tirto.id - La Pawawoi adalah Raja Bone ke-31 yang bertakhta sejak 1895. Menurut Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan-pahlawannya (1977:22), La Pawawoi berkuasa menggantikan saudarinya pada usia 60 tahun.
Sebelum menjadi raja, di adalah panglima kerajaan dan pernah menjadi Ketua Dewan Kerajaan. Menurut Andi Mattalata dalam Meniti Siri dan Harga Diri (2014:21), dia dikenal sebagai Lapawawoi Karaeng Sigeri.
Sementara koran Soerabaiasch Handelsblad (18/12/1905) melaporkan, mulanya yang akan menjadi raja adalah putri dari raja sebelumnya. Belanda menganggap La Pawawoi sebagai orang yang tidak bisa diandalkan. Kala itu, pemerintah kolonial hendak mengambil alih hak ekspor Kerajaan Bone yang sejak lama dikenal sebagai pedagang. Salah satu komoditas yang diperdagangkan adalah kopi dari Toraja.
Gubernur Sulawesi, Kroesen, seperti dicatat Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:48), menganggap Bone adalah kerajaan paling berbahaya di awal abad ke-20. Sikap perlawanan Bone ditunjukan dengan menolak pajak ekspor impor dari pemerintah kolonial.
Menurut Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006:327) La Pawawoi “terlalu mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Bugis lain” hingga pemerintah kolonial kesal dan mengirimkan pasukan pada 1905. Dalam hitungan minggu laskar Bone digempur dan terdesak. Informasi ini didukung oleh catatan dalam buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830-1950 (1990:66-67) yang menyebut bahwa ada ekspedisi militer KNIL ke Bone, Sulawesi Selatan, pada tahun 1905.
Salah satu pengikut yang cukup penting bagi La Pawawoi adalah putranya sendiri hasil perkawinan dengan Kalimbo Daeng Tamene, yakni Baso Abdul Hamid, yang dikenal sebagai panglima dengan gelar Pagilingi Petta Ponggawae.
Barbara Sillars Harvey menyebutkan bahwa pada tanggal 21 Juni 1905, tiga buah kapal perang disiagakan di sekitar Bone serta raja diultimatum untuk membayar ganti rugi. Kolonel CA van Loenen memimpin penyerangan atas Bone setelah pasukan didaratkan di Pelabuhan Bajoe. Aksi militer Belanda dimulai pada 21 Juli 1905 dan pertempuran besar terjadi pada 28 Juli 1905. Istana Bone pada tanggal 30 Juli berhasil diduduki tentara Belanda. Serangan itu menyebabkan La Pawawoi kehilangan putranya. Sementara dia berhasil meloloskan diri.
Koran De Nieuwe Vorstenlanden (11/09/1905) memberitakan, pergerakan pasukan yang dipimpin Kapten Stipriaan Lulacius--yang terdiri satu kompi pasukan khusus anti gerilya marsose, satu kompi infanteri biasa dan 1 peleton kavaleri--bergerak ke tanah Pitumpanua untuk memburu La Pawawaoi pada awal September. Setidaknya sebanyak 200 serdadu KNIL dilibatkan dalam operasi tersebut. Tak hanya itu, pasukan lain yang dipimpin Mayor Wijs diberangkatkan ke Luwu lewat laut.
RP Suyono dalam Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial (2005:91-93) menyebut La Pawawoi sudah uzur kerap digendong pengikutnya. Hal ini membuat mereka tidak begitu sulit diburu oleh para serdadu KNIL. Persembunyian La Pawawoi diketahui oleh militer Belanda dan segera menangkapnya pada 18 Oktober 1905.
Menurut Arrang Allo Pasanda dalam Pong Tiku, Pahlawan Tana Toraja (1995:30), ada usaha dari Belanda untuk mencegah La Pawawoi untuk pindah ke Tana Toraja, karena di sana Belanda juga tengah memerangi Pong Tiku. Selain itu, Raja Gowa juga sempat berada di sekitar Toraja ketika dikejar-kejar tentara Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel.
La Pawawoi yang sudah uzur itu kemudian ditangkap dan diasingkan ke Bandung. Andi Mattalata dalam Meniti Siri dan Harga Diri (2014:21) menyebut “ketika itu Baginda ditangkap dan dibuang, pertama ke Bandung dan kemudian dipindahkan ke Batavia.”
Menurut Lahadji Patang, La Pawawoi tutup usia pada 17 Januari 1911 dan dimakamkan di kuburan umum Mangga Dua, Batavia. Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 10 Juli 1974, makam La Pawawoi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sementara di Watampone, Bone, nama La Pawawoi diabadikan menjadi nama museum.
Setelah La Pawawoi dilumpuhkan, Belanda berusaha bersikap baik terhadap keturunannya pada zaman revolusi kemerdekaan. Andi Pabbenteng, cucu La Pawawoi, dijadikan Raja Bone pada 1946 hingga 1951. Sebelum Andi Pabbenteng, antara 1931 hingga 1946, Raja Bone adalah Andi Mappanyukki, putra dari Raja Gowa Sultan Husein, yang diburu Hans Christoffel. Bone kemudian bernasib sama seperti banyak kerajaan tradisional lain di Indonesia, yakni tidak punya kekuasaan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi