tirto.id - I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang sudah menjadi Raja Gowa sejak tahun 1895. Ia bergelar Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na. Meski kepemimpinannya direstui Belanda, bukan berarti ia selalu patuh kepada pemerintah kolonial. Setelah berkuasa selama 10 tahun, Sultan Husain perang melawan Belanda, mengulangi sejarah Sultan Hasanuddin yang dulu habis-habisan melawan VOC.
”Peperangan meletus pada tanggal 20 Oktober 1905, setelah sehari sebelumnya Raja Gowa menolak tuntutan Belanda agar menyerahkan 300 pucuk senjata bersama pelurunya,” tulis Sarita Pawiloy dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan (1987:47).
Sebelum perang, Sultan Husain bersama pengikutnya meninggalkan istana di Jongaya. Mereka lalu menjadikan daerah Limbung sebagai basis pertahanan. Salah satu putra raja yang bernama Andi Mappanyukki, yang saat itu berusia 20 tahunan, juga ikut terlibat.
Menurut laporan surat kabar Het Vaderland (08/03/1907), pada 19 Oktober 1905 sore, Gubernur Kroesen sempat bertemu dengan raja. Kemudian pada malam berikutnya, raja pergi bersama Karaeng Bontonompo. Pertempuran lalu terjadi di daerah Pandang Pandang: Karaeng Batoepoete terluka, sementara Karaeng Bungaya dan Karaeng Bontolangkasa terbunuh.
Pada 21 Oktober 1905, raja dan pengikutnya mundur ke Pakatto, lalu pergi ke Limbung. Tiga hari kemudian, mereka mundur dari Limbung. Selanjutnya Sultan Husain melakukan perjalanan hingga Tana Toraja, namun kemudian menuju Sawitto.
Kala itu, Sultan Husain bukan satu-satunya pemuka masyarakat yang melawan Belanda. Di Sawitto, daerah Pinrang, La Sinrang bin La Tamma juga melawan Belanda sejak 1903. Jarak antara Sawitto dan Gowa kira-kira 220 km. Dari Gowa ke Sawitto akan melewati kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Sulawesi Selatan.
Warsa 1906, Raja Gowa sudah berada di Alitta, tidak jauh dari posisi La Sinrang. La Tamma adalah Dattu (penguasa) di Sawitto. Menurut Het Vaderland (08/03/1907), Sultan Husain bersembunyi di hutan Alitta mulai September hingga Oktober 1906.
Ketika Sultan Husain tengah dikejar-kejar militer pemerintah kolonial, Letnan Hans Christoffel--perwira marsose yang terlibat dalam pembantaian rakyat Gayo--telah merampungkan tugasnya di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah. Ia dan pasukannya tentu saja tak disia-siakan petinggi militer pemerintah kolonial. Christoffel pun dikirim ke Sulawesi Selatan untuk memburu Sultan Husain dan La Sinrang.
Koran Het Vaderland (24/10/1906) dan Algemeen Handelsblad (23/10/1906) memberitakan, Christoffel tiba di Makassar pada Selasa 18 September 1906. Esoknya ia langsung berangkat ke Parepare karena sudah ditunggu Gubernur Sipil dan Militer Swart.
Sebelum Christoffel melancarkan aksinya memburu Sultan Husain, informasi soal raja tersebut sangat terbatas. Salah seorang informan Belanda adalah saudara laki-laki Sultan Husain yang berseberangan dengan raja. Saat itu, Gubernur Swart sudah curiga bahwa Sultan Husain berada Sawitto dan berhubungan dengan La Sinrang. Di mata Belanda, La Sinrang adalah seorang yang kejam.
Dalam pengejaran Letnan Christoffel dan pasukannya, Sultan Husain pindah persembunyian. Ia dan 60 orang pengikutnya mengembara di pergunungan utara dari Pakka ke Tebasang. Namun, pasukan Christoffel terus mendekati daerah persembunyiannya. Pada 21 Desember 1906, pasukan marsose itu menyergap rombongan Sultan Husain di Bukero.
”Dengan serbuan mendadak, maka pengawal raja segera mengadakan perlawanan,” tulis Manai Sophian dalam Perang Gowa Terakhir (1995:141).
Menurut koran Bataviaasch Nieuwsblad (24/12/1906), penyergapan itu terjadi di perbatasan pergunungan Sidengreng, sebelah barat Masepe. Raja berhasil melarikan diri. Namun putranya, Lapang Garising tewas beserta 18 pengikutnya. Kakaknya, Karaeng Bontonompo terluka dan ditawan. Dalam operasi itu disita dua senjata api model Beaumont dan pistol. Anak buah Christoffel, yaitu Sersan Meijer dan Kopral Baboeala terluka meski tidak parah.
Menurut Sarita Pawiloy dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan (1987:48), Raja Gowa kemudian melarikan diri ke Sidenreng. Hans Christoffel dan pasukannya terus memburu. Pada malam tanggal 24 Desember 1906, pasukan marsose itu menyergap raja.
”Malam buta itu juga [Sultan Husain] diserang oleh Letnan Christoffel bersama enam [prajurit] Marsose. Sebenarnya Raja Gowa dapat meloloskan diri lagi, namun Sultan Husain tidak mengetahui bahwa jurang yang sangat dalam menganga di belakangnya, sehingga [ia] terjatuh ke dalam jurang itu,” tulis Manai Sophian dalam Perang Gowa Terakhir (1995:142).
Warsa 1905-1907 adalah tahun-tahun suram bagi raja-raja di Sulawesi Selatan yang melawan Belanda. Tidak hanya Sultan Husain dari Gowa, La Pawawoi (Raja Bone) yang juga melawan Belanda, berhasil digulung militer kolonial. Sementara di Tana Toraja, Pong Tiku (pemimpin gerilyawan Toraja) pada pertengahan 1907 dibunuh oleh pasukan Belanda.
Lebih dari dua dekade setelah perlawanannya terhadap Belanda, Andi Mappanyukki menjadi Raja Bone sejak 1931. Dan setelah Indonesia merdeka, ia dikenal sebagai raja yang dihormati Republik Indonesia bahkan menjadi Pahlawan Nasional sejak 5 November 2004.
Sementara Hans Christoffel yang memburu ayah Mappanyukki menjadi pahlawan kolonial Hindia Belanda yang punya hak uang pensiun. Ia meninggal pada awal April 1962 dalam usia 97 tahun.
Editor: Irfan Teguh Pribadi