tirto.id - Kue keranjang menjadi salah satu makanan khas yang harus hadir saat Imlek. Kue ini bukan sekadar untuk dimakan bersama, tetapi juga menjadi salah satu sajian bagi Dewa Dapur (Zao Zun atau Co Kun Toa Pek Kong). Dewa-dewi dalam kepercayaan Tiongkok adalah perwujudan dari orang di masa silam yang memiliki pengaruh, misalnya Kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, Hok Tek Ceng Sin sebagai Dewa Bumi, dan masih ada beberapa dewa lainnya. Dewa-dewi Tiongkok bisa saja memiliki nama dan versi yang berbeda dalam ajaran Tri Dharma (Buddha, Konghucu, dan Taoisme).
Saya pertama kali mencoba kue keranjang ketika masih SD. Teman badminton bapak saya, Paman Halim, memberikan dua buah kue keranjang yang dikemas dalam kotak dengan warna merah dan emas. Rasa dan aromanya yang unik terekam kuat dalam ingatan saya. Setelah kue itu habis, saya sabar menantikannya hingga tahun berikutnya. Maklum, tahun 90’an belum ada lokapasar sehingga saya harus menunggu kehadiran kue itu ketika menjelang Imlek.
Toko kue langganan orang tua saya di Purworejo hingga saat ini masih menjual kue keranjang beberapa merek dengan harga antara Rp40 ribu hingga Rp80 ribu per kilogram. Merek Sin Lok Yen, Ang Huat, Ny.Lauw, dan Hoki terbilang lebih mahal dibandingkan merek lain karena cece pemilik toko mendatangkannya dari luar kota. Sementara itu, harga kue keranjang buatan perajin kue di Purworejo sekitar Rp40 ribu per kilogramnya.
Pembeli umumnya memesan lebih dulu karena dapat leluasa menentukan jumlah, ukuran kemasan, dan merek favoritnya. Selain memesan, pembeli juga bisa membelinya langsung di toko, tetapi tentunya dengan pilihan yang terbatas. Pembeli tidak harus memesan atau membeli 1 kilogram, tetapi bisa memilih kemasan satuan yang beratnya bervariasi, mulai 200 gram, 250 gram, 350 gram hingga 500 gram sehingga harga satuan menyesuaikan bobotnya.
Kue keranjang juga kerap disebut dodol cina, dodol imlek, kue bakul, ti kwe, atau nían gao. Selain untuk dibagikan dan dimakan bersama, kue basah yang bertekstur ulet dan rasanya manis tersebut juga berfungsi sebagai media ritual dalam rangkaian sembahyang menjelang Imlek.
Kepercayaan Tiongkok kerap melambangkan sesuatu sebagaimana tradisi yang telah diwariskan nenek moyang mereka. Umat Konghucu meyakini bahwa kehadiran kue tersebut dalam suatu keluarga dapat menjadi cara untuk membujuk dewa dapur agar memberikan laporan yang baik-baik mengenai situasi rumah tangga umatnya selama satu tahun terakhir kepada Kaisar Giok di langit.
Imlek sebagai momen pergantian tahun dalam kalender lunisolar Tiongkok itu tidak hanya dirayakan selama satu hari, tetapi selama 10 hingga 15 hari. Rangkaian perayaan Imlek disertai dengan berbagai ritual, mitos, simbol, dan harapan. Konon, perayaan Imlek yang kompleks ini dimulai sejak masa Dinasti Shang (1600 SM hingga 1046 SM). Imlek memiliki kaitan erat dengan dewa dapur karena mulanya Imlek adalah momen untuk menikmati hasil panen seraya menyambut sin cia, yang berarti bulan pertama di tahun baru. Hasil panen berkaitan dengan keberadaan lumbung yang cukup dan tungku dapur yang tetap mengepul.
Beberapa rekan saya meyakini bahwa dewa dapur adalah seorang pria kaya raya yang meninggal setelah menceburkan diri ke perapian. Ia malu pada istrinya yang tetap bersikap baik padanya ketika ia kembali ke rumah. Sebelumnya, ia telah meninggalkan istrinya demi hidup bersama dayangnya.
Atas kematiannya yang tragis tersebut, Kaisar Giok mengangkatnya sebagai dewa dapur. Versi dari rekan lainnya, dewa dapur adalah seorang yang berjasa karena menemukan sistem perapian atau tungku dengan api yang stabil. Dewa dapur memiliki elemen api, salah satu elemen dalam kepercayaan Tiongkok yang mampu memberikan kehidupan, kehangatan, dan kebahagiaan. Jika tidak ada api, tentu kita sulit mengolah makanan atau menikmati sesuatu yang hangat. Dewa dapur tak hanya berperan menjaga dapur di suatu rumah tangga, tetapi juga melindungi seisi rumah dari energi negatif.
Pada Kelenteng Thong Hwie Kiong di Purworejo, terdapat beberapa jadwal sembahyang khusus dewa dapur berdasar kalender lunisolar Tiongkok, yaitu:
- Sembahyang untuk memperingati hari raya dewa dapur, dilaksanakan setiap tanggal 3 bulan Pwe Gwee sekitar pukul 20.00;
- Sembahyang untuk mengantar dewa dapur naik ke langit, dilaksanakan setiap tanggal 23 bulan Cap Ji Gwee (enam hari sebelum Imlek) antara pukul 03.00 hingga 05.00. Waktu menjelang pagi tersebut diyakini oleh umat Konghucu sebagai waktu terbaik untuk mengantar dewa dapur dan juga sebagai penghormatan dari umat karena telah mendahulukan sembahyang sebelum memulai aktivitas pada hari itu. Dalam praktiknya, waktu untuk memulai sembahyang ini dapat dimajukan menjadi lebih awal;
- Sembahyang untuk menyambut dewa dapur yang turun dari langit dilaksanakan setiap tanggal 4 bulan Cia Gwee (hari keempat Imlek) pada pukul 20.00.
Sembahyang untuk dewa dapur umumnya dilakukan oleh umat Konghucu, baik secara bersama di kelenteng maupun di rumah masing-masing. Sementara itu, rekan-rekan saya lainnya yang masih merayakan Imlek ternyata tidak selalu melakukan sembahyang kepada dewa-dewi Tiongkok karena sudah memeluk agama atau kepercayaan lain sehingga mereka hanya turut merayakannya.
Selama 10 hari dewa dapur berada di langit, keluarga keturunan Tionghoa dapat menjalankan sembahyang kepada arwah leluhur, membersihkan rumah, berbagi angpao, makan bersama kerabat hingga menyulut petasan. Kue keranjang umumnya selalu tersaji hingga menjelang Cap Go Meh, yakni puncak penutupan perayaan Imlek yang terlaksana pada hari ke-15 setelah Hari Raya Imlek.
Kue yang berbentuk silinder tersebut tidak dimakan sekali waktu, tetapi umumnya dipotong menjadi beberapa bagian untuk dinikmati secara perlahan. Bentuknya yang khas menyerupai tabung itu mulanya memang dicetak dalam keranjang bambu atau bakul sehingga dinamai kue keranjang atau kue bakul.
Di beberapa keluarga, kue keranjang disusun ke atas dari kue yang diameternya paling lebar hingga paling kecil. Jumlahnya pun juga harus ganjil, yakni 3, 5, 7, atau 9. Kue yang disusun seperti itu biasanya diletakkan di altar dewa dapur atau meja untuk sembahyang. Cara menyusun yang mengerucut ke atas itu dimaknai sebagai harapan agar keluarga tersebut mendapatkan rejeki di sepanjang tahun depan. Selama Imlek, sebuah keluarga umumnya memiliki beberapa buah kue keranjang untuk persediaan. Kue keranjang yang dibuat tanpa bahan pengawet mampu bertahan hingga satu bulan di suhu ruang dan dapat awet lebih lama lagi jika disimpan di kulkas.
Penyajian kue keranjang dapat bervariasi tergantung selera. Ada orang yang suka membubuhi parutan kelapa atau wijen pada potongan kue basah tersebut. Ada juga yang menggorengnya dengan balutan terigu dan tepung panir. Belakangan ini, pegiat boga juga membagikan resep kreasi kudapan dari kue keranjang. Sandwich dan spring roll yang berisi irisan tipis kue keranjang cukup populer dalam panduan resep kekinian. Sementara itu, saya justru lebih senang memakannya secara langsung. Terkadang saya mengukusnya ketika kue terasa mengeras. Dodol Cina nan manis tersebut memiliki nilai kalori yang besar sehingga jarang dikonsumsi seorang diri dalam sekali waktu.
Kue legit yang semula saya kira hanya satu rasa itu ternyata memiliki aneka varian. Beberapa produsen kue keranjang menawarkan rasa original, coklat, gula aren, pandan, stroberi, nangka, dan vanila. Adapun penambahan esens untuk menguatkan aroma disesuaikan dengan pewarna. Misalnya, warna pink untuk menandakan rasa stroberi, warna kuning untuk rasa nangka, dan warna hijau untuk rasa pandan.
Rasa dan aroma pada kue keranjang cukup relatif dan tergantung produsennya. Ada produsen yang benar-benar menambahkan sedikit fruity acid untuk memantapkan rasa stroberi pada kue keranjang yang dibuatnya. Sementara itu, produsen lain hanya menggunakan esens dan pewarna. Rasa original yang dimaksud adalah rasa gula pasir yang telah menjadi karamel dengan aroma khas tepung ketan dan sedikit aroma vanili. Kue keranjang rasa original inilah yang saya kenal sejak SD dan selalu saya nantikan hingga kini.
Di era yang semakin berkembang ini, kue keranjang turut bersaing dalam varian rasa, bentuk, desain kotak kemasan, lisensi halal, dan pilihan rendah kalori yang rasanya tak terlalu manis. Setelah adanya varian rasa yang beraneka macam, beberapa produsen semakin berkreasi dengan membuat kue keranjang dua rasa. Rasa original nangka rupanya cukup unik bagi saya. Aroma harum buah nangka muncul ketika kue berwarna coklat muda dengan semburat kuning itu dipotong.
Selain berbentuk silinder, beberapa produsen menawarkan kue keranjang berbentuk ikan koi dengan kreasi dan kemasan kotaknya yang unik. Menurut iklannya, kue keranjang dengan bentuk ikan koi ini adalah simbol keberuntungan. Selain rasa original, produsen ini juga menawarkan kue keranjang tiga rasa dalam satu ikan koi. Potongan kue keranjang berwarna kuning dan coklat ditempelkan lebih dulu pada cetakan ikan koi, selanjutnya adonan yang berwarna putih baru dituangkan sebagai warna dominan badan ikan. Kue yang terkesan artistik ini berharga lebih mahal daripada kue keranjang pada umumnya.
Sebagian besar kue keranjang dicetak dalam wadah plastik. Dua tahun lalu, saya baru mencoba kue keranjang yang dibungkus dengan daun pisang. Rupanya, aroma khas dari daun pisang ini turut menambah nikmatnya kue keranjang original.
Kue keranjang yang berharga lebih mahal biasanya dibuat dengan proses yang panjang atau rumit. Proses pembuatannya dimulai dari pemilihan bahan. Penambahan santan, tepung sagu, vanili, pewarna, dan esens adalah suatu pilihan. Beberapa produsen menggunakan ketan kualitas super yang digiling atau ditumbuk sendiri hingga menjadi tepung. Komposisi tepung ketan dan gula pasir harus imbang. Jika menggunakan tepung ketan 4 kg, maka gula pasir yang dicampurkan juga harus 4 kg. Adapun air putih untuk melembekkan tepung ketan hanya 500 ml. Terkadang, adonan tepung ketan yang telah dicampur air dapat disimpan hingga dua minggu agar kuenya menjadi berwarna lebih gelap ketika matang.
Proses pembuatan adonan kue keranjang dilakukan dengan mencampurkan tepung ketan, gula pasir, dan air hingga kalis. Selanjutnya, adonan ini dituangkan dalam cetakan yang telah dilapisi daun pisang atau plastik. Setelah itu, cetakan ditata dalam kukusan yang telah dipasang di atas tungku. Proses mematangkan kue ini cukup lama sehingga kue dapat bertahan hingga satu bulan. Api tungku harus stabil, yakni tidak boleh terlalu besar atau terlalu kecil. Kue ini dikukus selama minimal 8 jam. Akibat proses mengukusnya yang lama, gula pasir putih menjadi berwarna kecoklatan dan rasanya pun berubah menjadi rasa karamel yang legit. Semakin lama dikukus, kue keranjang akan berwarna semakin gelap. Setelah matang, kue keranjang perlu dijemur atau diangin-anginkan agar bagian atasnya dapat mengeras.
Jika menggunakan daun pisang sebagai pembungkus, maka daun pisang segar harus dijemur di bawah sinar matahari atau dipanaskan dengan api terlebih dulu agar lebih liat dan tidak mudah sobek ketika dimasukkan dalam cetakan keranjang silinder. Proses finishing dilakukan untuk merapikan daun atau plastik pembungkus kue di bagian atasnya. Setelah itu, pembungkus bagian atas kue ditutup label yang bertuliskan fú dalam aksara cina yang berarti berkah. Setiap produsen kue keranjang memiliki desain kotak kemasan masing-masing yang tentu dapat menambah kesan estetik ketika dijadikan hampers.
Selain kue keranjang bersusun, sajian di altar Dewa Dapur dalam rangkaian sembahyang Imlek dapat lebih lengkap, misalnya manisan buah, madu, aneka jajan pasar, aneka minuman, buah-buahan, serta olahan ikan, ayam, dan bebek yang melambangkan binatang dari alam air, darat, dan langit. Sesajian yang tidak tahan lama akan ditarik seusai sembahyang dan dibagikan kepada umat yang hadir. Akhir-akhir ini, sajian hewani mulai dihindari oleh umat yang memilih menjalani hidup sebagai vegan. Perubahan pola hidup menjadi vegan ini tidak mengurangi makna tradisi Imlek karena pada intinya adalah menyampaikan rasa terima kasih dan meminta harapan yang baik untuk setahun mendatang. Empat hari setelah Imlek, umat Konghucu kembali berkumpul di kelenteng untuk sembahyang menyambut turunnya Dewa Dapur.
Editor: Nuran Wibisono