tirto.id - Sebagian orang seringkali menyepelekan nyeri haid bahkan menuding perempuan terlalu melebih-lebihkan rasa sakitnya. Kemudian ketika rasa sakit ini berkembang menjadi sebuah kondisi yang membikin sulit hamil, maka perempuan kembali dituding sebagai penyebab kemandulan.
Jika mau tahu bagaimana rasanya sakit semasa haid, beginilah gambarannya. Kram terasa mulai dari perut, tembus ke punggung, menjalar sampai bagian bawah kaki. Di saat yang sama, tulang-tulang serasa linu dan, di tahap paling parah, Anda merasakan pusing, mual, muntah, sesak napas, hingga kehilangan kesadaran.
Seorang profesor di bidang perencanaan keluarga dan reproduksi dari University College London, John Guillebaudmeringkas semua gejala itu dalam gambaran singkat: seperti sakit akibat serangan jantung.
Tidak semua nyeri haid berkaitan dengan masalah infertilitas alias kemandulan. Namun, risiko tersebut perlu diwaspadai jika nyeri haid yang dirasakan berkaitan dengan kondisi endometriosis. Penyakit reproduksi pada perempuan ini ditandai dengan tumbuhnya jaringan mirip endometrium di luar uterus yang memicu inflamasi kronis.
Angka kejadiannya cukup tinggi secara global, menimpa 1 dari 10 perempuan di dunia dan sekitar 30-50 persennya menjangkiti wanita dalam masa subur. Karena membikin sakit parah setiap haid datang—bahkan ada yang merasakan di luar periode menstruasi, endometriosis turut menyebabkan penurunan kualitas hidup perempuan.
Selama ini, perempuan-perempuan dengan endometriosis sering kali mendapat penanganan terlambat sampai 4-10 tahun. Sebab, penegakan diagnosis butuh tindakan bedah laparoskopi yang mahal serta berisiko.
“Operasi punya tingkat kekambuhan tinggi sampai 50-70 persen setelah 5-7 tahun pembedahan tanpa diobati,” ungkap Achmad Kemal Harzif, dokter spesialis kandungan sekaligus staf divisi fertilitas endokrinologi reproduksi RSCM.
Seturut data dari RSCM, rata-rata pasiennya telah menjalani terapi di empat fasilitas kesehatan berbeda selama 3,5 tahun sebelum akhirnya dirujuk ke RSCM.
Semua itu persis seperti pengalaman Utri, 30 tahun. Dia selalu merasakan sakit tak tertahan selama menstruasi. Jika memaksakan bekerja, Utri bisa pingsan dan berujung dibawa ke rumah sakit.
Saat berusia 22 tahun, dia sudah bolak balik ganti dokter setidaknya sampai lebih dari empat dokter. Setiap pulang pemeriksaan, Utri hanya mengantongi obat antinyeri dan segudang nasehat dari sang dokter untuk menyegerakan pernikahan.
Padahal, pernikahan tidak menyelamatkan perempuan dari kondisi endometriosis. Menurut Kemal, selama perempuan mengalami menstruasi, risiko kekambuhan endometriosis akan terus ada. Pernikahan—dalam kasus ini merujuk pada kejadian hamil—memang mengendalikan perkembangan endometriosis, tapi hanya sementara.
“Saat hamil, hormon progesteron tinggi karena memproduksi plasenta sehingga tidak terjadi menstruasi dan peradangan endometriosis ditekan. Tapi, penyakitnya masih ada dan muncul kembali setelah melahirkan,” kata Kemal.
Pada kasus Utri, setelah memutuskan menikah di umur 25 tahun, dia baru mendapat penanganan laparoskopi di umur 28 tahun. Artinya ada keterlambatan penanganan sampai enam tahun—dihitung dari sejak pertama kali dia memeriksakan nyeri haid ke dokter di usia 22 tahun.
Sayangnya, seperti yang sudah dikatakan Kemal, operasi pengangkatan endometriosis tidak menjamin kesembuhan. Hanya berjarak empat bulan dari operasi laparoskopi, jaringan endometriosis Utri kembali berkembang menjadi kista sebesar 5 cm.
Berkejaran dengan Waktu
Dokter baru memutuskan tindakan operasi pengangkatan endometriosis untuk Utri saat dia berkonsultasi masalah infertilitas. Kata dokter yang menanganinya saat itu, endometriosisnya sudah sampai stadium 3. Itu artinya membikin Utricukup sulit memiliki keturunan.
Kasusnya jadi rumit ketika Utri tahu bahwa terapi hormonal untuk menekan kista endometriosis akan membikin dia tidak subur. Tapi ketika endometriosis diangkat, dia harus berkejaran dengan waktu karena siklus menstruasi berikutnya akan berjalan normal.
“Waktu itu sehabis operasi diminta terapi hormon dulu sebulan, baru kemudian program anak dengan inseminasi. Tapi, kista endometriosisnya terlanjur muncul sebelum program dimulai lagi,” kata Utri.
Tadinya, Utri diminta untuk melakukan operasi kedua dengan langsung program bayi tabung. Tapi, kondisi mentalnya belum siap. Utri akhirnya memutuskan rehat sejenak dari segala macam terapi dan pengobatan.
Ketua Perhimpunan Fertilitas In Vitro Indonesia (PERFITRI) Hendy Hendarto mengatakan diagnosis endometriosis dulunya memang dilakukan melalui pembedahan. Namun, cara ini sudah dianggap usang. Pedoman anyar penanganan endometriosis yang kini digunakan berdasar pada gejala klinis. Tata cara penangan baru ini merujuk pada keputusan Asia Pasific Endometriosis Expert Panel Meeting (2019).
“Dengan begitu diagnosisnya lebih cepat. Penanganan selanjutnya tergantung pasien, apakah mau program hamil atau cukup fokus untuk menekan endometriosis dan rasa nyeri haid,” papar Hendy dalam kampanye #DontLiveWithPain bersama Buyer Indonesia.
Ketika pasien tengah menjalani program hamil, fokus penanganan endometriosis akan disesuaikan dengan tata laksana program hamil. Sementara itu, penanganan untuk pasien yang belum atau tidak berencana memiliki anak bakal meniru kondisi “kehamilan”, yakni meningkatkan hormon progesteron.
“Memakai progestin (hormon progesteron buatan), intinya menekan hormon estrogen, bisa dari suntik atau pil KB tunggal progesteron,” jelas Hendy. Cara ini bisa juga digunakan kepada para perempuan yang endometriosisnya sempat tidak aktif semasa kehamilan.
Jika mendapat diagnosis secara tepat dan cepat, endometriosis bisa ditekan seminimal mungkin. Dengan begitu, perempuan tak perlu menderita sakit dan kehilangan kesempatan hidup berkualitas akibat nyeri menstruasi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi