tirto.id - Habel Salawono adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang berprestasi. Dia segelintir orang Indonesia yang mendapat bintang Militaire Willemsorde kelas tiga. Bintang itu diberikan padanya berdasarkan Koninklijk Besluit nomor 68 tanggal 20 Juli 1908 atas pekerjaannya di Sulawesi Selatan.
Deli Courant (23/07/1907) menyebut dia bertempur di sekitar Alla, perbatasan Enrekang-Tana Toraja, dalam pengejaran Pong Tiku pada tahun 1907. Daerah Alla menjadi basis pertahanan orang-orang sekitar Toraja yang melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Diperkirakan kala itu terdapat 300 orang bersenjata yang menjadi musuh tentara kolonial.
Sekitar Februari 1907, Pong Tiku telah bergerak dari Ambeso ke Alla. Dan sejak 11 Maret 1907, militer Belanda telah mengepung Alla dengan 8 regu pasukan infanteri KNIL biasa dan 7 regu pasukan marsose. KNIL juga mengerahkan satuan artileri untuk bantuan tembakan jarak jauh.
Pasukan marsose tiba pada tanggal 12 Maret. Lalu pada Subuh 13 Maret, militer Belanda menyerang dengan hati-hati. Mereka dibagi dalam beberapa pasukan untuk menyerang dari sisi yang berbeda-beda.
Sejumlah kampung di Toraja tidak memberikan perlawanan saat dimasuki tentara Belanda. Namun sebagian lagi melawan dengan cukup gencar hingga melukai tentara kolonial. Setelah pertempuran sengit yang berlangsung hingga siang, akhirnya benteng Alla berhasil direbut. Dua serdadu Belanda terbunuh dan sebelas lainnya terluka. Pong Tiku tidak berhasil ditangkap, tetapi karena pertempuran di Alla itulah Salawono mendapat bintang penghargaan.
Menurut laporan koran Soerabaijasch Handelsblad (24/06/1907) setelah Alla jatuh, Pong Tiku berada di Tondon (sekitar kota Makale saat ini). Sementara di Kalosi, selatan Alla, terdapat Aru Osso dengan pengikutnya yang cukup diwaspadai tentara Belanda.
Selanjutnya, seperti diwartakan koran De Sumatra Post (27/06/1907), Pong Tiku dan Maraba bergerak menuju Rantepao dan telah mendapat pasokan senjata api lagi. Senjata api itu terdiri dari 12 senapan Beamount (yang bisa ditembakan berkali-kali) dan 21 senapan sekali tembak model lama yang harus diisi dari depan. Selain itu, para kepala masyarakat Toraja lainnya juga memiliki puluhan senapan Beamount dan senjata lainnya.
Setelah serangan atas Alla, seperti disebut Terrence Bigalke dalam Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People (2005:61) Pong Tiku berusaha kembali ke Pangala melewati hutan di sisi barat Toraja.
Dari Kopi hingga Bandara
Pong Tiku adalah penguasa di Pangala, dekat Rantepao, Toraja Utara. Daerah kekuasaannya termasuk penghasil kopi Toraja yang sejak dulu telah kesohor. Kerajaan-kerajaan di sekitar Toraja tergiur dengan kopi. Sidenreng, menurut Diks Pasende dalam "Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja", yang terhimpun dalam buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950an (2011:219), adalah kerajaan yang mengincar kopi Toraja. Antar kerajaan Islam di Sulawesi Selatan bahkan pernah berperang demi kopi Toraja.
Belanda mula-mula menyerang Toraja pada 1905. Pangala yang dipimpin Pong Tiku mendapat serangan pertama dari Belanda pada April 1906 dan serangan terakhir pada Oktober 1906. Selanjutnya Pong Tiku bergerilya ke daerah lain. Pada tahun-tahun tersebbut, Belanda tidak hanya bermusuhan dengan Toraja, tapi juga dengan kerajaan Islam di Sulawesi seperti Bone, Gowa, dan Sawito.
Untuk mengejar Raja Gowa, pemerintah kolonial bahkan mengerahkan pasukan marsose dari Aceh yang dipimpin Hans Christoffell.
Menurut Terrence Bigalke (2005:52), di sekitar Benteng Alla yang diserang Belanda pada 1907, terdapat daerah Duri dan di bawahnya lagi ada Enrekang yang penguasanya turut serta mendukung Pong Tiku dan pengikutnya.
Pong Tiku pernah pula mengadakan gencatan senjata sebentar dengan Belanda, namun dia kemudian bergerak ke Ambeso. Dari sana dia kemudian ke Alla dan bertempur bersama orang-orang Duri melawan Belanda. Saat Pong Tiku bergerilya, Andi Guru yang menguasai Sidenreng sudah berada di pihak Belanda dan menjadi mediator antara Belanda dengan Pong Tiku.
Sekitar bulan Juni 1907, menurut Bigalke (2005:61), persembunyian Pong Tiku ditemukan dan akhirnya disergap tentara Belanda. Pong Tiku ditangkap hidup-hidup. Kematiannya terjadi pada pada 10 Juli 1907.
Namun, menurut laporan sejumlah koran Belanda pada masa itu, seperti Algemeen Handelsblad (04/07/1907) dan De Tijd (04/07/1907), sebelum 10 Juli 1907, telah mendapat kabar dari Batavia bahwa Pong Tiku mencoba melarikan diri ketika sedang mandi di Sungai Sadang, namun militer Belanda segera merobohkannya dan Pong Tiku pun gugur. Setelah Pong Tiku terbunuh dan pengikutnya dibersihkan, maka Belanda bisa menguasai kopi Toraja.
Pada tahun 2002, Pong Tiku diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 73/TK/Tahun 2002 tanggal 6 November 2002. Pong Tiku juga menjadi nama bandara di Tana Toraja.
Selain itu, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, di Sulawesi Selatan terdapat nama Batalion Pong Tiku yang pro Republik, berisikan pemuda-pemuda Toraja yang dipimpin oleh bekas serdadu KNIL bernama Samuel Tambing. Pong Tiku bahkan diingat namanya pada tahun 1950-an ketika orang-orang Toraja terancam oleh Andi Sose.
Editor: Irfan Teguh