tirto.id - Gelombang surut yang menimpa media cetak akhirnya sampai juga pada NME. The Guardian melaporkan bahwa majalah dengan nama panjang New Musical Express ini akan mengakhiri edisi cetak pada Maret 2018.
"NME akan mengakhiri edisi cetak setelah 66 tahun. Majalah musik mingguan ini bergabung dengan kumpulan majalah yang dulu pernah berjaya dan kini hanya tersisa versi online-nya," tulis The Guardian.
Dahulu, NME bukan hanya berjaya. Ia adalah raksasa. Pada dekade 1960-an, oplahnya lebih dari 300 ribu eksemplar per minggu. The Economist pernah menjulukinya sebagai majalah musik terpenting di era 1980-an. NME dianggap menjadi salah satu media musik arus utama yang turut mendukung kemunculan musik punk dan new wave. Dengan kata lain: majalah itu turut mendefinisikan musik pada masanya.
NME juga berjasa besar di dunia penulisan musik. Ia melahirkan nama-nama penting semisal Nick Logan, Charles Shaar Murray, dan tentu saja: Nick Kent.
Sejarah Panjang NME
Jauh dari rock n roll dan punk yang berisik, NME pada awalnya bernama Accordion Times. Di era 1930-an, akordion jadi alat musik paling populer di Inggris. Bahkan pada 1936, National Amateur Accordion Championships menghadirkan 4.000 penonton. Peluang itu ditangkap oleh Accordion Times.
Sayang, kenaikan akordion yang cepat diikuti kejatuhan yang cepat pula. Pada 1945, Accordion Times bangkrut. Pada Oktober 1946, tabloid ini bangkit dengan mama baru: Musical Express, incorporating Accordion Times. Belakangan, namanya jadi Musical Express saja. Sama seperti pendahulunya, Musical Express mengalami kesulitan keuangan.
Theodore Ingham kemudian mengambil alih dan membuat namanya jadi New Musical Express. Bisa dibilang ia adalah pendirinya. Walau kemudian namanya tak banyak dikenal karena seorang promotor musik asal London bernama Maurice Kinn membeli NME seharga 1.000 poundsterling.
Pada awalnya, NME berbentuk tabloid dengan standar cetak seperti koran. Edisi pertamanya terbit pada 7 Maret 1952. Di edisi November 1952, mereka memuat chart alias tangga lagu. Membuat mereka menjadi majalah Inggris pertama yang memuat tangga lagu.
Dalam The History of the NME: High Times and Low Lives at the World's Most Famous Music Magazine (2012), disebutkan bahwa NME mulai moncer ketika dipegang editor Andy Gray. Saat itu, sirkulasi NME mencapai 306 ribu eksemplar per minggu. Mereka kerap memuat The Beatles dan Rolling Stones, dua band kesayangan Inggris, sebagai sampul depan.
Tapi tak selamanya NME dianggap memasang karya jurnalisme musik yang baik. Ia lebih dianggap sebagai tabloid hiburan yang memberi informasi soal chart. Saingan beratnya adalah Melody Maker, yang dianggap lebih serius dalam menulis musik.
"Baru pada 1970-an, penulisan musik menjadi urusan serius. Punk tiba dan dirayakan. NME menyalip Melody Maker, baik dalam urusan penjualan maupun kredibilitas," tulis Fiona Sturges.
Saat itu editor NME adalah Alan Smith. Bersama Nick Logan, mereka mencari penulis-penulis muda bawah tanah dengan semangat menggebu. Maka muncullah nama-nama seperti Shaar Murray maupun Nick Kent. Mereka memberi suntikan darah baru. Ditambah dengan penulis seperti Julie Burchill dan Tony Parsons, NME menulis punk dengan cara yang tak pernah ada sebelumnya.
Di era itu, band seperti Sex Pistols, X-Ray Spex, Generation X, The Ramones, maupun The Clash muncul reguler di sampul depan. The Economistmenulis bahwa NME dan punk rock saling berutang satu sama lain.
"Punk mendefinisikan NME lebih dari genre manapun. Sekaligus bisa dikatakan bahwa NME mendefinisikan punk."
NME juga menjadi salah satu majalah musik pertama yang merilis mixtape-nya sendiri. Mereka merilis C81 pada Januari 1981—sebuah mixtape yang berisi lagu-lagu dari band yang dianggap potensial maupun yang sudah mapan. Kaset yang dirilis berkat kerjasama dengan label Rough Trade ini bisa dibeli dengan dua kupon dari majalah dan uang 1,5 pounds.
Saat grunge mulai muncul, lagi-lagi NME bisa dibilang terlambat melaporkannya. Toh, NME mulai mengulas band-band asal Amerika Serikat. Meski begitu, NME tetap tak melupakan liputan-liputan band independen di Inggris—sesuatu yang membuat nama mereka dikenal banyak orang.
Gelombang kemunculan British rock dan pop kemudian yang membawa angin segar bagi NME. Muncul nama-nama seperti Suede, Blur, Oasis, The Verve, hingga Pulp. Salah satu sampul yang paling ikonik adalah edisi Agustus 1995. Ia memacak Damon Albarn dari Blur dan Liam Gallagher dari Oasis, dengan judul provokatif: "Blur VS Oasis".
Judul itu banyak dikritik, sebab dianggap menyiram bensin pada perseteruan dua band ini. Tapi apa boleh buat, karena publicity stunt seperti itu, NME menikmati oplah yang melonjak.
Akhir Jurnalisme Musik di Media Cetak?
Memasuki era 2000, sebenarnya NME sudah mendapat peringatan merah. Oplahnya terus menurun. Seperti yang ditulis Fiona Sturges, oplah NME berkisar 70 ribu eksemplar per minggu. Jika dibandingkan, pada 1996, di masa puncak Britpop, sirkulasinya rata-rata 117 ribu per minggu. Apalagi jika dirunut ke belakang pada dekade 1960-an yang pernah menyentuh angka 308 ribu eksemplar. Tentu ini adalah kejatuhan yang amat menyeramkan.
Sturges menyebut, salah satu faktor kejatuhan NME cetak adalah krisis identitas. Ini termasuk liputan-liputan soal hip-hop di era 1980-an dan DJ di akhir 1990-an. Liputan semacam itu dianggap jauh dari akar rock yang diusung NME.
"NME terlalu keras menarik perhatian pasar pembaca muda, selagi tetap berupaya mempertahankan pembaca dari segmen penggemar musik alternatif," tulis Sturges.
Meski saat itu ada upaya untuk menghibur diri—dengan menyebut bahwa kebutuhan majalah hiburan mingguan masih tinggi—toh majalah ini akhirnya menyerah jua. Derasnya gelombang media online dan informasi hiburan membuat NME mengibarkan bendera putih.
NME saat ini masih ada di ranah online. Tapi satu per satu majalah musik yang berguguran—mulai dari Metal Hammer hingga Classic Rock—membuat banyak orang makin bertanya-tanya: inikah akhir dari jurnalisme musik?
Sebagian mungkin menjawab iya—dengan mempertimbangkan liputan musik yang amat jauh berbeda antara cetak dan online. Tapi ada pula yang masih optimis. Faktornya antara lain majalah-majalah musik besar yang masih bertahan, semisal Kerrang. Ditambah, penulisan musik kini tersebar tak hanya di publikasi besar, namun di situs-situs musik independen.
Maka adagium lawas itu selalu benar: majalah boleh mati, tapi jurnalisme musik akan terus hidup.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan