tirto.id - Letnan Hans Christoffel harus undur diri dulu Aceh, dari medan perang yang mengangkat namanya. Perwira asal Swiss ini makin bersinar dalam korps elite anti gerilya dengan reputasi kejam: Marsose. Dalam Operasi Gayo Alas 1904 yang memakan banyak korban rakyat Aceh, ia turut serta. Kini, Christoffel ditugaskan ke Kalimantan.
Di bagian tengah dan selatan pulau ini, terdapat gerakan pemberontakan yang dipimpin Gusti Mohammad Seman. Ia disebut-sebut anak dari Pangeran Antasari, bangsawan Banjar yang berpengaruh dan juga melawan pemerintah kolonial.
Koran Algemeen Handelsblad (01/02/1905) melaporkan, pada tanggal 14 Desember 1904, Letnan Kolonel van Daalen, Kapten P. A. Mollinger, dan Letnan Kolonel Drijber—yang merupakan komandan militer setempat—menuju Puruk Cahu di Kalimantan Tengah, hendak memburu Seman. Daalen adalah orang yang meminta Letnan Hans Christoffel hadir di Kalimantan untuk menuntaskan masalah Gusti Seman. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes Benedictus van Heutsz, yang pernah jadi atasan Daalen dan Christoffel, memenuhi permintaan itu.
Di Puruk Cahu, Seman ternyata tak ada setelah sebelumnya sempat muncul. Belanda mengandalkan Raden Djaja Kesoema untuk membuka negosiasi dengan kelompok tersebut.
Christoffel pun akhirnya tiba di Kalimantan bersama 30 orang personel Marsose. Dari Aceh, mereka naik kapal lewat Singapura. Christoffel melangkah dengan pasti, meski dia agak pesimis akan berhasil. Lawannya, seperti juga pejuang-pejuag Aceh, adalah para kombatan yang menguasai medan pertempuran, dan jelas tak bisa diremehkannya.
Menurut De Locomotief (14/11/1905), para pengikut Gusti Mohammad Seman di antaranya adalah orang-orang Dayak yang punya kemampuan berburu. Mereka kerap muncul tanpa terduga.
”Untuk menghadapi pejuang-pejuang itu, kekuasaan militer dan sipil harus disatukan. Pada tanggal 1 Januari 1905, Christoffel menjabat juga sebagai penguasa sipil di Puruk Cahu,” tulis Helius Sjamsuddin dalam Pegustian dan Temenggung (2001:437).
Puruk Cahu, seperti wilayah Kalimantan lainnya, adalah daerah yang baru bagi Christoffel. Sepanjang kariernya di KNIL, dia hanya pernah bertugas di sekitar Batavia, Keresidenan Ambon, dan Aceh. Meski demikian, Christoffel bukan komandan dari balik meja administratif, melainkan terjun langsung ke lapangan. Dia memimpin pasukan marsose melakukan patroli, atau disebut juga sebagai operasi perburuan.
Selama berhari-hari Christoffel memimpin perburuan. Mereka bergerak hingga ke Menjakau dan Kalambarah. Pertemuan antara pasukan Christoffel dengan kelompok Seman terjadi pada 24 Januari 1905. Menurut De Locomotief, Seman sempat diperintahkan untuk menyerahkan diri oleh pasukan Christoffel, namun hal itu justru dijawab dengan tembakan. Maka pertempuran pun tak terhindarkan.
Menurut Ahmad Basuni dalam Pangeran Antasari: Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan (1986:64), pertempuran itu terjadi di Bomban Kalang Barat, Hulu Beras Kuning. Gusti Muhammad Seman gugur ditembus peluru pasukan Marsose dan dimakamkan di perbukitan Puruk Cahu. Terbunuhnya Gusti Muhammad Seman dianggap sebagai akhir dari Perang Banjar di Kalimantan Selatan.
Meski demikian, bagi Christoffel dan pasukannya, terbunuhnya Seman bukan berarti mereka bisa rehat. Pembersihan terus dilakukan. Banyak senjata berhasil mereka rampas. Pada 1 Maret 1905, seperti dicatat De Locomotief, keluarga Pegustian menyerahkan diri, kecuali Antoeng Koewing dan Raden Naoen. Baru pada Juli di tahun yang sama, keduanya menyerahkan diri. Setelah itu, Belanda menilai Puruk Cahu dan sekitarnya telah aman.
Seperti kebanyakan perwira yang telah bertahun-tahun dinas di KNIL, Christoffel sempat cuti setahun ke Eropa. Pada 1906, ia dapat panggilan lagi. Tapi bukan ke Aceh, melainkan ke Sulawesi Selatan. Christoffel ditugaskan untuk memburu Sultan Husain alias I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang, Raja Gowa yang dianggap membangkang oleh pemerintah kolonial.
Pada pertengahan 1907, Christoffel memburu raja besar tanah Batak, Sisingamangaraja XII. Sang pemuka Parmalim itu ditembak Kopral Souhoka, anak buah Christoffel yang berdarah Indonesia.
Orang Indonesia dalam ketentaraan Belanda, termasuk yang ikut menggempur Gusti Muhammad Seman, memang banyak. Bataviaasch Nieuwsblad (03/02/1905) menyebut, dalam penyerbuan di Puruk Cahu, seorang serdadu bernama Wongsowikromo terluka. Sementara Kopral Ralaholoe, Marsose Lengkong, serta dua orang hukuman yang jadi kuli tentara terbunuh dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi