Menuju konten utama

Laporan McKinsey: RI Perlu Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi 97

Indonesia masuk dalam peringatan McKinsey soal potensi terulangnya krisis ekonomi tahun 1997 di Asia.

Laporan McKinsey: RI Perlu Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi 97
Surat Utang Negara (SUN). ANTARA News/Ridwan Triatmodjo

tirto.id - Konsultan McKinsey & Company menyatakan, Indonesia bersama negara-negara di Asia lainnya masuk dalam golongan negara-negara yang perlu mewaspadai terulangnya resesi atau krisis ekonomi tahun 1997.

Penyebabnya, negara-negara itu tercatat mengalami kenaikan utang cukup tinggi sejak tahun 2007 sehingga memicu kekhawatiran kalau posisi utang mereka berada dalam tekanan.

“Dan sekarang, pengamat dan media finansial bertanya bilamana kenaikan utang di Asia dapat memicu krisis baru. Sayangnya, tanda-tandanya tidak menyenangkan. Kondisi dari sektor riil dan finansial tampak memburuk,” ucap laporan 9 halaman untuk edisi Agustus 2019 itu.

Laporan Mckinsey ini ditulis oleh Senior Exper Mckinsey, Joydeep Sengupta dan Senior expert in McKinsey’s Singapore, Seshadrinathan.

Dalam laporan berjudul “Signs of Stress: Is Asia Heading Toward a debt crisis?”, mereka memaparkan tiga indikator yang membuat adanya tekanan (stres) seantero Asia.

Tanda pertama terlihat dari performa perusahaan di sektor riil yang kesulitan melunasi utang negara. Kejadian ini sudah mulai terlihat di Australia dan Korea Selatan yang mengalami kenaikan tingkat utang cukup tinggi.

Tanda kedua, sistem keuangan di Asia mulai sudah menunjukkan kerentanan. Laporan itu merujuk pada adanya tingkat risiko yang tinggi hingga ketergantungan pada perbankan dan lembaga keuangan non-bank atau shadow banking untuk memperoleh pinjaman.

Terakhir, McKinsey menyoroti tingginya porsi modal asing yang masuk ke negara-negara di Asia. Nilainya bahkan melewati masa-masa sebelum krisis 2007.

“Apakah kondisi ini cukup memicu krisis tentu masih harus ditelaah lagi. Namun, pemerintah dan swasta perlu memperhatikan potensinya dan secara hati-hati mengambil langkah preventif,” tulis laporan itu.

Temuan McKinsey bagi Indonesia dapat dilihat dari ukuran tekanan utang yang dialami oleh korporasi dilihat dari Interest Coverage Ratio (ICR) < 1,5 persen. ICR merupakan ukuran yang menentukan seberapa mampu sebuah perusahaan untuk memenuhi bunga utang dengan pendapatan yang dimiliki.

Jika utang perusahaan itu memiliki rasio 1,5 bahkan lebih rendah, maka ia sedang terbebani oleh utang dan kemampuan membayarnya semakin dipertanyakan.

Lalu 32 persen utang perusahaan di Indonesia masuk ICR dalam kategori ICR < 1,5 persen. Indonesia pun masuk ke kategori mengalami tekanan tinggi atau high extent of stress (porsinya di atas 25 persen) bersama Cina dan India yang masing-masing porsinya di angka 37 dan 43 persen.

Padahal kategori itu adalah level tertinggi menyisakan porsi tekanan sedang (20-25 persen) dan tekanan rendah (di bawah 20 persen).

Sorotan McKinsey juga mengkhawatirkan penyumbang terbesar dari tingginya tekanan utang para korporasi di Indonesia.

Hasilnya, sektor utilities atau sarana publik seperti kelistrikan, gas, air, hingga infrastruktur lainnya. Angkanya mencapai 62 persen dari total utang yang dimiliki perusahaan di Indonesia.

“Perlu diperhatikan kalau banyaknya porsi dari sektor utilitas di India dan Indonesia bisa menjadi masalah karena mereka dapat membalikkan kemampuan pelunasan utang menjadi hal yang rumit di sektor ini,” terang laporan tersebut.

Baca juga artikel terkait UTANG NEGARA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno