Menuju konten utama

Larangan Ekspor Nikel Dinilai Masih Menimbulkan Celah, Kenapa?

Kebijakan pelarangan komoditas nikel masih menimbulkan celah di Indonesia.

Larangan Ekspor Nikel Dinilai Masih Menimbulkan Celah, Kenapa?
Ilustrasi Industri Nikel. foto/IStockphoto

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap temuan ekspor bijih nikel ilegal selama periode 2020-2022. Ekspor tersebut mayoritas membanjiri China sebanyak 5,3 juta ton. Selama periode tersebut, Ukraina juga menerima 444 ribu ton bijih nikel dari Indonesia serta beberapa negara lain termasuk Jerman, India, dan Singapura.

Dari segi nilai, ekspor terselubung dari Indonesia ini mencapai 320,5 juta dolar AS. Data ini merupakan data berat bersih dan nilai perdagangan resmi dari UN Comtrade untuk klasifikasi bijih dan konsentrat nikel kode HS 26040000.

Data ini bisa kita dapatkan dari sumber terbuka yang disediakan oleh platform Bank Dunia dalam solusi data terintegrasi. Sayangnya, merujuk sumber data yang sama dengan kode HS yang identik, tercatat Indonesia hanya mengekspor 1,47 ton bijih nikel ke seluruh dunia pada tahun-tahun tersebut.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meski masih ada, sejak 2020 hingga 2022, Indonesia tidak mengekspor bijih dan konsentrat dalam jumlah besar. Dalam praktiknya, tiga tahun sebelumnya, secara nilai perdagangan, Indonesia telah mengekspor 1,9 miliar dolar AS bijih dan konsentrat nikel dari 2017-2019 ke seluruh dunia.

Pada periode yang sama ini, seluruh negara yang mengimpor komoditas ini dari Indonesia justru mencatatkan nilai yang jauh lebih tinggi, yakni 3,03 miliar dolar AS. Jika menggunakan asumsi biaya pengiriman dan asuransi sebesar 15-20 persen pun gap perdagangan masih relatif tinggi.

Asisten dan Program Riset Sustainable Development The PRAKASA, Ricko Nurmansyah mengatakan, praktik ilegal aliran keuangan gelap masih terjadi dalam jumlah cukup besar larangan ekspor nikel sudah diterbitkan. Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menutup celah ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 untuk memperkuat hilirisasi.

"Kebijakan pelarangan komoditas nikel, bagaimanapun, masih menimbulkan celah di Indonesia, meskipun bertujuan untuk mendorong hilirisasi industri ini. Tanpa jalur ekspor, otomatis produksi nikel dalam negeri hanya memasok pengolahan dalam negeri, dan terjadi kelebihan pasokan," katanya dalam rilisnya, Rabu (5/7/2023).

Ricko menuturkan, dari sisi smelter dalam negeri, saat ini banyak yang dapat menyerap bijih nikel kadar tinggi. Namun, untuk bijih nikel kadar rendah kandungan di bawah 1,7 persen, hingga saat ini, masih terdapat keterbatasan kapasitas di banyak smelter.

Lebih lanjut, dia menuturkan produksi bijih nikel kadar rendah memiliki peluangdi Indonesia. Ricko menilai keadaan tersebut menurunkan harga komoditas domestik dan mendisinsentif produsen nikel hulu untuk menjual ke domestik.

Walaupun dilarang, dia menilai hal itu dianggap pemicu mereka untuk melakukan perdagangan ilegal dengan mengekspor ke luar negeri. Apalagi tren harga nikel global melonjak drastis dan telah mencapai dua kali lipat harga nikel domestik.

"Kasus ini membuat Indonesia semakin kehilangan banyak catatan transaksi resmi dari ekspor sumber daya mineral. Sebelumnya, studi PRAKARSA baru-baru ini menyebutkan aliran keuangan gelap dari batubara under-invoicing sebesar 77,5 miliar dolar AS atau 14,1 juta ton selama kurun waktu 2012-2021," jelasnya.

Dia mengatakan semakin tinggi perdagangan ilegal, semakin tinggi hilangnya banyak potensi pendapatan Indonesia dalam bentuk royalti, PNBP, dan PPh badan. Ini menjadi praktik yang mengerikan mengingat Indonesia sedang dalam proses pembangunan dan berada di jalur yang tepat untuk menjadi negara maju, serta memiliki potensi cadangan mineral melimpah yang mungkin bisa dieksploitasi.

"Sekali lagi, ini harus menjadi prioritas utama pemerintah dalam memerangi aliran keuangan gelap (IFF), sejalan dengan prioritas PBB, yang secara internasional menyepakati poin 16.4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan target pengurangan signifikan pada 2030," jelasnya

Hal ini tentu juga harus menjadi pelajaran berharga mengingat Indonesia baru saja melarang ekspor bauksit per Juni 2023 di tengah meningkatnya ketergantungan dunia terhadap komoditas ini.

Uniknya, tren perdagangan bauksit Indonesia dengan kode HS 260600 untuk komoditas bijih aluminium dan konsentrat mencatat gap kelebihan 2,96 juta ton dalam berat bersih, tetapi tercatat nilai transaksi lebih rendah hampir setengah miliar dolar AS pada tahun 2020 dan 2021.

"Kita tentu tidak ingin mendengar kasus nikel terjadi pada bauksit di tahun-tahun kedepan," imbuhnya.

Dia menuturkan, pemerintah Indonesia, khususnya bea cukai dan KPK, perlu bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Investasi. Terakhir, dia menilai pemerintah perlu melakukan proses monitoring dan evaluasi untuk memperkuat dan memperketat praktik ekspor melibatkan seluruh pihak yang relevan. Evaluasi sistem informasi juga sangat penting untuk menjadi keterpercayaan dan akurasi jenis komoditas, asal, dan destinasi tujuan ekspor.

"Dalam hal ini, pemerintah perlu serius, duduk dan melakukan pembicaraan kolaboratif antara lembaga terkait integrasi dan koordinasi," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait LARANGAN EKSPOR NIKEL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin