tirto.id - Sebuah topik tentang seorang anak sempat ramai di media sosial. Seorang batita disebut gemar bermain gawai. Orangtuanya kerap menasihati “jika ia selalu asik dengan ponselnya, maka matanya akan menghitam." Si bocah tak percaya dan terus melanjutkan kebiasaannya.
Orangtuanya tak kehabisan akal. Suatu hari, ketika anaknya tidur, dihitamkan kedua mata anaknya dengan spidol. Saat bangun, orangtuanya pun menyodorkan cermin agar si anak melihat “akibat” dari perbuatannya. Si bocah menangis. Ia takut dengan kondisinya.
Bohong Agar Anak Menurut
Orangtua berbohong kepada anak. Ada keluarga yang menganggapnya sebagai cara yang wajar untuk dilakukan. Pada 2009 lalu, Gail D. Heyman, Diem H. Luu, dan Kang Lee (PDF) pernah membuat riset tentang fenomena pengasuhan anak dengan berbohong. Dalam studi tersebut, ada 127 responden orangtua dan 127 responden anak.
Anak-anak melaporkan kepada para peneliti bahwa orangtua mereka kerap berbohong, padahal orangtua juga selalu menanamkan tentang pentingnya kejujuran.
Orangtua pun mengakuinya. Namun, para orangtua menganggap berbohong kepada anak adalah sebuah kewajaran dan bisa diterima dalam keadaan tertentu.
Berdasarkan penelitian Heyman, dkk. orangtua menganggap bahwa kebohongan yang mereka lakukan itu demi mengubah keadaan dan perilaku sang bocah. Alasan berbohong seperti ini sering kita sebut dengan white lie (dusta putih) alias kebohongan yang dilakukan untuk tujuan yang baik.
Contoh kebohongan yang sering dilakukan adalah menakut-nakuti anak ketika mereka tak segera pergi tidur, padahal hari sudah malam. Biasanya, mereka akan berkata, “kalau kalian tak segera tidur, lampu akan segera aku padamkan, dan kalian akan melihat hantu."
Kebohongan dan Rasa Tidak Aman
Psikolog Nirmala Ika menjelaskan bahwa mengasuh anak dengan kebohongan model menakut-nakuti akan menciptakan rasa tidak aman bagi buah hatinya. Hal itu secara tak langsung juga menanamkan pada anak bahwa dunia ini adalah tempat yang tidak menyenangkan.
“Padahal kita sebagai manusia kan perlu merasa aman di lingkungan kita, kita nyaman, kemudian bisa mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Dan itu akan sulit terpenuhi ketika kita sudah melihat dunia kita sebagai tempat yang enggak nyaman dan enggak bisa berekspresi,” ungkap Nirmala dalam wawancara kami.
Penjelasan Nirmala tersebut sejalan dengan tulisan yang dipacak di Psychology Today; berbohong dengan cara seperti ini bisa mempengaruhi perkembangan mental anak. Orangtua, bagaimanapun, dilihat oleh anak sebagai sumber informasi yang akurat dan bisa diandalkan. Ketika orangtua berdusta dan si anak mengetahui kenyataan yang sebenarnya, bukan tak mungkin ia ragu terhadap dirinya sendiri. Apalagi jika orangtuanya terus menanamkan ketakutan.
Alyson Schafer, seorang pendidik orang tua di Kanada, mengatakan kepada Washington Post bahwa kebohongan kecil, meskipun bertujuan baik, bisa mengakibatkan kerugian besar bagi orangtua.
“Anak-anak bisa berpikir dan berkata, ‘Orangtuaku adalah seorang pembohong. Apakah mereka juga berbohong kalau mereka mencintaiku?’ Sistem keamanan si anak telah hancur. Anak-anak membutuhkan banyak kepastian,” ujar Schafer.
Membentuk Anak Menjadi Pembohong
Cara berbohong lain yang sering kita dengar adalah orangtua yang memberi janji palsu kepada buah hatinya. Biasanya ini dilakukan saat si anak merengek minta mainan, tapi orangtua ogah menuruti. Dengan janji palsu ini, orangtua berharap buah hatinya akan lupa dengan permintaannya.
Padahal, menurut riset yang dilakukan oleh Chelsea Hays dan Leslie J. Carver pada 2014 (PDF), anak sebenarnya bisa mengendus kebohongan yang sedang dilakukan oleh orangtua mereka.
Dalam ulasan penelitian Hays dan Carver di Science Daily, disebutkan bahwa anak cenderung berbohong kepada orang yang juga berbohong kepada mereka. Mereka merasa tak perlu menjunjung tinggi komitmen kepada orang yang sudah membohonginya.
Menurut Nirmala Ika, kebohongan yang dilakukan orangtua ini bisa menjadi metode yang baik untuk anak belajar berbohong. Kebohongan, demi alasan apa pun, bisa terbongkar oleh si anak seiring berjalannya waktu.
“[Anak akan berpikir] Oh ya boleh berbohong, orangtuaku juga melakukan itu kok, kalau ada apa-apa ya bohong aja. Jadi [orangtua] jangan komplain kalau sudah besar nanti anaknya jadi jago bohong ke kita. Yang ngajarin siapa? Ya tidak sadar itu perilaku kita,” tutur Nirmala.
Orangtua Mesti Berkaca
Orangtua mungkin jengkel dengan perilaku anak yang tak mau menuruti nasihatnya, padahal belum tentu “kenakalan” tersebut karena salah si anak. Sebelum menyalahkan anak dan memuntahkan perintah ini-itu, orangtua mesti merenungi pola asuh mereka di hari-hari sebelumnya.
Nirmala Ika menyebut ada orangtua yang cenderung diam ketika anaknya berbuat baik, tapi ketika sang bocah berulah, mereka akan menghujani dengan beragam nasihat. Apa bahayanya? Anak bisa mencari perhatian dengan cara berulah.
“Buat anak, kadang itu dianggap sebagai perhatian, lho, bukan hukuman. Anak melihat, 'Eh, dengan aku main handphone, orangtua akan nyoretin spidol malam-malam di mukaku.' Itu effort, 'Oh, dia [orangtua] do something buat aku, dan itu menyenangkan buat dia',” kata Nirmala.
Jika hal ini yang terjadi, bukan tak mungkin kalau anak lebih senang berbuat nakal dan mendorong dia untuk terus mengulangi perbuatannya.
Editor: Maulida Sri Handayani