Menuju konten utama

Larangan Bendera Asing-Piala Dunia di Papua Dianggap Diskriminatif

Polisi punya diskresi terkait PP 41/1958 yang atur pengibaran bendera asing. PP tersebut sebenarnya terbit dalam konteks rezim Sukarno.

Larangan Bendera Asing-Piala Dunia di Papua Dianggap Diskriminatif
Massa menggelar aksi damai untuk Palestina, di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Polisi menurunkan bendera negara asing yang dipasang warga di Kota Sorong pada Senin, 18 Juni 2018 dan Selasa, 19 Juni 2018. Penertiban yang dilakukan polisi dianggap diskriminatif mengingat bendera tersebut sengaja dipasang untuk memeriahkan Piala Dunia 2018.

Polisi mengklaim tindakan tersebut merupakan upaya menegakkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1958 tentang penggunaan Bendera Negara Asing di Wilayah NKRI.

“Kami hanya menjalankan peraturan saja. Kan aneh ada regulasi yang mengatur namun tidak ada aplikasi di lapangannya,” kata Kapolres Sorong Kota, AKBP Mario Christy P.S. Siregar kepada Tirto, Rabu (20/6/2018)

Mario menyebut polisi sedang memberikan edukasi kepada masyarakat dalam penindakan tersebut. “Kami [juga] ingin mengimbau jangan memasang bendera asing lebih dari bendera merah putih,” ucap Mario.

Selain itu dirinya membantah kalau pihak kepolisian melakukan penyitaan bendera dan hanya memerintahkan kepada warga untuk menurunkannya saja. “Kami bukan menyita bendera asing tersebut, kami hanya mengimbau masyarakat [agar] mau menurunkan, lalu bendera asing tersebut dikembalikan kepada pemiliknya,” lanjut Mario.

Harus Izin Kepala Daerah

Penggunaan PP Nomor 41 Tahun 1958 yang digunakan sebagai rujukan terkait penertiban bendera negara-negara asing tersebut dibenarkan pihak Kemendagri.

Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Kemendagri Prabawa Eka Soesanta mengatakan tindakan Kapolres Sorong Kota terkait penertiban bendera negara asing boleh dilakukan asalkan ada izin dari kepala daerah.

“Bendera kebangsaan asing dapat pula digunakan pada kesempatan-kesempatan lain dengan izin dari kepala daerah. Kepolisian bisa menertibkan sepanjang itu terkait penertiban umum, sebaiknya berkoordinasi dengan kepala daerah,” ucap Prabawa kepada Tirto.

Prabawa mengatakan, penerapan aturan tersebut seharusnya diberlakukan sama termasuk untuk bendera Palestina. “Pada prinsipnya sama. Penggunaan bendera asing harus mengikuti ketentuan yang ada pada PP,” ucap Prabawa.

Terlalu Berlebihan

Tindakan polisi yang menertibkan bendera negara peserta Piala Dunia 2018 dinilai Direktur Eksekutif YLBHI Asfinawati sebagai tindakan yang berlebihan. Menurut Asfin, sapaan akrabnya, pengibaran bendera asing juga kerap dilakukan di daerah lain seperti saat aksi membela Palestina.

“Tindakan kepolisian berlebihan karena di daerah lain hal ini biasa saja,” ucap Asfin kepada Tirto.

Asfin menceritakan PP 41/1958 merupakan produk hukum masa awal kemerdekaan, saat pemerintah Indonesia masih mendapat tekanan dari negara lain. Asfin menyebut penggunaan PP sebagai dasar dari pencopotan bendera negara lain di Papua, menjadi tidak revelan.

“Itu [PP] zaman Orde Lama, artinya konteks [sekarang] sudah berubah,” ucap Asfinawati.

Menurut Asfin, sejumlah daerah sudah menerbitkan diskresi terkait PP tersebut. Diskresi ini tak lagi menjadikan polisi bersikap letterlijk memahami PP sehingga tindakan yang dilakukan tidak bersifat diskriminatif.

Ia balik mempertanyakan sikap letterlijk polisi ini. Menurut Asfin, sikap demikian menandakan polisi bersifat diskriminatif terhadap warga Papua. “Buktinya di daerah lain juga ditetapkan diskresi ini. Mengapa di Papua tidak, ini diskriminatif,” ucap Asfin.

Untuk itu, Asfin meminta Mabes Polri mengusut penurunan bendera yang dilakukan Polres Sorong Kota, mengingat tindakan serupa tak terjadi di wilayah lain di Indonesia yang memasang bendera negara peserta Piala Dunia 2018.

“Ada apa dengan kebijakan penegakan di Papua? Jangan ada diskriminasi lagi terhadap orang di Papua,” ucap Asfin.

Kritik serupa disampaikan Riawan Tjandra, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Atmajaya Yogyakarta. Riawan mengatakan polisi seharusnya bertindak persuasif dengan mengedepankan perspektif sosiologis.

“Itu hanya euforia. Enggak harus dilakukan dalam tindakan represif yang keras," ucap Riawan kepada Tirto.

Riawan menyebut polisi cukup berdialog dengan warga untuk mencari solusi terkait pengibaran bendera tersebut. “Itu harus dipahami dalam rangka piala dunia itu. jadi tidak perlu bawa-bawa PP segala,” ucap Riawan.

Bukan Kali Pertama

Kasus penurunan bendera negara asing di Indonesia bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sepanjang 2016 hingga 2017 terdapat empat kasus serupa. Semua kasus punya dasar hukum yang sama, yakni PP Nomor 41 Tahun 1958.

Insiden pertama terjadi di Labuan Bajo, pada 6 April 2016. Sekelompok warga melakukan penurunan bendera lima negara asing di Resor Plataran di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kemudian pada 25 November 2016 terjadi penurunan Bendera Tiongkok di Obi, Maluku Utara. Bendera Tiongkok itu dikibarkan pada acara proyek smelter PT Wanatiara Persada di Pulau Obi, Halmahera, Maluku Utara dan diturunkan TNI.

Aksi serupa terjadi pada 18 Desember 2016 saat polisi menurunkan bendera negara asing di Pantai Kuta, Bali. Bendera yang diturunkan di antaranya bendera China, Rusia, Perancis, dan Australia. Bendera tersebut dipasang pedagang yang berjualan.

Kemudian pada 20 Februari 2017, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara menurunkan bendera Kanada di Gili Trawangan. Penurunan dilakukan karena posisi bendera Kanada lebih tinggi.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Hukum
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Mufti Sholih