bisnisnya ke AS sejak beberapa tahun lalu makin menguatkan asumsi publik bahwa negara komunis itu memang sedang berupaya mengambil alih Hollywood.
Wang adalah ketua Dalian Wanda Group, sebuah perusahaan real estate yang mencoba bertransformasi menjadi mereka hiburan level internasional. Manuvernya yang telah dicatat oleh media antara lain menghabiskan $3,5 miliar untuk membeli saham mayoritas studio film raksasa Legendary Entertainment, mengucurkan dana $2,6 miliar untuk mengakuisisi perusahaan yang menjadi rantai distribusi bioskop di Amerika Utara, AMC Entertainment, dan menjalin aliansi dengan Sony Pictures Entertainment untuk pendanaan dan distribusi film di Cina. Langkah ini disebut-sebut sebagai investasi terbesar ketiga dari perusahaan Cina di Hollywood pada 2016.
Perusahaan-perusahaan Cina lain tak mau ketinggalan. Dua perusahaan film Cina, Shanghai Film Group (SFG) dan Huahua Media, pada pertengahan Januari 2017 lalu telah resmi menanamkan investasi langsung sebesar $1 miliar Viacom Inc's Paramount Pictures. Kesepakatannya, kedua perusahaan akan mendanai 25 persen dari semua film Paramount untuk tiga tahun ke depan. Sementara itu Paramount bekerja sama dengan Alibaba Pictures Group Ltd di tahun 2015 untuk mempromosikan film Mission Impossible – Rogue Nation di Cina.
Dalam catatan Bloomberg, investor-investor Cina telah turut mendanai lahirnya film-film blockbuster dari Hollywood seperti franchaise Transformers, Mission Impossible, dan Fast and Furious. Sedangkan dalam catatan Reuters, Warner Bros, Walt Disney Co, Dreamworks, Lionsgate, dan STX Entertainment telah menjalin kerja sama dengan firma-firma asal Cina untuk menyokong biaya produksi maupun mempopulerkan film-film mereka di Cina.
Menurut Aynne Kokas, penulis buku Hollywood Made in China, daftar kerja sama Cina-AS di industri perfilman bisa merentang lebih jauh lagi. Ia menyebutkan film The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor yang dibintangi Jet Li dan The Forbidden Kingdom yang dibintangi Jackie Chan. Lalu The Revenant, film peraih 3 nominasi Oscar pada 2016, juga sebagian didanai dan didistribusikan oleh sebuah firma hiburan asal Cina.
Sanford Panitch, presiden Columbia Picture, berkata bahwa “Pertumbuhan industri film Cina itu penting untuk Cina sendiri, sebagaimana keuntungan dari ramainya bioskop di Cina juga penting bagi studio-studio film AS.”
Tahun lalu Columbia Pictures menangani distribusi internasional untuk film dengan kesuksesan finansial terbesar Cina, The Mermaid, dan kemudian tak ragu untuk menandatangani kesepakatan dengan Dalian Wanda Group. Panitch optimis jika di tahun-tahun mendatang akan semakin banyak film AS yang diputar di Cina.
Cina menyambut harapan ini dengan melakukan penindakan tegas terhadap kasus penipuan di bioskop-bioskop Cina sejak 2012 lalu, sebab tak ada bisnis yang berjalan jika ekosistemnya masih korup.
Politisi AS Justru Kobarkan Semangat Anti-Komunis
Sayangnya, tak semua orang merasa senang dengan keharmonisan hubungan bisnis antara AS dan Cina. Sejak dinakhodai oleh Donald Trump, jajaran administrasi Gedung Putih justru menciptakan ketidakpastian dan “membuat semua pihak sangat sangat tegang,” kata Geetha Ranganathan, analis Bloomberg Intelligence.
Pada tanggal 15 September 2016, 16 anggota kongres yang menyebutkan nama sejumlah perusahaan Cina di dalam sebuah surat yang dianggap sebagai peringatan atas bahaya atas investasi asing. Sebanyak 14 anggota Partai Republik dan dua anggota Partai Demokrat itu mengatakan bahwa akuisisi Dalian Wanda telah menimbulkan kekhawatiran “tentang upaya Cina untuk menyensor topik dan mengambil alih kontrol propaganda di media-media AS.”
Dalam surat itu, John Culberson, ketua subkomite untuk perdagangan, keadilan, ilmu pengetahuan, dan instansi terkait, meminta asisten Jaksa Agung John Carlin untuk mempertimbanglan perubahan pada Foreign Agents Registration Act yang memungkinkan pihak berwenang AS untuk memantau akuisisi Wanda. Pertimbangan tambahannya yakni dengan mengutip kedekatan Wang dengan pemerintah Cina dan Partai Komunias. Afiliasi itu “memiliki implikasi yang mendalam untuk media Amerika,” demikian tercantum dalam surat.
Surat ini tiba kurang lebih tiga bulan setelah Richard Berman, seorang pengacara dan petinggi humas di tubuh pemerintah AS, meluncurkan kampanye bertajuk “Cina Memiliki Kami” yang profitnya dipakai untuk menyewa sebuah baliho di kawasan jantung Hollywood berbunyi: “Bioskop AMC: Boneka Merah Cina”. Berman dan kawan-kawan menilai “investasi Cina di AS bertepatan dengan propaganda pro-Cina dengan menggunakan uang rakyat AS.”
Serangan balik pada Wanda dan investor Cina lain ini ternyata tak begitu laku di kalangan politikus maupun masyarakat AS. Manuver itu dianggap sudah ketinggalan jaman yakni dengan mengembalikan lagi ketakutan atas kebangkitan komunisme. Komunisme, sebagaimana jamak diketahui, bahkan sudah tak laku lagi di Cina. Negeri itu kini sudah teramat kapitalistik dan jika pun ada unsur kebudayaan asli Cina yang nampak di industri perfilman, hal tersebut tak lain hanyalah strategi bisnis.
Sebagaimana diungkap profesor ilmu politik dan ahli hubungan AS-Cina Stanley Rosen kepada The Guardian, “Wang tak berusaha sedang memasukkan unsur komunisme di film-film AS sebab hal tersebut akan merugikan ia dan studio filmnya sendiri. Jika ia pintar, perkara ekonomi itu lebih penting dan ia tak akan berupaya untuk menghancurkan citranya sendiri.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani